Hari-hari berlalu, dan Ibrahim semakin larut dalam kehidupannya di Madinah. Ia telah banyak belajar dari para sahabat dan mulai mengembangkan kebiasaan mencatat setiap kejadian penting yang ia alami. Meskipun ingatan samar dari kehidupan sebelumnya semakin memudar, ada satu hal yang tetap bertahan—keinginannya untuk mengabadikan sejarah.
Namun, ada satu hal yang mulai mengganggunya. Ia mulai menyadari bahwa setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya membawa beban yang lebih besar daripada yang ia bayangkan. Sejarah bukan hanya catatan di atas kertas, melainkan kehidupan yang terus bergerak dengan konsekuensi yang tidak terduga.
Suatu hari, ia berjalan di pasar bersama ayahnya. Suasana pasar yang biasanya ramai tampak lebih riuh dari biasanya. Para pedagang berbicara dengan semangat, membahas sesuatu yang tampaknya penting. Ibrahim mendengar percakapan tentang pasukan yang sedang bersiap untuk sebuah ekspedisi.
"Ayah, apa yang terjadi?" tanyanya.
Ayahnya menghela napas dan menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Rasulullah sedang mengumpulkan pasukan untuk menghadapi ancaman dari luar. Ini adalah waktu yang penting, Ibrahim."
Ibrahim merasakan gelombang kecemasan di dadanya. Ia tahu bahwa sejarah mencatat banyak peperangan di masa ini, tetapi sekarang ia benar-benar mengalaminya secara langsung. Ia bertanya-tanya apakah ini akan menjadi salah satu titik balik dalam sejarah Islam.
Ketika ia pulang, ia segera mencatat percakapan dan pengamatannya dalam diary-nya. Tangannya bergetar saat menuliskan kata-kata. "Apakah sejarah benar-benar harus selalu ditulis dengan darah?"
Malam itu, Ibrahim tidak bisa tidur. Ia memikirkan bagaimana manusia selalu terjebak dalam lingkaran konflik, bagaimana peradaban selalu diuji dengan peperangan. Ia merenung, apakah ia hanya seorang pencatat pasif, ataukah ia bisa melakukan sesuatu lebih dari sekadar menulis?
Beberapa hari kemudian, saat berada di masjid, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah. "Ya Rasulullah, mengapa peperangan selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia?"
Rasulullah menatapnya dengan lembut, seolah memahami kegelisahan di hati anak itu. "Ibrahim, dunia ini adalah ujian bagi setiap manusia. Ada kalanya kita harus berjuang untuk kebenaran, tetapi perjuangan yang paling besar adalah melawan keburukan dalam diri kita sendiri. Yang terpenting bukanlah seberapa banyak peristiwa yang kau catat, tetapi bagaimana kau mengambil hikmah darinya."
Kata-kata itu tertanam dalam hati Ibrahim. Mungkin, tugasnya bukan hanya menjadi saksi bisu, tetapi juga memahami esensi dari setiap kejadian. Ia harus belajar untuk tidak hanya melihat sejarah sebagai rangkaian peristiwa, tetapi sebagai pelajaran hidup yang membentuk masa depan.
Di dalam diary-nya malam itu, ia menulis dengan penuh keyakinan: "Sejarah bukan hanya tentang peristiwa, tetapi tentang jiwa-jiwa yang mengalaminya. Aku harus lebih dari sekadar pencatat. Aku harus belajar memahami."
Dan dengan itu, perjalanan Ibrahim sebagai pengamat sejarah semakin dalam, mengukir jejak di pasir waktu yang akan terus bergema hingga masa depan.