Bab 6 – Langkah Menuju Kota

---

Bab 6 – Langkah Menuju Kota

Langkah kaki Surya mantap menyusuri jalan tanah yang perlahan menanjak. Pepohonan mulai jarang, berganti semak dan ladang liar. Di kejauhan, bayangan tembok batu dan atap genteng mulai terlihat—Kota Banyu Langit, kota kecil terdekat dari desa tempat Surya tinggal selama tiga tahun terakhir.

Sebelum melangkah lebih jauh, Surya menoleh ke belakang. Bayangan desa masih ada di benaknya—anak-anak yang mulai berlatih dasar pernapasan, para tetua yang memberinya tempat tinggal dan nasi hangat, dan mayat musuh yang kini membusuk di hutan barat. Pemimpin musuh memang sudah tewas, namun instingnya berkata lain. Orang seperti itu tak mungkin bergerak sendiri.

"Kalau aku buru-buru mengejar ke utara… aku hanya akan masuk perangkap," gumamnya.

Itulah sebab ia mengambil jalan ke kota kecil ini. Selain sebagai tempat transit bagi para pelancong dan pedagang, Banyu Langit juga dikenal sebagai tempat di mana informasi mengalir. Tak hanya berita, tapi juga rumor dan gosip dari para pemburu, pedagang sekte, hingga pengemis jalanan yang kadang menyimpan rahasia lebih dalam dari bangsawan.

Begitu memasuki gerbang, suasana berubah drastis. Aroma masakan, suara penjual, deru roda kayu, dan tawa anak-anak menyambut. Surya melepas kerudung sederhana di kepalanya, menampakkan wajah bersih dan tatapan tenang. Ia menyewa kamar kecil di lantai dua sebuah penginapan sederhana dekat pasar tengah. Tak mencolok, tapi cukup tinggi untuk mengamati sekeliling.

Malam itu, saat langit mulai dipenuhi bintang, Surya duduk bersila di atas ranjang bambu. Di dalam dantiannya, planet kecil miliknya perlahan berputar. Cincin energi yang mengelilingi proyeksi jiwa bela dirinya bersinar redup, pertanda evolusi ke tingkat kedua benar-benar telah selesai. Di dalam planet itu, ruang kendali dimensi kini lebih stabil dan luas, cukup untuk menyimpan banyak objek dan pasukan mini. Bahkan, Surya sendiri bisa masuk dan memberi perintah langsung dalam kondisi aman.

Kemampuan kelima itu—Ruang Kendali Dimensi—adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan kepada orang dunia ini. Bahkan para guru sekte tertinggi sekalipun mungkin akan mengira itu artefak langit. Tapi bagi Surya, ini adalah bagian dari dirinya. Bagian dari jiwa bela dirinya yang unik dan terus berkembang seiring dengan peningkatan alamnya.

Sekarang, ia sudah berada di alam Pembentukan Gua, satu langkah di atas para ahli yang mampu berjalan di udara. Energinya padat, nyaris cair, mengalir seperti sungai di seluruh tubuhnya.

> Status: Alam Pembentukan Gua – Awal Jiwa Bela Diri: Planet Pangkalan – Level 2 (Cincin Planet Aktif) Kemampuan:

1. Proyeksi Skena

2. Gravitasi Terarah

3. Pasukan Mini

4. Pesawat Serbu Mini

5. Ruang Kendali Dimensi

6. Armor Tempur Energi (baru terbuka sebagian)

Keesokan harinya, ia turun ke pasar. Tak untuk membeli, tapi mendengar. Para pedagang dari utara membicarakan kerusuhan kecil di kota perbatasan, tapi tak ada yang menyebut sekte berjubah gelap secara langsung. Namun, dari percakapan seorang penjual jimat dan seorang pemburu bayaran, ia menangkap sesuatu yang menarik:

"Beberapa malam lalu, dua orang misterius menyewa seluruh lantai kedai belakang kuil tua. Katanya… mereka sedang menunggu seseorang. Tapi anehnya, mereka tak tanya siapa-siapa."

"Lalu kenapa kau peduli?"

"Aku tidak… sampai kulihat salah satunya menggenggam sebuah kristal hitam. Waktu dia marah, benda itu bergetar—seolah hidup."

Surya tak bereaksi secara berlebihan, tapi hatinya mencatat. Kristal hitam. Fragmen yang ia miliki. Atau… mungkin bagian lain dari sesuatu yang lebih besar?

Malamnya, saat angin membawa aroma bunga pasar dan minyak lentera, Surya kembali ke ruang kendalinya. Ia membuka kembali proyeksi jalur fragmen. Arah utara tetap terang, tapi kini sebuah titik samar muncul dari sisi barat laut—arah yang tak jauh dari kedai tua yang disebut si penjual.

