Sylvaris berdiri di tengah altar.
Langkah terakhirnya dalam realitas membawa dia ke hadapan inti eksistensi.
Namun, yang menyambutnya... bukan kehampaan. Bukan kehancuran. Bukan kehendak destruktif.
> “Kau datang. Seperti yang aku tahu akan terjadi.”
Suara itu tak membawa kebencian, tak membawa intimidasi.
Melainkan seperti bisikan seorang ibu yang menyanyikan lagu tidur terakhir bagi semesta.
Atherya.
Ia muncul—bukan sebagai makhluk kosmik, bukan sebagai entitas akhir.
Melainkan... sebagai sosok manusia biasa, berpakaian putih, berdiri di taman tak berbentuk.
Langit di atas bukan langit.
Tanah di bawah bukan tanah.
Semua adalah gambaran ideal:
Dunia tanpa konflik. Tanpa penderitaan. Tanpa kehilangan.
Sylvaris tidak bicara.
Matanya menatap Atherya seperti melihat cermin masa depan—versi dirinya yang pernah mempertimbangkan menyerah.
> “Ini dunia yang kubangun setelah memahami akhir segalanya.”
“Tidak ada rasa sakit, Sylvaris. Tidak ada kehilangan. Tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan.”
Atherya mengangkat tangannya.
Seketika, realitas di sekitar mereka berubah.
Visual berubah cepat—dunia demi dunia diperlihatkan:
Kota utopia terapung, damai dan sunyi.
Ruang keluarga tempat semua orang tersenyum.
Dimensi tanpa waktu, di mana tidak ada yang mati, karena tidak ada yang lahir.
Dunia tanpa penderitaan.
> “Aku menyerap seluruh EGO yang pernah menderita, yang tak ingin lagi merasa.”
“Dan akhirnya, aku menyatu dengan bentuk terakhir: Mimpi itu sendiri.”
Sylvaris menatap semua itu.
Indah. Nyaris sempurna.
Tapi... terlalu sepi.
> “Lalu di mana suara mereka?”
Atherya tersenyum lembut.
> “Mereka tidak perlu bersuara lagi.”
Cutscene perlahan melambat.
Visual bergerak melalui memori Sylvaris—Maven, Virella, Celestyx, Kravix, dunia-dunia yang telah ia lalui.
Semua pernah rusak, ya.
Tapi semua... pernah hidup.
---
> “Semua bentuk keindahan berasal dari bentuk penderitaan.”
“Kau hanya membuang satu sisi dan menyebutnya keselamatan.”
Atherya berjalan mendekat.
Tangannya menyentuh bahu Sylvaris. Tidak ada kekuatan. Tidak ada skill.
---
> “Kau tidak perlu bertarung lagi, Sylvaris.”
“Lepaskan. Aku akan menyimpankan ingatanmu di antara dunia yang tak pernah perlu berubah.”
---
Tiba-tiba, sistem bereaksi:
> [WARNING: SYNTHESIS WILL BE TERMINATED IF MANDATE IS SURRENDERED.]
> [DO YOU ACCEPT THE DREAM WITHOUT FORM?]
[Y/N]
Sylvaris menutup matanya.
Lalu berkata pelan.
> “Kalau semua ini tak ada bentuk... maka tak ada makna.”
“Dan jika tak ada makna... untuk apa aku sampai sejauh ini?”
---
Atherya tidak menjawab.
Ia tidak perlu.
Ia hanya mengangkat tangan, dan sekali lagi memperlihatkan dunia sempurna.
Namun kali ini... Sylvaris tidak goyah.
Ia hanya menatapnya, lalu berbalik, berjalan ke arah tempat altar semula berdiri.
---
> “Aku menghargai niatmu, Atherya.”
“Tapi aku tidak akan mengakhiri segalanya... hanya karena dunia ini terlalu sulit untuk dihadapi.”
---
END OF CHAPTER
---
NEXT – Chapter 13: Dialogue in Dusk
“Kadang bukan kebenaran yang kita butuhkan. Tapi keberanian untuk menyangkal akhir yang sempurna.”