Bab 13: Bayang-Bayang di Persimpangan Waktu

Malam itu, Ibrahim duduk di ambang pintu rumahnya, menatap langit Madinah yang bertabur bintang. Hembusan angin malam membawa aroma pasir dan dedaunan yang khas, tetapi pikirannya melayang jauh dari tempat ia berada. Ia menggenggam selembar kertas kosong, pena tergenggam erat di tangannya, tetapi tak satu pun kata tertulis di atasnya.

Bayangan-bayangan samar berkelebat dalam benaknya—seperti ingatan yang tak utuh, pecahan dari sesuatu yang pernah ia ketahui tetapi tak mampu ia pahami sepenuhnya. Masa lalu—atau masa depan? Apakah ia benar-benar telah mengalami semua itu, ataukah hanya ilusi dari pikirannya yang lelah? Terkadang, wajah-wajah asing muncul dalam benaknya, orang-orang yang seharusnya ia kenal, tetapi kini terasa begitu jauh.

"Apa yang akan terjadi padaku?" bisiknya pada dirinya sendiri. Ia telah menerima kenyataan bahwa dirinya terlahir kembali di zaman ini, tetapi apakah ia benar-benar telah meninggalkan segala sesuatu yang pernah ia ketahui? Ataukah potongan-potongan kenangan itu akan selalu menghantuinya, membayang-bayangi setiap langkahnya di masa kini?

Kecemasan itu semakin menyesakkan dada. Ia telah menemukan tempatnya di kota ini, namun ada sesuatu yang mengganjal—sebuah ketakutan tak bernama. Apakah ia akan terus hidup seperti ini, hanya sebagai pengamat yang mencatat setiap peristiwa? Ataukah suatu saat nanti ia harus mengambil peran yang lebih besar, berhadapan dengan arus sejarah yang tak dapat ia kendalikan?

Ibrahim menarik napas dalam-dalam. Ia sadar, tak ada jawaban yang bisa ia dapatkan saat ini. Namun, satu hal yang pasti—ia harus terus maju. Entah masa lalu itu nyata atau sekadar ilusi, entah masa depan akan membawanya ke arah yang lebih baik atau lebih buruk, ia harus tetap melangkah. Dengan tangan gemetar, ia akhirnya menuliskan beberapa kata di kertas kosongnya, mencoba mengurai benang kusut yang memenuhi pikirannya.

Dan untuk pertama kalinya, meski hanya sedikit, ia merasa lebih tenang.