Surya tidak langsung bertindak. Dunia ini, sebagaimana para tetua katakan, lebih banyak dimainkan oleh bayangan daripada oleh pedang. Ia akan menyelidiki perlahan. Mencari nama. Merekam wajah. Mengetahui musuh… sebelum musuh tahu siapa dirinya sebenarnya.

Dan sementara itu, ia akan menjadi bayangan di tengah pasar. Angin di antara kabar. Senyap, tapi pasti.

---

---

Setelah beberapa minggu menetap di Kota Banyu Langit, Surya mulai merasa bahwa denyutan krisis yang membayang-bayangi desanya perlahan meredup. Tak ada tanda-tanda pengejaran, tak ada mata-mata yang menyelinap di balik pasar, dan tak ada pertanda bahwa orang-orang berjubah gelap itu akan kembali dalam waktu dekat. Fragmen hitam—yang kini tersegel dengan sempurna di ruang kendalinya—tak lagi memancarkan aura yang bisa tercium oleh mereka yang tak diundang.

"Mereka hanya menginginkan kristal itu… dan mereka gagal," pikir Surya sambil menatap langit sore dari balkon rumah kecilnya yang disewa di pinggir kota. "Mungkin sudah waktunya aku berhenti berlari. Hidup damai, setidaknya untuk sementara."

Ia memilih rumah kayu dua lantai dengan taman kecil di belakang. Tak besar, tapi cukup tenang. Setiap pagi, ia bangun dengan suara ayam dan aroma roti gandum dari gang seberang. Siangnya ia berbaur dengan warga, membantu memperbaiki alat pertanian atau membuat kerajinan kecil. Ia tak menunjukkan keahliannya dalam bela diri—tak ada alasan untuk menonjolkan diri. Dunia ini sudah terlalu terbiasa memuja kekuatan, dan Surya justru menikmati kebalikannya: kesederhanaan.

Namun, bukan berarti ia berhenti melangkah dalam kultivasi.

Dalam ketenangan rumah barunya, energi spiritual kota yang tipis tak menghalangi kemajuannya. Dengan bantuan Jiwa Bela Diri unik miliknya, planet pangkalan kini aktif secara penuh, Surya mampu mengerahkan kemampuan pencarian otomatis untuk sumber daya. Ia menanam beberapa unit pasukan mini ke titik-titik tertentu di luar kota, memberi mereka perintah khusus untuk menyusup ke reruntuhan kecil dan gua-gua terpencil, menghindari konfrontasi langsung, dan kembali dengan apa pun yang bernilai.

Efisien. Diam. Dan tidak mencolok. Surya tahu, semakin besar langkah, semakin banyak mata yang mengawasi. Tapi dengan cara ini, ia bisa tetap bergerak dalam bayang-bayang tanpa menimbulkan riak besar di permukaan.

Kadang, ia sendiri masuk ke dalam ruang kendali dimensi—planet kecil miliknya yang kini berkembang lebih luas, lengkap dengan cincin energi yang berotasi lembut di langitnya. Di sana, ia menyusun strategi, merapikan pasokan, dan mengatur ulang formasi pertahanan. Tak hanya sebagai penyimpan objek, ruang itu juga menjadi titik meditasinya, tempat di mana aliran spiritual lebih jernih dan fokus bisa dicapai tanpa gangguan dunia luar.

Selama satu tahun penuh, hidup Surya berjalan stabil. Ia tak mencari pertarungan, tak masuk ke sekte mana pun, dan tak mengumumkan keberadaannya sebagai seorang ahli. Namun mereka yang peka—pengamat, peramal, bahkan tetua sekte kecil—perlahan mulai menyadari satu hal:

Ada kehadiran tak dikenal yang tumbuh cepat di Banyu Langit. Seseorang yang tidak tercatat dalam daftar sekte besar, namun memiliki fondasi yang tak bisa dipalsukan.

Dan Surya?

Ia hanya tersenyum setiap kali mendengar bisik-bisik itu di pasar.

"Aku hanya pengrajin biasa," katanya pada seorang pemuda yang ingin belajar bela diri darinya.

Namun jauh di dalam, di ruang kendalinya, energi Surya mendekati titik puncaknya. Dalam kesunyian, kekuatan itu mengendap, matang. Ia tahu, jika saatnya tiba… jika dunia kembali memaksanya bertarung…

Ia akan lebih siap daripada siapa pun.

