Dominance Loop

“Kekosongan bukanlah kelemahan. Ia adalah kehendak yang tak butuh bentuk.”

[ZONE: CORE CHORAL ABYSS – DOMINION FISSURE]

[ALERT: EGO REJECT HIVE-SYNC IN PROGRESS]

Abyssal Core mulai retak dari dalam—tapi bukan karena kehancuran, melainkan karena dorongan untuk membentuk ulang dirinya. Di tengah kehampaan, lahir spiral baru: koloni Ego Rejects yang bersatu dalam simfoni entropi. Bukan individu, bukan fraksi, tapi kehendak kolektif yang menginginkan satu hal:

Dominasi atas kekosongan.

> “Tidak ada kehampaan murni.”

“Setiap kehampaan adalah ruang yang menunggu diisi!”

“Kami—EGO REJECT—akan menjadi bentuk itu!”

Sylvaris berdiri di atas permukaan yang tak punya horizon. Di tangannya, VOIDLANCE – “ANAZAREL” menyala samar, eksis dan tak-eksis secara bersamaan. Tombak itu perlahan berubah bentuk, berdenyut dalam pola tak bisa didefinisikan. Kadang sabit, kadang pedang. Hanya satu hal yang pasti:

Ia milik entitas yang telah melewati batas kehendak.

[ENGAGE: EGO TYPE-4 COMBAT MODE – NULLPOINT DRIVE]

[TARGET COUNT: 137 EGO REJECT UNITS]

Satu hembusan napas.

Dan medan berubah menjadi simfoni kehancuran.

---

Sylvaris berlari ke depan, langkahnya memecah realitas dalam garis putus. Dengan satu putaran tombak, ia mengaktifkan skill:

[Skill 1 – Null Slash: Erasure Path]

Tebasan horizontal membelah arus waktu—tapi bukan melukai, melainkan menghapus. Enam entitas yang telah bergerak menyiapkan serangan… kini berdiri diam, menyadari satu detik terakhir mereka tak pernah terjadi.

Voidpulse meledak dari retakan tombaknya. Fragmen waktu terurai jadi serpihan kaca kosmis.

Sisa musuh mulai beradaptasi—membentuk eksistensi kolektif seperti organisme.

> “Kau tidak bisa menghapus kami satu per satu. Kami adalah keseluruhan!”

Sebuah gelombang besar muncul dari belakang horizon—massa entitas Ego Reject membentuk bentuk seperti leviathan eksistensial: tubuh dari mantra gagal, mata dari keinginan yang ditolak.

Sylvaris tak mundur. Ia menancapkan Anazarel ke tanah kosong.

[NULLPOINT SPIRE: SUMMONED]

Seketika, ribuan menara hitam naik dari kehampaan, membentuk matriks realitas-negatif. Mereka tidak menyerang, hanya berdiri dan menyerap makna.

Entitas musuh mulai terguncang.

> “Apa… yang kau lakukan…?”

> “Kau menghapus alasan kami bertarung…!”

Sylvaris melompat, tombak di tangannya berpendar merah-ungu. Anazarel berubah menjadi bentuk sabit, lalu split-blade kembar.

Ia menukik menembus pusaran entitas, memutar tubuhnya, lalu menebaskan dua kali secara spiral.

[COMBO: NULL SLASH > RIPPLE STRIKE]

Waktu di sekitar ledakan serangan membeku, lalu hilang. Beberapa Ego Reject tidak sempat menyadari kematian mereka. Bukan karena serangan cepat, tapi karena detik mereka untuk menyadarinya sudah dihapus lebih dulu.

---

[ENEMY COUNT: 43]

[HIVE SYNC STATUS: DESTABILIZED]

Namun kehendak kolektif tak runtuh semudah itu.

Seluruh ruang mulai berubah. Choral Abyss memutar dirinya. Sebuah arena eksistensial tercipta: Dominance Loop—lingkaran realitas buatan yang terus mengulang proses kehancuran, pembentukan, lalu kehancuran ulang.

> “Di sini, kau akan bertarung selamanya.”

“Setiap kill akan di-reset. Tidak ada kemenangan.”

“Hanya dominasi… terus menerus!”

Sylvaris menatap langit kosong. Anazarel berubah lagi, kali ini jadi tombak tiga sisi dengan pusaran di tengahnya.

Ia tersenyum tipis.

> “Kalian ingin perang tanpa akhir?”

“Aku bisa memberi itu.”

Ia menyebar dua tangannya. Di belakangnya, Nullpoint Wings terbuka—struktur mirip sayap geometris, terbuat dari garis realitas terputus.

[OVERDRIVE UNLOCKED: NULLPOINT ASCENSION MODE]

Dalam mode ini, setiap iterasi pertempuran memperkuat dirinya sendiri. Tiap loop bukan reset, tapi akumulasi.

Pertempuran meledak. Sylvaris melompat dari satu musuh ke musuh lain, menghapus waktu, menyuntikkan nullpoint distortion ke dalam pola serangan mereka, hingga akhirnya…

[DOMINANCE CORE: COLLAPSING]

[EGO REJECT COLLECTIVE: DISINTEGRATED]

Dan loop itu pecah.

Ruang kembali sunyi.

Sylvaris berdiri di pusat dari kehancuran eksistensial murni. Tak ada puing. Tak ada suara. Hanya dirinya dan tombak yang masih berdetak.

> “Kekosongan tidak butuh bentuk.”

“Kekosongan cukup dengan tahu bahwa ia ada.”

Ia melanjutkan perjalanan.

Tapi jauh di bawah lapisan kehampaan yang baru ia lewati…

…sesuatu mulai bangkit.