Bab 15: Riak di Permukaan, Gelombang di Hati

Madinah terasa lebih sibuk dari biasanya. Ibrahim berjalan melewati lorong-lorong pasar, mencoba mengabaikan riuh rendah pedagang dan pembeli yang saling bertukar kata. Namun, suara mereka hanya menjadi gema di kepalanya, tenggelam oleh pusaran pikirannya sendiri. Bayang-bayang ingatan samar dari masa depan—atau masa lalu?—kembali mengusik benaknya. Ia mulai mempertanyakan segalanya lagi. Apakah ia benar-benar bagian dari dunia ini? Ataukah ia hanya seorang pengelana yang tersesat dalam arus waktu?

"Ibrahim!" Sebuah suara menyentaknya dari lamunan.

Ia menoleh dan melihat Sa'id, seorang pemuda yang baru dikenalnya beberapa pekan lalu. Wajah Sa'id tampak penuh semangat, seakan ada kabar penting yang ingin ia sampaikan.

"Ada pertemuan di masjid, beberapa sahabat Rasulullah akan membicarakan sesuatu yang besar," ujar Sa'id. "Kau harus ikut."

Ibrahim ragu. Ia belum sepenuhnya nyaman dalam pertemuan-pertemuan besar, terutama jika itu menyangkut hal-hal penting di kota. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat. Mungkin, mendengarkan diskusi mereka bisa membantunya menemukan pegangan dalam kebingungannya.

Di dalam masjid, suasana hening namun penuh ketegangan. Para sahabat duduk dalam lingkaran, membicarakan perkembangan terbaru mengenai situasi politik dan sosial di Madinah. Ibrahim menyimak, tetapi pikirannya masih berputar pada dirinya sendiri. Ia merasa kecil di antara mereka, seakan hanya menjadi penonton dari sejarah yang sedang ditulis di hadapannya.

Seseorang di sisinya berbisik, "Kadang, memahami dunia bukan tentang mengetahui segalanya, tetapi tentang menerima peran kita di dalamnya."

Ibrahim menoleh. Seorang lelaki tua dengan mata yang tajam namun lembut menatapnya. Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam benaknya. Selama ini, ia terlalu sibuk mencari jawaban, hingga lupa bahwa mungkin, sebagian pertanyaan memang tidak perlu dijawab—hanya dijalani.

Malam itu, ia menatap diary-nya dalam diam. Tangannya gemetar saat menulis, tapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena sebuah kesadaran baru mulai tumbuh dalam dirinya.