Hari-hari di Madinah terus berlalu, dan Ibrahim semakin dalam terlibat dalam kehidupan di kota itu. Seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa meskipun dirinya hanya seorang anak kecil di tengah perubahan besar, perannya sebagai seorang pencatat semakin jelas. Namun, di balik tugas yang ia emban, ada satu pertanyaan yang terus menghantui benaknya: apakah seharusnya ia hanya menjadi saksi, ataukah ia memiliki tanggung jawab untuk bertindak?
Suatu sore, ia duduk di dekat sumur kota, mengamati para sahabat yang berdiskusi tentang perkembangan Islam dan berbagai tantangan yang dihadapi umat Muslim. Ia mendengar nama-nama seperti Romawi dan Persia disebut, dua kekuatan besar yang suatu saat nanti akan bersinggungan dengan umat Islam. Ibrahim menyadari bahwa masa depan yang ia baca dalam buku-buku sejarahnya kini sedang terbentuk di hadapannya.
"Ibrahim, kau tampak termenung lagi," suara lembut Bilal bin Rabah membuyarkan pikirannya.
Ibrahim tersenyum kecil. "Aku hanya berpikir... Apakah mungkin seseorang bisa hidup di tengah sejarah tanpa mengubahnya?"
Bilal menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Setiap orang meninggalkan jejaknya, sekecil apa pun itu. Kau mungkin merasa seperti hanya seorang pengamat, tetapi keberadaanmu sendiri sudah mengubah sesuatu."
Malam harinya, Ibrahim menuliskan percakapannya dengan Bilal dalam diary-nya. Ia mulai merenungkan bahwa menjadi pencatat bukan hanya tentang menulis peristiwa, tetapi juga memahami esensi dari kejadian-kejadian itu. Ia mulai bertanya-tanya: apakah catatan yang ia buat ini hanya untuk dirinya sendiri, ataukah ada seseorang di masa depan yang akan membacanya?
Beberapa minggu kemudian, kesempatan besar datang padanya. Umar bin Khattab yang dikenal sebagai seorang pemimpin tegas mulai memperhatikan ketertarikan Ibrahim dalam mencatat peristiwa. Ia memberi Ibrahim kesempatan untuk membantu para pencatat resmi dalam mendokumentasikan berbagai peristiwa penting yang terjadi di Madinah.
"Aku tahu kau masih muda, tetapi matamu memancarkan pemahaman yang lebih dalam dari anak seusiamu. Mungkin kau bisa belajar dari mereka dan membantu mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita," ujar Umar dengan nada penuh harapan.
Ibrahim merasa dadanya bergetar. Ini adalah kesempatan besar baginya untuk benar-benar menjadi bagian dari sejarah, bukan hanya sekadar mengamatinya dari kejauhan. Namun, ia juga sadar bahwa semakin ia terlibat, semakin besar risiko bahwa dirinya akan meninggalkan jejak yang mungkin tidak seharusnya ada.
Malam itu, ia tidak bisa tidur. Pikiran-pikiran bertabrakan dalam kepalanya. Sejarah telah tertulis dengan caranya sendiri di dunia asalnya, tetapi kini, dengan dirinya yang berada di tengah-tengahnya, mungkinkah ada perubahan yang terjadi? Ataukah semuanya memang sudah ditakdirkan sejak awal?
Di bawah cahaya rembulan yang menerobos jendela, Ibrahim memegang diary-nya erat-erat. Mungkin, tidak peduli seberapa besar atau kecil peran yang ia mainkan, tugasnya tetaplah satu: mencatat. Karena pada akhirnya, sejarah bukan hanya tentang mereka yang berkuasa dan bertempur, tetapi juga tentang mereka yang mengingat dan menjaga kisah itu tetap hidup.