Bab 9: Cahaya di Tengah Kegelapan

Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi hati Ibrahim tidak bisa tenang. Semakin ia belajar dan memahami kehidupan barunya, semakin ia merasa ada sesuatu yang mengikatnya—sebuah bayangan samar yang terus menghantuinya dalam mimpi-mimpi yang sulit ia pahami.

Ia mulai merasa seperti ada dua bagian dalam dirinya yang terus bertarung. Satu bagian ingin sepenuhnya menerima kehidupannya di Madinah, menjalani hari-hari sebagai seorang anak kecil yang belajar dan tumbuh di lingkungan penuh kehangatan. Namun, bagian lain dari dirinya masih terperangkap dalam ingatan yang samar, seolah ada sesuatu yang hilang yang belum bisa ia jangkau.

Pada suatu malam, Ibrahim duduk di luar rumah, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Angin malam bertiup lembut, tetapi ada sesuatu yang menusuk hatinya lebih dalam daripada dinginnya udara. Ia bertanya-tanya, mengapa dirinya masih merasa gelisah? Mengapa, meskipun ia telah hidup di sini selama bertahun-tahun, ada perasaan bahwa dirinya belum sepenuhnya menjadi bagian dari dunia ini?

"Apakah aku benar-benar milik tempat ini?" pikirnya dalam diam.

Ia mengingat kembali kata-kata Rasulullah beberapa waktu lalu. Bahwa setiap manusia memiliki perjalanan mereka sendiri, dan jawaban akan datang pada waktunya. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin kuat rasa frustrasi dalam dirinya. Ia ingin memahami dirinya sendiri, ingin mengetahui alasan di balik ingatan-ingatan yang samar itu.

Keesokan harinya, saat sedang membantu ayahnya di pasar, perasaan itu kembali muncul. Suara orang-orang yang bercakap-cakap, aroma rempah-rempah, cahaya matahari yang menerpa tanah—semua terasa begitu nyata, namun pada saat yang sama, terasa asing. Seolah-olah dirinya adalah seorang pengamat yang melihat dunia dari balik lapisan kaca tipis.

Tiba-tiba, suara seorang lelaki tua yang sedang bercerita tentang peristiwa besar yang terjadi di sekitar mereka menarik perhatiannya. Lelaki itu berbicara tentang perang, tentang perjuangan, tentang perubahan besar yang sedang terjadi di dunia ini. Ibrahim terdiam, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menyadari bahwa ia bukan hanya bagian dari sejarah ini—ia adalah seseorang yang bisa melihat sejarah itu terjadi di depan matanya.

Malam itu, ia kembali membuka lembaran-lembaran diary-nya. Setiap tulisan yang ia buat adalah caranya untuk memahami dunia ini, untuk menghubungkan kepingan-kepingan yang tercerai berai dalam pikirannya. Ia sadar bahwa mungkin, ia tidak akan pernah sepenuhnya mengingat masa lalunya, tetapi bukan itu yang penting.

Yang penting adalah bagaimana ia menjalani kehidupannya sekarang.

Dengan napas yang lebih tenang, Ibrahim menatap lilin yang menyala di hadapannya. Ia menulis satu kalimat di akhir catatannya malam itu: "Aku adalah bagian dari sejarah ini, dan sejarah ini juga adalah bagian dariku."

Dengan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya merasa sedikit lebih ringan.