Bab 2 - Pendatang yang Tidak BiasaDes

Bab 2 - Pendatang yang Tidak Biasa

Desa Lembah Teduh, tempat di mana Surya tinggal selama sebulan terakhir, mendadak ramai dengan bisik-bisik. Kabar tentang "orang asing" yang mengalahkan Kera Merah Bermata Dua menyebar lebih cepat daripada asap dapur saat pagi hari. Pemuda-pemuda desa yang diselamatkan bersumpah bahwa pria itu hanya menggunakan satu pukulan untuk menjatuhkan makhluk buas yang bahkan pernah membuat pemburu lokal lari ketakutan.

"Kau yakin bukan jurus ilusi?" tanya salah satu tetua desa, matanya menyipit curiga.

"Aku… aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Tetua. Dan… dan ada semacam cahaya bulat melayang di belakang punggungnya! Besarnya hampir seperti kendi air, bercahaya, dan… aneh seperti benda asing." jawab salah satu pemuda dengan suara bergetar.

Tetua itu terdiam. Cahaya bulat? Bukan bayangan binatang, senjata, atau elemen? Jiwa Beladiri macam apa itu?

Sementara itu, Surya duduk tenang di pinggir sungai, membersihkan darah di tangan dengan air dingin. Di pangkuannya, Core Creation menampilkan notifikasi:

[Poin Bertambah: +10 (Pertarungan Menang Melawan Musuh Lebih Tinggi)]

[Bonus: Inti Qi Teridentifikasi – Apakah ingin diurai untuk material dasar?]

Ia mengangguk. "Urai dan simpan."

[Inti Qi Berhasil Diurai. Material Dasar: Qi Liar Lv.1, Fragmen Energi Kasar x2]

Core Creation semakin terasa seperti alat serbaguna, bahkan lebih lengkap daripada sistem crafting dalam game yang dulu ia rancang di dunia asalnya. Tapi ia tahu, makin dalam ia terlibat dalam dunia ini, makin besar tanggung jawab dan bahaya yang akan mengikutinya.

Keesokan harinya, seorang lelaki paruh baya datang ke pondok kayu sederhana milik Surya. Berjubah abu-abu dan bertongkat, matanya tenang, namun menyimpan tekanan tak kasat mata. Surya yang tengah menyiapkan sarapan, menoleh tanpa panik.

"Namaku Damar Jati," ucap lelaki itu dengan suara dalam. "Aku Tetua Desa Lembah Teduh. Kau kah yang menyelamatkan pemuda kami dari Kera Merah?"

Surya menatapnya sejenak lalu mengangguk. "Kebetulan lewat saja."

Damar Jati tertawa kecil. "Tidak banyak yang bisa mengalahkan makhluk sekelas itu… hanya dengan 'kebetulan lewat'." Ia lalu duduk tanpa dipersilakan, menatap Surya tajam. "Kau bukan orang biasa."

"Memang bukan," jawab Surya tenang. "Tapi aku juga bukan bagian dari desa ini. Aku hanya singgah, tidak berniat menimbulkan masalah."

Damar Jati terdiam sejenak, menatap api di tungku. "Aku mengerti. Tapi izinkan aku memberi saran, sebagai sesama manusia. Dunia ini keras. Mereka yang kuat bertahan, mereka yang lemah menjadi santapan."

Surya mengangguk pelan. "Karena itulah aku memilih tidak menonjolkan diri. Selama aku bisa menjaga hidupku dan tidak mengganggu yang lain, itu sudah cukup."

Damar Jati mengangguk, kali ini dengan nada lebih menghormati. "Sikap yang bijak. Tapi dunia di luar desa lebih kejam daripada yang bisa dibayangkan. Tujuh hari lagi akan ada seleksi murid luar Sekte Kabut Lembah. Jika kau ingin melangkah lebih jauh, sekte adalah jalan awal."

Surya menatapnya, kali ini dengan lebih dalam. "Sekte, ya? Aku akan mempertimbangkannya."

Damar Jati berdiri dan meninggalkan pondok dengan langkah tenang. Tak ada tekanan, tak ada paksaan. Hanya sebuah saran.

Surya menghela napas panjang, lalu menatap langit pagi yang mulai bersinar keemasan.

Dunia ini perlahan membuka dirinya, dan Surya tahu, sebelum ia benar-benar kuat, lebih baik tetap rendah hati dan tidak menarik perhatian. Tapi di balik matanya, nyala tekad tetap membara. Jika saatnya tiba, ia tidak hanya akan bertahan—ia akan melangkah ke puncak.

