Bab 16 - Jejak Bayang-Bayang

Ibrahim termenung dalam diam, pikirannya masih berkecamuk di antara bayangan masa lalu yang samar, kenyataan yang menggenggam erat dirinya, dan masa depan yang terus mengintai dengan ketidakpastian. Dialog dengan lelaki tua di sebelahnya telah mengguncang hatinya. Kata-kata itu, seolah mengunci jiwanya dalam lingkaran waktu yang tak berujung.

Namun, seiring malam yang semakin larut, Ibrahim mulai menyadari sesuatu. Mungkin, ketakutannya bukan berasal dari masa depan yang tak pasti, atau dari bayangan-bayangan kenangan yang perlahan memudar. Ketakutannya berasal dari dirinya sendiri—dari ketidakmampuannya menerima keadaan, dari keengganannya untuk melepaskan apa yang sudah berlalu.

Ia menarik napas dalam. Jika ia terus terperangkap dalam bayang-bayang itu, ia tak akan pernah benar-benar hidup di tempat ini, di saat ini. Jika masa depan adalah sesuatu yang masih kosong, bukankah ia yang harus mengisinya?

Dengan tekad yang baru, Ibrahim menggenggam lembaran kosong dari jurnalnya. Ia menatap langit Madinah yang dipenuhi bintang, lalu mulai menulis. Mungkin, jawabannya tak akan datang dalam semalam. Tapi setidaknya, ia tahu ke mana harus melangkah.

Masa depan akan datang, dan ia akan siap menghadapinya.