Bab 7: Langkah Kecil Menuju Masa Depan

Hari-hari berlalu dengan cepat di Madinah, dan Ibrahim semakin terbiasa dengan rutinitas barunya. Ia mulai merasa lebih nyaman dengan kehidupan di era ini, meskipun ada kalanya ia masih dihantui oleh potongan-potongan memori yang terasa asing. Namun, dibandingkan sebelumnya, ia kini lebih menerima kenyataan bahwa ia adalah seorang anak kecil yang hidup di tengah-tengah peristiwa besar yang kelak akan tercatat dalam sejarah.

Suatu pagi, Ibrahim duduk di depan rumahnya sambil mengamati aktivitas warga. Para pedagang mulai menggelar dagangan mereka, anak-anak berlarian di jalanan, dan para sahabat Nabi berkumpul di masjid untuk mendengarkan ajaran beliau. Ibrahim menghela napas, merasa ada sesuatu yang masih kurang dalam hidupnya.

"Ibrahim, kau tampak termenung lagi," ujar ibunya yang datang membawa semangkuk kurma.

"Aku ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar mengamati, Ibu," jawab Ibrahim jujur.

Ibunya tersenyum dan mengelus kepalanya. "Setiap orang memiliki perannya sendiri. Mungkin kau belum menemukannya sekarang, tetapi jika kau terus mencari, Allah akan membimbingmu."

Kata-kata ibunya melekat dalam benak Ibrahim. Ia mulai memikirkan apa yang bisa ia lakukan di kehidupan barunya ini. Meski masih kecil, ia merasa memiliki sesuatu yang berharga—kemampuan untuk mengingat dan mencatat kejadian yang ia alami.

Saat Ibrahim sedang merenung, ayahnya datang menghampiri. "Ibrahim, kau ingin ikut ke pasar hari ini? Aku butuh bantuan untuk membawa barang dagangan."

Ibrahim mengangguk cepat. "Tentu, Ayah!"

Di pasar, Ibrahim melihat berbagai macam barang dagangan—kain dari Yaman, rempah-rempah dari India, dan peralatan logam yang dibuat oleh pandai besi setempat. Ia mendengar pedagang berbicara dalam berbagai bahasa dan dialek, sesuatu yang membuatnya semakin tertarik pada dunia di sekitarnya.

Saat membantu ayahnya bertransaksi, Ibrahim mulai menyadari betapa pentingnya komunikasi dan pencatatan dalam berdagang. Ia memperhatikan bagaimana pedagang mencatat utang-piutang di atas pelepah kurma atau dengan mengingatnya di kepala.

"Ayah, kenapa tidak banyak yang mencatat dengan tulisan?" tanya Ibrahim.

Ayahnya tersenyum. "Tidak semua orang bisa menulis dengan baik, Nak. Hanya mereka yang belajar dengan sungguh-sungguh yang bisa melakukannya."

Kata-kata itu membuat Ibrahim semakin mantap. Ia ingin mengasah kemampuannya dalam menulis, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga agar bisa berguna bagi orang lain. Ia pun bertekad untuk lebih tekun belajar dari Zaid bin Tsabit dan para sahabat lainnya.

Sore harinya, setelah kembali dari pasar, Ibrahim mengambil alat tulisnya dan mulai menuliskan apa yang ia alami hari itu. Ia mencatat bagaimana para pedagang berbicara, bagaimana sistem jual beli berlangsung, serta bagaimana masyarakat Madinah berinteraksi satu sama lain.

"Ini mungkin hal kecil," gumamnya sambil menatap tulisannya. "Tapi mungkin suatu hari nanti, catatan ini akan menjadi sesuatu yang berharga."

Sejak hari itu, Ibrahim semakin tekun menulis. Ia mulai mencatat bukan hanya kejadian sehari-hari, tetapi juga percakapan dan kebijaksanaan yang ia dengar dari para sahabat Nabi. Ia menyadari bahwa dunia ini penuh dengan cerita, dan ia ingin menjadi saksi yang mencatatnya.

Langkah kecil yang ia ambil hari itu mungkin tampak sederhana, tetapi tanpa ia sadari, ia baru saja memulai perjalanan panjangnya sebagai seorang pencatat sejarah di masa yang penuh perubahan.