Surya duduk bersila di dalam pondok kayunya, pintu ditutup rapat, dan jendela ditutup kain tipis agar cahaya pagi tak menyilaukan. Di hadapannya, Core Creation perlahan membentuk formasi cahaya bundar. Poin yang terkumpul selama sebulan terakhir telah cukup banyak. Hari ini, ia ingin membuat teknik yang lebih kuat—tapi tetap sederhana—untuk pertahanan diri.

"Mode: Pengembangan Teknik Dasar." Suaranya tenang.

[Tentukan Jenis Teknik: Serangan / Pertahanan / Mobilitas / Sensorik]

"Pertahanan."

[Analisis: Kondisi tubuh pengguna saat ini berada di alam Pemurnian Tubuh tingkat 9. Teknik akan disesuaikan.]

"Prioritaskan kecepatan aktivasi dan efisiensi penggunaan Qi."

[Mengembangkan Teknik…]

Sambil menunggu proses selesai, Surya memejamkan mata dan menarik napas panjang. Sejak datang ke dunia ini, tubuhnya terasa lebih kuat dari sebelumnya, dan napasnya lebih dalam. Teknik pernapasan peninggalan kakeknya dulu, setelah dimodifikasi dengan bantuan Core Creation, menjadi sangat cocok dengan dunia ini. Kini, ia tak lagi sekadar meniru—ia mulai menciptakan.

[Teknik Ditemukan: Lapisan Penolak Qi Lv.1 – Sebuah teknik pertahanan instan yang menciptakan gelombang penolak searah dengan aliran serangan fisik. Biaya Qi sangat rendah, durasi pendek, namun efektif untuk serangan awal.]

"Nama: Perisai Kabut Tipis." Surya menambahkan nama itu dengan nada kecil.

Seketika, tubuhnya bersinar samar dan sehelai lapisan tipis Qi muncul mengelilingi permukaannya, nyaris tak terlihat. Ia mengayunkan tangan ke tiang kayu di samping—dan mengaktifkan teknik itu. Getaran halus terlihat dari kulitnya, dan ketika tangannya menyentuh kayu, terdengar suara lembut seperti gelombang air.

Surya tersenyum kecil. "Sudah cukup untuk menyerap satu serangan kecil."

Tak lama setelah itu, terdengar ketukan pelan di pintu.

"Masuk," ucapnya sambil mematikan visualisasi Core Creation.

Yang muncul adalah seorang anak kecil dari desa, membawa kantong kain berisi roti dan daun-daunan wangi. "Ibu menyuruhku mengantar ini, Kak Surya. Katanya… sebagai ucapan terima kasih karena menyelamatkan Kakakku dari Kera Merah."

Surya menerimanya sambil tersenyum, "Sampaikan terima kasihku, ya. Aku hanya lewat waktu itu."

Anak kecil itu mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada pondok Surya yang sederhana tapi bersih dan rapi, berbeda dari rumah para pemburu lainnya.

"Eh… Kak Surya, kenapa Kakak nggak ikut latihan pagi di lapangan?"

Surya tertawa kecil. "Karena aku lebih suka latihan sendirian. Diam-diam."

Anak itu mengangguk penuh rahasia, lalu berlari pergi. Surya kembali duduk, kali ini sembari menggigit roti hangat itu.

Di dalam kepalanya, satu pertanyaan berputar: Apakah sudah saatnya keluar dari desa kecil ini dan melangkah ke dunia yang lebih besar?

Tujuh hari bukan waktu yang lama. Jika memang akan ada seleksi Sekte Kabut Lembah, maka ia harus mempersiapkan dirinya lebih baik. Dunia luar bukan tempat bagi mereka yang hanya bisa bersembunyi.

Tapi untuk saat ini, menjadi bayangan yang rendah hati adalah keputusan terbaik. Sebab di dunia baru ini, bukan kekuatan yang membuatmu bertahan—melainkan bagaimana kau memanfaatkannya dengan bijak.

---

Satu tahun telah berlalu sejak kehadirannya di Desa Lembah Teduh, dan waktu itu tidak hanya mendatangkan kedamaian, tetapi juga membuka jalan bagi sebuah transformasi mendalam dalam tubuh dan jiwanya. Di balik ketenangan hidup yang sederhana, Surya terus menyempurnakan teknik warisan kakeknya. Setiap pagi, ia kembali duduk bersila di bawah pohon besar, menghirup udara dalam-dalam sambil membiarkan aliran Qi yang dipandu oleh Jalur Penjernih Diri menyusup ke setiap relung tubuhnya.

Latihan demi latihan, tarikan napas yang dulu hanya digunakan untuk menenangkan pikiran kini telah berkembang menjadi kunci pemurnian seluruh tubuh. Sesekali, ia merasakan getaran halus di titik-titik lemah, seolah batas antar alam mulai mengecil. Dalam keheningan malam yang dingin, ketika bintang-bintang menyaksikan dari atas, ia merasakan sebuah lonjakan energi yang menyambar dari dalam dirinya. Rasa hangat mulai mengalir menyusuri nadi dan arteri—sesuatu yang menandakan sebuah perubahan besar.

