Dialogue in Dusk

Langit Dreamer’s Gate tetap tak berubah.

Tak ada senja. Tak ada fajar.

Hanya bias cahaya yang tidak tahu waktu.

Atherya duduk di atas permukaan datar seperti altar, menatap Sylvaris yang berdiri di seberangnya.

> “Sylvaris... kita tidak perlu melanjutkan ini.”

Suara Atherya lembut, namun penuh dengan keyakinan.

Ia tak lagi mencoba menaklukkan. Ia menawarkan pelarian.

> “Aku tahu apa yang telah kau lalui. Semua kehancuran yang menyertai langkahmu. Setiap suara yang terhapus, setiap dunia yang runtuh saat kau maju ke depan.”

Sylvaris diam.

Atherya melanjutkan:

> “EGO adalah beban. Dan beban itu tak pernah harus kau tanggung selamanya. Di sinilah semuanya bisa berakhir—bukan dalam kekalahan, tapi dalam damai.”

Atmosfer berubah.

Gambaran-gambaran realitas alternatif bermunculan di sekitar mereka, seperti proyeksi mimpi:

Sylvaris duduk bersama Maven dalam dunia di mana ARKHESTRA tak pernah hancur.

Dunia di mana perang antar lapisan realitas tak pernah terjadi.

Dimensi di mana EGO SYSTEM tak pernah diciptakan.

> “Aku bisa memberimu tempat di mana kau tak pernah kehilangan apa pun. Dunia tanpa konflik. Tanpa luka. Tanpa pengorbanan.”

Sylvaris menatap gambaran-gambaran itu, tak menolak, tapi juga tak menerima.

Ia hanya bertanya:

> “Apa yang akan terjadi pada suara mereka?”

Atherya menunduk pelan.

> “Mereka akan tenang. Tak perlu bersuara lagi. Karena tidak ada yang perlu disampaikan dalam dunia yang telah sempurna.”

Cutscene Phase:

Kamera berputar mengelilingi keduanya.

Efek partikel transparan mengalir di antara mereka—resonansi antara dua kehendak besar.

Sylvaris akhirnya bicara:

> “Kesempurnaan tak berarti tanpa pilihan. Dan pilihan... lahir dari konflik.”

Atherya berdiri. Untuk pertama kalinya, nada suaranya mengeras:

> “Lihat ke belakang, Sylvaris. Berapa banyak yang mati karena keinginanmu untuk terus maju? Jika kau benar-benar peduli pada mereka—lepaskan EGO-mu. Serahkan kendali.”

Sylvaris menarik napas.

Tangannya perlahan mengepal.

> “Bukan karena aku tak peduli... tapi justru karena aku peduli.”

“Aku tidak datang sejauh ini untuk menghapus dunia... hanya karena ia terlalu sulit untuk diperbaiki.”

Atherya mendekat. Matanya menatap dalam.

> “Maka kau memilih penderitaan?”

> “Aku memilih makna.”

Dunia mulai retak.

Gambaran-gambaran mimpi Atherya mulai bergetar, perlahan hilang.

EGO SYSTEM milik Sylvaris beresonansi, tak stabil. Tapi tidak goyah.

> “Jika segala sesuatu menjadi tenang, maka tak ada lagi yang bisa disebut hidup. Hanya... gema kosong dari keheningan.”

Atherya menutup matanya.

> “Maka tidak ada jalan kembali.”

Sylvaris mengangkat wajahnya.

Tatapannya tidak marah. Hanya teguh.

> “Aku tak pernah ingin kembali.”

Transition cutscene mulai:

Visual berubah.

Latar belakang mulai membentuk medan perang terakhir.

Dua sosok berdiri di sisi berlawanan dari ruang kosong.

Atherya, perlahan berubah.

Pakaian putihnya mulai pecah, membuka lapisan cahaya dan kegelapan.

Sayap-sayap mimetik muncul dari punggungnya, terbuat dari fragmen mimpi dan kehendak tak tertulis.

---

> “Kalau begitu, Sylvaris... mari kita lihat EGO siapa yang pantas mendefinisikan akhir semesta.”

---

END OF CHAPTER

---

NEXT – Chapter 14: The Answer That Was Never Written

Sylvaris menolak takdir yang dibentuk oleh mimpi terakhir, dan untuk pertama kalinya—memanifestasikan bentuk final dari EGO-nya.