---

Setelah satu tahun berlalu di Kota Banyu Langit, Surya telah jauh melangkah dari dirinya yang dulu hanya berkutat di antara desa dan hutan. Dalam keheningan malam dan kehangatan pagi kota, ia berhasil menembus alam Pembentukan Gua tingkat 3—tahap yang tidak bisa dianggap remeh. Di alam ini, energi dalam tubuhnya tidak hanya padat, tapi juga mulai membentuk alur mandiri, menciptakan "gua" batin yang menjadi pusat penampungan kekuatan sejati.

Namun, Surya juga mulai menyadari sesuatu yang lebih penting dari pencapaiannya sendiri—semakin tinggi alam seseorang, semakin banyak pula sumber daya yang dibutuhkan untuk melangkah lebih jauh.

Jika saat masih berada di Alam Pemurnian Qi, ia cukup mengandalkan kabut spiritual pagi dan batu-batu energi biasa, maka sekarang, tubuhnya yang telah menjadi wadah energi tingkat tinggi menolak energi rendah. Butuh kristal inti langka, akar roh dari tanah dalam, atau bahkan serpihan formasi kuno yang mengandung resonansi elemen alam.

Pangkalan dimensi miliknya telah mengirim banyak unit ke berbagai wilayah dalam radius ratusan li. Beberapa reruntuhan kuno berhasil dikuasai secara diam-diam—Surya tak pernah menginvasi dengan kasar. Ia hanya mengambil apa yang tertinggal, mengekstraksi nilai dari tempat-tempat yang telah dilupakan waktu.

Namun, setiap pergerakan juga membawa risiko. Unit-unit pengintainya mulai melaporkan peningkatan aktivitas di jalur spiritual yang tersembunyi, reruntuhan-reruntuhan yang dulu kosong kini menunjukkan jejak pemakaian baru. Seseorang, atau lebih tepatnya sekelompok orang, juga tengah memburu sumber daya—dan mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan.

Suatu malam, ketika Surya tengah bermeditasi di atas batu datar di dalam ruang kendalinya—dengan planet mini yang kini jauh lebih luas dan megah, dikelilingi cincin energi dan pulau-pulau melayang di orbit rendah—ia merasakan getaran asing menembus batas deteksi.

Sebuah unit pengintai kembali. Sayapnya patah sebelah, dan batu spiritualnya retak.

> "Laporan: reruntuhan di selatan diserang. Terdapat tanda-tanda Qi terganggu dan kerusakan struktur. Ditemukan simbol lingkaran hitam dengan mata di tengah."

Surya menyipitkan mata. Simbol itu sama seperti yang pernah ia lihat di jubah musuh lamanya—yang memburu fragmen kristal hitam.

"Mereka belum selesai..." gumamnya pelan.

Tapi kali ini, ia bukan pria yang sama seperti tiga tahun lalu.

Dalam ruang kendali, armor tempur miliknya berdiri dalam mode siaga. Bentuknya elegan, seperti perpaduan pelindung dada dan mantel logam hitam berkilau. Tak hanya sebagai perlindungan, armor ini juga menjadi media resonansi energi yang memperkuat proyeksi Jiwa Bela Diri miliknya.

Surya berjalan mendekat, lalu menyentuh panel proyeksi.

> "Aktifkan simulasi pertempuran. Ambil data reruntuhan. Siapkan rute paling cepat ke lokasi."

Dalam waktu kurang dari satu kedipan mata, planet mini di dalam dirinya berubah menjadi pusat komando. Tampilan taktis muncul di udara, dan proyeksi pasukan kecilnya mulai bersiap.

Mereka bisa saja menyebar seperti cacing di bawah tanah, pikir Surya. Tapi aku... aku punya langit yang tak terlihat oleh mereka.

Perjalanannya belum dimulai kembali. Tapi dunia mulai menggeliat. Dan Surya tahu, dalam waktu dekat...

ia akan dipaksa untuk naik panggung lagi.

---

Surya menuruni celah reruntuhan dengan langkah ringan, tapi penuh waspada. Cahaya dari batu spiritual kecil di tangannya menerangi dinding yang dipenuhi akar dan kelembaban. Reruntuhan ini dulu pasti tempat suci. Tapi sekarang, tempat ini lebih mirip makam bagi kekuatan yang terlupakan.

Aura di dalam semakin pekat. Bukan sekadar Qi, tapi energi yang bersifat gangguan—seolah menolak keteraturan dunia. Di tengah ruangan altar, Surya berhenti. Bekas ritual jelas terlihat. Simbol aneh tergurat di lantai, dan udara terasa seperti dipelintir.

"Resonansi fragmen..." gumamnya pelan.

Proyeksi Jiwa Beladiri-nya menyala lembut di belakang tubuhnya. Sebuah planet mini yang kini sudah sebesar bukit kecil, dengan cincin energi mengitari, berputar perlahan. Dari dalamnya, sinyal halus menjalar ke kesadaran Surya, lalu...