Tanpa diduga, saat itulah muncul suara batin:

[Tembusan: Pemurnian Darah Lv.1]

Dalam seketika yang penuh kesakitan namun juga keajaiban, batasan alam Pemurnian Tubuh yang telah ia capai selama berbulan-bulan mulai retak. Rasa sakit yang menggigit berganti dengan sensasi hangat menyatu, seolah-olah darahnya sendiri telah diberi pijatan oleh energi surgawi. Seluruh tubuhnya bergemuruh dalam transformasi, setiap sel seakan menguap dari ketidakmampuan masa lalu dan menggantikan dengan kekuatan yang tak lagi terbatas hanya pada tubuh luar.

Surya membuka mata yang terpejam penuh konsentrasi. Di balik kesunyian pondok yang sederhana, ia menyadari bahwa dirinya telah melewati ambang baru—ia kini menapaki alam Pemurnian Darah Lv.1. Meskipun terobosan ini membawa rasa sakit dan tantangan, tekadnya untuk terus belajar dan berlatih tidak luntur.

Meski usianya kini mencapai 36 tahun, ia memilih untuk tetap tinggal di desa. Bagi Surya, kehadiran di Lembah Teduh bukanlah tentang menjadi bagian dari keramaian atau bergabung dengan sekte, melainkan tentang mengumpulkan kekuatan dan kearifan yang akan membantunya menghadapi dunia luar suatu hari nanti. Ia bertekad memperdalam teknik pernapasan dan mempelajari kearifan lokal yang tumbuh dari budaya masyarakat desa, sehingga setiap aspeknya—fisik, jiwa, dan pola pikir—menjadi semakin selaras.

Di balik senyum tenangnya, terdapat tekad yang kuat untuk mengejar peningkatan lebih lanjut. Walaupun dunia luar bagaikan lautan luas yang penuh badai, Surya tahu bahwa setiap kekuatan sejati membutuhkan waktu untuk matang. Ia berkeyakinan, suatu saat nanti, ketika saatnya tepat, ia akan melangkah keluar dari batas Desa Lembah Teduh untuk menapaki puncak alam-alam selanjutnya.

Satu tahun di sini telah mengubah dirinya secara mendalam. Dari seorang pendatang yang rendah hati, kini ia telah membuka pintu menuju alam baru—membuktikan bahwa meskipun perlahan dan penuh perhatian, perjalanan kultivasinya terus bergulir, selangkah demi selangkah, menuju kekuatan yang lebih besar.

Malam itu, Surya duduk sendirian di dalam pondoknya. Di hadapannya, sebuah lampu minyak berkerlap-kerlip ditiup angin dari celah-celah dinding bambu yang sudah mulai lapuk. Namun bukan kondisi pondok itu yang mengganggunya… melainkan getaran lembut yang mengalir dari dalam tubuhnya—darahnya sendiri yang kini terasa seperti mengandung aliran energi hidup.

"Alam Pemurnian Darah," gumamnya pelan.

Dulu ia pikir kultivasi hanyalah tentang fisik, tentang memperkuat otot dan tulang. Tapi ternyata, langkah setelah itu lebih dalam—lebih halus. Qi yang ia serap dari alam kini menyatu dalam darahnya. Dan itu membuat seluruh tubuhnya terasa… berbeda. Lebih awas, lebih hidup, seolah setiap desah nafas membawa pemahaman baru tentang dunia.

Di luar, angin pegunungan berhembus perlahan. Suara jangkrik dan gesekan ranting membentuk nyanyian malam khas pedalaman. Surya menarik napas panjang, lalu memejamkan mata.

[Poin Core Creation Hari Ini: +3 (Berdasarkan Alam Kultivasi: Pemurnian Darah Lv.1)]

Ia membuka panel dalam pikirannya, mengecek simpanan poin-poin selama ini. Jumlahnya tak besar, tapi cukup untuk digunakan meningkatkan satu hal penting.

"Analisis Jiwa Bela Diri," bisiknya.

Panel transparan seketika menampilkan miniatur bola logam kecil dengan pendar cahaya biru redup—wujud dari Jiwa Bela Diri unik miliknya. Hingga kini, hanya dua kemampuan yang terbuka: Analisis dan Grafitasi Mikro. Tapi ia tahu, ini baru permulaan.

Ia memilih menu Analisis, dan menekan tombol Upgrade.

[Poin digunakan: 10. Analisis meningkat menjadi Lv.2. Fungsi tambahan: Deteksi Struktur Qi Tingkat Dasar.]

