Hari-hari di Madinah terus berjalan, dan Ibrahim semakin menyadari bahwa setiap langkahnya membawa makna lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan. Ia tidak lagi sekadar mengamati sejarah, tetapi kini menjadi bagian dari alurnya. Namun, di balik rutinitas yang kian akrab, ada keresahan yang tak bisa ia abaikan.
Setiap malam, dalam kesunyian rumahnya yang diterangi cahaya lampu minyak, ia menatap lembaran-lembaran yang telah ia tulis. Tinta hitam membentuk huruf-huruf Arab yang kini mulai ia kuasai, tapi di antara barisan kata-kata itu, ada sesuatu yang masih terasa hampa. Ia mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, tetapi belum menemukan makna sejati di baliknya.
Suatu hari, saat Ibrahim tengah membantu ayahnya di pasar, ia melihat seorang lelaki tua duduk di sudut jalan dengan tatapan kosong. Wajahnya tertutup debu perjalanan, dan pakaiannya tampak lusuh. Namun, ada sesuatu dalam matanya—sebuah kesedihan yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik.
Ibrahim, terdorong oleh rasa ingin tahunya, mendekati lelaki itu dan menyapanya dengan sopan. "Paman, apakah engkau baik-baik saja?"
Lelaki itu menoleh perlahan, mengamati Ibrahim sejenak sebelum tersenyum tipis. "Anak muda, aku telah menempuh perjalanan panjang untuk mencari jawaban, namun semakin jauh aku berjalan, semakin banyak pertanyaan yang muncul."
Kata-katanya menggema di dalam hati Ibrahim. Bukankah itu yang selama ini ia rasakan? Sebuah pencarian yang tampaknya tak berujung? Ia duduk di samping lelaki itu, ingin mendengar lebih banyak.
"Apa yang paman cari?" tanyanya hati-hati.
Lelaki itu menatap ke langit, seolah mencari jawaban di antara awan yang berarak. "Kebenaran. Aku ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini, mengapa kita hidup dan mengapa sejarah selalu berulang dengan cara yang hampir sama."
Ibrahim terdiam. Seolah semesta sedang berbicara langsung kepadanya melalui lelaki ini. Ia sendiri telah lama bertanya-tanya hal yang sama.
"Tapi, nak," lanjut lelaki itu dengan suara yang lebih lembut, "jangan terlalu terjebak dalam mencari jawaban sampai kau lupa untuk hidup di dalamnya. Kadang, kita hanya perlu menjalani hari demi hari, dan makna itu akan datang dengan sendirinya."
Ibrahim menatap diary-nya yang selalu ia bawa ke mana-mana. Apakah selama ini ia terlalu sibuk mencatat hingga lupa merasakan? Lelaki itu kemudian bangkit, menepuk bahu Ibrahim, dan pergi meninggalkan jejak kaki di pasir yang perlahan menghilang tertiup angin.
Hari itu, Ibrahim menyadari satu hal—sejarah bukan hanya tentang mencatat kejadian, tetapi juga memahami bagaimana manusia menjalaninya. Sejak saat itu, ia mulai melihat kehidupannya dengan perspektif yang berbeda, bukan hanya sebagai seorang pencatat, tetapi sebagai seseorang yang hidup di dalamnya.
Dan dalam perjalanan panjangnya, ia tahu bahwa masih banyak hal yang harus ia pelajari, bukan hanya dari buku, tetapi dari setiap langkah yang ia ambil di atas pasir waktu.