THE ANSWER THAT WAS NEVER WRITTEN

Langkah-langkah Sylvaris menggema dalam keheningan Dreamer’s Gate—sebuah ruang tanpa tepi, tempat segala gema tak pernah kembali. Di hadapannya, berdiri sosok yang tak tergambarkan dengan batas eksistensi biasa: Atherya.

Ia tak datang sebagai musuh. Tak ada aura permusuhan, tak ada niat membunuh.

Hanya ketenangan. Dan keyakinan yang tak bisa digoyahkan.

"Aku tak datang untuk menghancurkanmu, Sylvaris," ucap Atherya, suaranya bagai melodi yang lupa berasal dari mana. "Aku datang untuk menyelamatkanmu. Dari penderitaan. Dari pengulangan. Dari mimpi buruk bernama realitas."

Sylvaris diam, menatap kosong. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar rayuan. Itu adalah dogma. Kebenaran dalam dunia Atherya.

"Aku sudah melihat apa yang ingin kau tunjukkan," jawabnya pelan. "Dunia yang tenang. Tanpa rasa sakit. Tanpa keinginan. Tapi juga tanpa makna."

Atherya melangkah, tak menyentuh lantai, melainkan seolah mengambang dalam dimensi perasaan.

"Makna adalah luka. Harapan adalah jerat. Kau sudah berjalan sejauh ini hanya untuk kembali terperosok dalam kesalahan yang sama. Menyelamatkan dunia... yang akan hancur lagi."

Sylvaris menunduk, sejenak. Lalu mendongak, mata menyala dengan cahaya biru kristal yang membelah kegelapan sekitar.

"Aku memang gagal menyelamatkan banyak hal. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti. Setiap kegagalan, setiap kehilangan—adalah bagian dari aku. Dan aku tidak akan pernah menyerahkan bagian itu hanya demi ketenangan palsu."

Cahaya di sekeliling tubuhnya mulai berkedip. Tak seperti sebelumnya—kali ini bukan hanya energi. Tapi gema. Gaung dari semua EGO yang telah ia jalani, bentuk-bentuk sebelumnya yang kini menggumpal dalam dirinya sebagai satu suara, satu niat.

Atherya mengangkat tangan, menciptakan pantulan cahaya samar. Lalu, seolah alam sendiri menjeda waktu, ia berkata:

"Maka biarkan aku bertanya padamu, Sylvaris..."

Ia menunjuk langsung ke jantung Sylvaris, tak dengan kekuatan, tapi dengan rasa ingin tahu yang murni.

"Jika kau bisa menulis ulang satu jawaban dari semua luka di semestamu… apa yang akan kau ubah?"

Sylvaris menatapnya tajam. Bayangan akan kehilangan, perang, dunia yang gagal ia selamatkan, muncul sekilas. Tapi tak satu pun dari memori itu membuatnya gentar.

"Aku tidak akan menulis ulang apapun," jawabnya mantap. "Aku akan menulis lanjutannya."

Langit Dreamer’s Gate perlahan berubah. Bukan karena kehendak Atherya. Tapi karena reaksi Synthesis yang bergolak dari dalam tubuh Sylvaris.

Gema suara berlapis menggaung dari tubuhnya. Bukan hanya suaranya sendiri—tapi suara dari mereka yang telah hilang. Dari semua realitas yang telah terbakar.

“Virella. Kravix. Solmire. Yulgath. Celestyx…” bisik Sylvaris, menyebut nama-nama entitas yang telah ia hadapi, satu demi satu. “Mereka semua bagian dari jalanku. Dan aku akan membawa mereka sampai akhir.”

Atherya masih belum bergerak. Tapi ada sesuatu yang berubah. Aura di sekitarnya mulai retak. Ia tak lagi melihat seorang anak idealis di hadapannya—tapi eksistensi yang telah melampaui akhir itu sendiri.

“Jadi ini jawabanmu?” bisiknya.

Sylvaris mengangguk.

“Aku tidak akan menjadi akhir. Aku akan jadi awal yang terus menolak untuk berhenti.”

Seketika, retakan cahaya mulai menyelimuti tubuhnya. Synthesis Mandate mulai aktif, namun tak sepenuhnya terbuka—ia masih menahannya, menyimpannya untuk saat pertarungan benar-benar dimulai.

Atherya pun membuka matanya lebar. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil—bukan karena bahagia. Tapi karena ia tahu: ini tak akan bisa dihentikan lewat kata-kata lagi.

Sementara gema mulai bergetar di seantero Dreamer’s Gate, Sylvaris memberi langkah pertama—menuju duel yang tak bisa dielakkan lagi.

---

Narasi Penutup (Sinematik):

Sorotan cahaya mengikuti langkah Sylvaris yang kini tak ragu. Musik latar mulai masuk—nada ambient yang perlahan berubah menjadi orkestra penuh harapan. Kamera naik ke atas, menyorot Dreamer’s Gate dari sudut luas, lalu perlahan gelap. Satu kalimat mengakhiri bab:

> “Aku adalah ketidaksempurnaan yang terus memilih untuk bertahan.”