Sejenak, penglihatannya menjadi lebih tajam. Ia memandangi dinding bambu dan seketika dapat melihat serat kayunya, jalur rongga udara kecil, bahkan kelembapan di dalam pori-porinya. Ketika ia memusatkan pandangan ke arah telapak tangannya sendiri, ia melihat aliran Qi mengalir mengikuti jalur samar di bawah kulit.

"…Hebat juga."

Meski belum mampu mengalahkan siapa pun, kini ia yakin: fondasinya perlahan mulai kokoh. Ia belum ingin memperlihatkan kekuatan ini pada siapa pun. Ia tetap rendah hati, tetap menghindari konflik, dan hanya membantu warga seperlunya. Tapi jika kelak bahaya datang, atau ada yang mencoba memaksanya tunduk, maka kekuatan ini… akan menjadi penentu.

Beberapa anak muda desa mulai menyadari keanehan pada dirinya. Seorang anak laki-laki pernah berkata, "Paman Surya tak pernah belajar bela diri, tapi binatang buas selalu menghindarinya." Seorang ibu rumah tangga pernah curiga karena setiap kali Surya menyentuh alat rusak, entah mengapa, alat itu selalu bisa diperbaiki—entah ditambal, disetel, atau dibentuk ulang.

Dan rumor pun mulai beredar diam-diam… bahwa orang asing di pondok ujung lembah mungkin bukan orang biasa.

Tapi Surya hanya tersenyum, menanggapi semua itu dengan santai.

Ia bukan petarung. Bukan tetua. Bukan guru.

Ia hanya... menunggu waktu.

Dan waktu itu, ia tahu, akan datang lebih cepat dari yang ia duga.

---

Beberapa bulan setelah terobosannya ke Alam Pemurnian Darah tingkat awal, Surya semakin menyadari bagaimana dunia ini berfungsi dari sudut pandang orang biasa.

Desa tempat ia tinggal hanyalah sebuah pemukiman kecil berpenghuni tak lebih dari seratus orang. Tidak ada tembok pelindung, tidak ada penjaga bersenjata, dan hampir tidak ada satupun yang bisa disebut sebagai seniman beladiri sejati. Para penduduknya hanyalah petani, pemburu, penebang kayu, dan perajin sederhana. Jika pun ada yang bisa menggunakan tenaga dalam atau sedikit seni bela diri, itu hanyalah warisan kasar dari leluhur, digunakan untuk berburu atau melindungi diri dari serangan binatang buas.

Orang desa mengenal 'pandai besi', tapi itu hanyalah sebutan untuk Bapak Jarsa, seorang pria tua yang pandai membuat cangkul dan parang dari baja hitam yang dibelinya dari pedagang keliling. Mereka mengenal 'tabib', tapi tabib desa hanyalah Mak Tini, seorang janda tua yang meracik ramuan dari akar-akaran dan jamur yang ia petik sendiri dari hutan. Sementara ilmu pengobatannya tidak lebih dari resep turun-temurun, dan sedikit sentuhan naluri.

Surya mengamati semuanya dengan tenang.

Ia sadar, tidak seharusnya ia menganggap dunia ini seperti game kompleks yang langsung mengenalkan profesi-profesi luar biasa di level awal. Segala sesuatu di tempat ini… dimulai dari bawah.

Dan di tengah keterbatasan itu, Surya justru melihat peluang besar.

"Aku bisa menciptakan sesuatu yang tidak mereka punya," gumamnya sambil memandangi panel Core Creation.

Dengan kombinasi pemahaman teknologi masa lalunya dan jiwa bela diri unik miliknya, ia mulai merancang—teknik dasar yang bisa menguatkan tubuh, mempercepat penyembuhan luka, dan meningkatkan pernapasan alamiah—berbasis teknik warisan kakeknya. Ini bukan sesuatu yang ia bagikan ke orang lain. Tidak… bukan karena ia pelit, tapi karena ia masih asing di tempat ini.

Penduduk hanya mengenalnya sebagai orang luar yang rajin membantu memperbaiki atap, saluran air, atau memperbaiki alat-alat kayu. Ia menjaga sikap, tidak menonjol, dan menyatu perlahan dengan rutinitas desa, tanpa pernah benar-benar menjadi bagian dari mereka.

Satu tahun pun berlalu dalam ketenangan semu. Dan selama itu pula, Surya telah melangkah jauh—diam-diam menembus seluruh sembilan alam kecil Pemurnian Darah, bahkan kini berada di ambang batas menuju Pemurnian Qi.

Semua tanpa sorak, tanpa pertarungan dramatis.

Hanya napas demi napas.

Dalam kesunyian.