Ibrahim merasa seperti tenggelam dalam pusaran waktu yang tidak bisa ia kendalikan. Hari-hari berlalu, tetapi setiap langkah yang ia ambil hanya membuatnya semakin terjerat dalam kebingungan. Masa lalu yang seharusnya adalah masa depan, masa kini yang terasa seperti mimpi, dan masa depan yang tidak lagi bisa ia prediksi—semuanya berputar dalam pikirannya seperti gelombang yang menghantam tanpa henti.
Malam itu, Ibrahim duduk di depan pelita yang redup, menatap halaman kosong dalam diary-nya. Tangannya sudah menggenggam pena, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk menuangkan kata-kata. Ia ingin menuliskan sesuatu, tetapi ia tidak tahu apakah yang ia tulis itu miliknya sendiri atau milik seseorang yang pernah—atau akan—menjalani kehidupan ini. Bayang-bayang memorinya yang samar semakin kabur, namun ada kecemasan yang tumbuh dalam dirinya: apa yang akan terjadi jika ia benar-benar melupakan semuanya? Apakah ia masih akan menjadi Ibrahim, atau hanya cangkang kosong yang tersisa dari seseorang yang pernah ada?
Sejak pertama kali ia menyadari keberadaannya di era ini, ia mencoba beradaptasi. Ia mengikuti aliran waktu, belajar tentang budaya dan cara hidup masyarakat, bahkan menerima bimbingan dari Nabi. Tetapi di balik semua itu, ada ketakutan yang semakin hari semakin menggerogoti hatinya.
"Apakah aku sedang menjalani hidup ini sebagai diriku sendiri, ataukah aku hanya mengulang sesuatu yang sudah tertulis?" bisiknya dalam hati.
Beberapa kali, ia mencoba mengabaikan perasaan ini. Ia mencoba menjalani kehidupan sehari-harinya seperti biasa—berjualan di pasar, beribadah, berbincang dengan orang-orang di sekitarnya—tetapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal. Ia merasa seperti seorang aktor yang mengikuti naskah yang tidak ia mengerti. Setiap langkah terasa seolah-olah sudah ditentukan sebelumnya, dan itu menyesakkan.
Malam semakin larut, dan dalam keheningan kamar kecilnya, Ibrahim merasa dadanya sesak. Ia ingin menulis sesuatu yang bisa membantunya memahami dirinya, tetapi tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan kekacauan dalam hatinya.
"Aku tidak ingin menjadi seseorang yang terjebak dalam masa lalu atau masa depan. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Tapi... siapa aku sebenarnya?"
Pertanyaan itu terus menggema dalam pikirannya, tanpa jawaban, tanpa kepastian. Ibrahim menutup diary-nya dengan tangan gemetar. Ia harus menemukan jawabannya, sebelum dirinya sendiri tenggelam dalam bayang-bayang yang ia ciptakan.