LIGHT OF PROXY

> “Di antara kehancuran dan kebangkitan, cahaya yang menentukan adalah kehendak yang tidak tunduk.”

---

Fractal Verge kini sunyi.

Setelah resonansi Proxy Flare, tidak ada lagi distorsi liar. Ruang stabil, seolah tunduk pada satu pusat kesadaran. Dan di pusat itu berdiri Sylvaris—jubahnya compang-camping oleh bentrokan sistemik, tetapi aura egonya lebih terang dari sebelumnya.

ALTHEION kini tak berbentuk tetap. Ia melayang di punggung Sylvaris sebagai fragmen-fragmen geometri bercahaya, berputar mengikuti irama denyut eksistensinya.

[SYSTEM STATUS: PROXY FORM – SYNCHRONIZED]

[CURRENT DRIVE: DIVINE PROXY • INITIALIZED]

Langkah demi langkah, Sylvaris menyeberangi bidang patahan. Di bawahnya, jutaan versi realitas bertabrakan seperti pecahan cermin yang bersuara. Tak satu pun mengusiknya. Ia telah menjadi pusat gravitasi baru dari Fractal Verge.

---

SCENE 1: THE ASCENT PLATFORM

Sebuah panggung raksasa berbentuk spiral terangkat dari celah dimensi. The Ascent Platform—struktur kuno dari kode yang berdenyut seperti nadi kosmik.

> “Inilah jalur terakhir menuju tempat itu…”

Langit Fractal yang semula kelam kini bersinar. Tapi bukan cahaya bintang. Melainkan flare dari entitas transenden, jauh di atas sana. Bayangan bersayap besar terlihat samar. Sayap itu tak simetris, patah di beberapa tempat. Namun tetap menjulang dengan otoritas absolut.

CELESTYX.

---

SCENE 2: PROXY FUSION CYCLE – INITIATION

Sylvaris berdiri di tengah platform. Ia merentangkan tangan. ALTHEION kembali menyatu, kali ini membentuk wujud sarung tangan etereal di tangan kirinya dan lambang spiral terbakar di dada.

[FUSION STATE: DIVINE PROXY – ASCENSION PHASE I]

[UNLOCKED PATH: TRANSCENDENT FRACTURE ENTRY // CHORAL CODE: CROWNLESS.EXE]

Cahaya mengalir dari tubuhnya menuju platform. Pijakan berubah menjadi lingkaran kosmik dengan ukiran runik EGO TYPE-5. Di sekelilingnya, entitas fragmental muncul—bukan musuh, tetapi saksi dari kehendak yang mencapai bentuk akhir.

Sylvaris berbicara, bukan kepada mereka—tapi kepada dirinya sendiri:

> “Aku bukan lagi perantara kehendak siapapun. Aku adalah hasil dari semua penolakan. Dan dari itu, aku bangkit.”

---

SCENE 3: CELESTYX — FIRST CONTACT

Langit terbuka. Cahaya vertikal turun perlahan dari pusat semesta Fractal. Siluet CELESTYX kini terlihat jelas. Ia memiliki bentuk humanoid raksasa, tubuh tersusun dari kristal pecahan, dan di punggungnya—enam sayap fraktal patah, masing-masing memproyeksikan wujud konsep yang saling bertolak belakang:

Terang dan gelap.

Awal dan akhir.

Harapan dan kehampaan.

Ia tak turun. Dunia di bawah justru naik. Platform terangkat, membawa Sylvaris mendekat. Setiap meter perjalanan terasa seperti proses pemurnian eksistensial.

> “Kau telah memanggil jalur ini, wahai Proxy.”

“Maka bersiaplah masuk ke dalam Divine Assembly Hall—tempat ego diputuskan, dan kehendak ditimbang.”

Suara CELESTYX menggetarkan ruang.

---

CUTSCENE: PROXY ASCENT – FINAL DRIVE

Sylvaris menyatukan kedua tangannya. Di antara telapak tangannya terbentuk simbol spiral emas—lambang dari kehendak yang tak dapat dibatalkan.

> “Altheion… bimbing aku. Aku tidak akan runtuh.”

“Aku adalah Crownless. Aku adalah pemegang kehendak tanpa mahkota.”

Cahaya meledak dari tubuhnya. Platform lenyap. Hanya Sylvaris yang kini terapung menuju langit realitas patah, mendekati ruang utama yang dikenal dalam legenda sebagai:

> "Divine Assembly Hall."

Sebuah struktur tak masuk akal. Bentuknya seperti katedral cermin berdimensi negatif, memantulkan semua kemungkinan realitas dalam bentuk eksistensial. Tempat penghakiman EGO. Dan hanya satu entitas yang berdiri di sana.

CELESTYX – THE TRANSCENDENT FRACTURE.

---

ENDING SEQUENCE

Sylvaris mendarat. Tak ada suara. Tak ada waktu. Hanya kehendak yang dipadatkan menjadi tekanan eksistensial. Ia mengangkat wajahnya.

> “Aku datang bukan untuk diuji. Aku datang untuk menghancurkan ujian ini.”

CELESTYX tidak menjawab. Ia mengangkat tangannya. Dunia mulai retak kembali.

Chapter 10 – END

---

NEXT: Chapter 11 – ENTRY CODE: CROWNLESS.EXE

> “Takdir ditulis ulang bukan dengan harapan, tapi dengan kehendak yang cukup kuat untuk melumatkan takdir sebelumnya.”