Langit di batas Synapse Grid merekah seperti kulit dimakan waktu—bergetar, terbelah, lalu sunyi. Sylvaris berdiri di tepi kehampaan itu, tempat di mana warna dan suara mulai kehilangan arti. Di hadapannya membentang celah besar, The Maw of Null, gerbang ke dalam Choral Abyss—zona terlarang di mana ego tak lagi memiliki nama, dan kehendak tak bisa dijelaskan dalam bentuk.
"Konfirmasi lokasi: zona transisi antara grid eksistensial dan lapisan fragmental terdalam. Semua sistem sinkronisasi tak lagi stabil."
Suara itu muncul dari unit pengindera otomatis yang tertanam dalam sarung tangan tempurnya. Sylvaris tak menjawab. Ia hanya membuka telapak tangan—dan melihat bagaimana sinyal ego-nya terdistorsi, seperti riak dalam air mati.
Langkah pertama ke dalam kehampaan tidak disertai suara, hanya tekanan seperti tulang-tulangnya diremukkan perlahan. Pemandangan di dalam Choral Abyss bukanlah gelap atau terang, tapi denyut spasial—realitas yang bernafas, retak, lalu sembuh lagi dengan logika yang rusak.
Visualisasi HUD-nya terus berkedip merah.
> [WARNING: UNDEFINED LAYER DETECTED]
[EGO FIELD: NULL-SYNC ZONE]
[CAUTION: CORE INSTABILITY PREDICTED AT 37%]
Sylvaris mengangkat tangan kanannya. Materi di sekitarnya menolak intervensi fisik, namun ia memaksakan Stellarity Pulse untuk membelah jalan di hadapannya. Tiga langkah berikutnya membawa tubuhnya masuk lebih dalam, ke zona di mana semua bentuk komunikasi digital telah mati.
Namun bukan itu yang membuatnya berhenti.
Ada suara.
Bukan gema.
Bukan mekanisme atau resonansi medan.
Melainkan… nyanyian.
Retak. Bisu. Dibisikkan oleh eksistensi yang tak lagi diingat.
Sylvaris menatap ke bawah: tubuh-tubuh tak berbentuk mengambang dalam spiral tak berujung. Mereka adalah ego yang tak pernah berhasil menjadi kehendak, ide-ide yang disapu sebelum sempat bermakna.
Satu entitas muncul perlahan di tengah pusaran itu. Tak bersayap, tak memiliki bentuk tetap, namun menyuarakan puluhan nada dalam satu frekuensi.
> "Mengapa engkau turun ke sini… wahai yang belum runtuh?"
Sylvaris menarik napas pendek. “Aku datang untuk menghancurkan sisa belenggu terakhir.”
> "Kau membawa kehendak… ke tempat kehendak mati?"
Entitas itu merentang—mulut, mata, dan tangan tercipta dari jaringan suara. Ia menyentuh dasar eksistensi bukan dengan tubuh, tapi dengan makna. Makhluk itu memanggil dirinya:
THALGEN, THE LOST ORATOR.
Tapi pertarungan belum datang. Masih ada satu langkah lagi: pelepasan dari grid harmonik—jaringan yang selama ini menopang kestabilan ego Sylvaris.
Ia menekan dadanya sendiri, mengaktifkan Forced Dissonance Protocol. Satu gelombang putih keluar dari tubuhnya, memutus semua sisa koneksi ke Synapse Grid.
Kini hanya dia… dan kehampaan.
> [EGO STATE: UNSUPPORTED]
[SYNC MODE: DISENGAGED]
[REMAINING CORE: USER ONLY]
Sylvaris tak bergerak.
Langit abyss mulai runtuh dari atas, membentuk spiral balasan. Entitas-entitas dari berbagai masa muncul sekejap, lalu lenyap. Memori-memori gagal berusaha menempel di jiwanya, memaksa jalan masuk.
Namun ia tak goyah. Ia membuka Skill 1: Dualstream Lancer, lalu melemparkannya ke arah pertama dari banyak anomali yang mulai berkumpul. Ledakan warna cemerlang muncul, lalu langsung ditelan hitam—tanpa gema.
“Kalau kalian ingin menyeretku ke diam abadi…” ucapnya dingin. “Maka aku akan membuat kehampaan ini mengingat siapa aku.”
Descent to Silence tak lagi hanya penurunan.
Itu adalah deklarasi perang terhadap seluruh konsep kegagalan.