Bab 6: Langkah Awal sebagai Pencatat

Matahari mulai condong ke barat ketika Ibrahim duduk di bawah naungan pohon kurma di dekat rumahnya. Ia memandangi pelepah kurma yang telah ia gunakan untuk belajar menulis. Goresan-goresan kasar yang tertulis di sana menjadi bukti kecil dari tekadnya untuk memahami dunia ini lebih dalam.

Hari-hari berlalu, dan Ibrahim semakin terbiasa dengan ritme kehidupan di Madinah. Setiap pagi, ia mengikuti ayahnya ke pasar atau membantu ibunya di rumah. Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatiannya—cara para sahabat Nabi mencatat wahyu dan peristiwa penting. Hal itu membangkitkan ketertarikannya yang sudah ada sejak lama.

Sore itu, ia kembali mendatangi rumah Zaid bin Tsabit. Lelaki muda itu sudah menunggunya dengan senyum ramah. "Bagaimana latihan menulismu, Ibrahim?" tanyanya sambil memberikan selembar kulit yang lebih halus dibandingkan pelepah kurma.

"Aku masih kesulitan dalam beberapa huruf, tetapi aku ingin terus belajar," jawab Ibrahim dengan semangat.

Zaid tersenyum. "Itu sikap yang baik. Menulis adalah keterampilan yang membutuhkan kesabaran. Kita tidak hanya menulis untuk diri sendiri, tetapi untuk mereka yang akan datang setelah kita."

Kata-kata itu menggugah hati Ibrahim. Ia tidak hanya ingin memahami sejarah, tetapi juga ingin meninggalkan jejaknya sendiri. Ia mulai berlatih lebih tekun, memperbaiki cara menulisnya, dan belajar memilih kata-kata yang lebih tepat dalam mencatat sesuatu.

Suatu hari, saat ia sedang duduk di halaman masjid, mendengarkan Nabi Muhammad berbicara kepada para sahabat, ia memperhatikan bagaimana beberapa orang mencatat dengan penuh kehati-hatian. Ia ingin menjadi seperti mereka—mencatat sejarah dari sudut pandangnya sendiri.

Ketika majelis selesai, ia memberanikan diri mendekati Zaid. "Aku ingin mulai menulis sesuatu yang lebih dari sekadar latihan. Aku ingin mencatat kejadian-kejadian penting di sekitar kita," katanya penuh tekad.

Zaid mengangguk penuh pengertian. "Itu langkah besar, Ibrahim. Tapi ingat, seorang pencatat harus jujur dan memahami apa yang ia tulis. Tulisan bukan hanya sekadar kata-kata, tapi juga amanah."

Malam itu, Ibrahim duduk di sudut rumahnya dengan selembar kulit di tangannya. Ia mulai menulis catatan pertamanya:

Hari ini, aku belajar sesuatu yang penting. Sejarah tidak hanya dituliskan oleh mereka yang berkuasa, tetapi juga oleh orang-orang biasa yang melihat dan mengalami. Aku ingin menjadi bagian dari itu. Aku ingin menjadi pencatat yang mengabadikan kehidupan di sekitarku.

Seiring berjalannya waktu, lembar demi lembar catatannya bertambah. Ia mencatat cerita dari para sahabat, kejadian-kejadian kecil di pasar, hingga kata-kata hikmah yang ia dengar dari majelis Nabi. Ibrahim mungkin masih seorang anak kecil, tetapi ia mulai memahami bahwa setiap tulisan yang ia buat adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar—sebuah warisan bagi generasi mendatang.