> Kemampuan Aktif: Ruang Kendali Dimensi – Terhubung

Pengawasan Area: 300 meter

Proyeksi Miniatur Armor Tempur: Siaga

Surya memanggil armor itu. Dalam sekejap, lapisan cahaya menyelimuti tubuhnya, membentuk pola geometris canggih menyerupai pakaian perang ringan, tapi tanpa suara. Sebuah helm transparan terbentuk di sekitar wajahnya, menyesuaikan aliran napas. Semua ini bukan teknologi biasa—tapi proyeksi Jiwa Beladiri-nya yang telah berevolusi secara alami.

Begitu kakinya menyentuh altar, tekanan tiba-tiba menghantam dari segala arah. Aliran spiritual di sekeliling seperti menolak kehadirannya. Di saat bersamaan, suara samar menggema di dalam benaknya:

> "Pintu telah dibuka... Tapi belum sempurna. Kau bukan penjaga, tapi juga bukan pemanggil..."

Surya menahan napas. Suara itu bukan suara manusia. Lebih seperti gema kesadaran lama yang tersisa—pecahan jiwa dari seseorang yang pernah hidup di tempat ini.

"Siapa kalian sebenarnya? Untuk apa fragmen itu?"

> "Kunci... kegelapan... pemurnian kekuatan... tubuh fana menjadi wadah..."

Suara itu memudar, meninggalkan hanya kesunyian dan tekanan lembut di dada. Surya menyentuh lantai altar, dan dalam pikirannya tergambar sekilas—bayangan seseorang berselimut jubah gelap, berdiri di puncak menara batu, memegang kristal serupa... dan tubuhnya mulai berubah, merekah seperti beling yang tak sanggup menahan energi di dalamnya.

Surya membuka matanya. Nafasnya sedikit tersengal.

"...mereka ingin menggunakan kristal untuk memperkuat tubuh fana. Tapi tubuh biasa tak akan tahan menampung kekuatan itu."

Kini ia paham, fragmen itu bukan hanya sumber daya. Ia adalah katalis, semacam pemicu mutasi kekuatan—dan jika jatuh ke tangan yang salah, bisa melahirkan kehancuran yang tak bisa dikendalikan.

Dan itu baru satu fragmen.

Dengan pelan, Surya berdiri, lalu kembali memanggil ruang kendalinya.

> Proyeksi Pesawat Mini – Satu unit diluncurkan

Misi: Pantau wilayah barat laut, radius 15 li

Proyeksi Prajurit Mini: Siaga

Ia tak buru-buru meninggalkan reruntuhan. Langkahnya tenang, tapi pikirannya sudah berjalan jauh ke depan. Ini belum saatnya mengejar siapapun. Tapi ia harus tahu—siapa dalangnya, dan berapa banyak fragmen yang tersisa.

Langit di luar mulai redup saat Surya naik ke permukaan.

Dunia masih tampak tenang.

Tapi jauh di balik gunung, badai mulai bangkit kembali.

---

Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh dari altar itu, udara di sekelilingnya mendadak menegang. Cahaya dari batu spiritual di tangannya berkedip-kedip, lalu padam begitu saja—tertelan kegelapan.

Suara mekanis kuno menggema dari dinding reruntuhan, bukan seperti mesin teknologi, tapi lebih seperti suara pusaran energi yang tertahan terlalu lama dan akhirnya menemukan jalan keluar.

Dinding batu di sisi barat bergeser. Batu-batu raksasa yang seharusnya diam selama ratusan tahun mulai bergeser perlahan, membentuk gerbang dengan ukiran asing yang mengalirkan cahaya merah darah.

> "Penyusup terdeteksi. Energi Jiwa Beladiri tidak cocok. Aktivasi penjaga."

Suara itu bukan berasal dari makhluk hidup, melainkan semacam kesadaran kuno dari reruntuhan itu sendiri.

Dari dalam bayangan lorong yang terbuka, muncul sesosok makhluk besar, setinggi dua kali manusia, tubuhnya dibalut pelat batu seperti zirah, tapi menyala dengan aliran energi merah gelap. Di dadanya, ada kristal hitam kecil—mirip dengan fragmen milik Surya.

"Fragmen aktif... jadi kau memang kunci," bisik Surya.

Ia mengaktifkan armor tempur Jiwa Beladiri-nya. Proyeksi planet dengan cincin energi berputar cepat di belakang tubuhnya, memancarkan tekanan unik yang membuat ruang sekelilingnya bergemetar.

> Kemampuan Aktif: Armor Tempur

Proyeksi Prajurit Mini: Summon x3

Gravitasi Area: Berat sedang – aktif

Tiga prajurit mini muncul di sisi Surya, masing-masing membawa senjata ringan berbentuk tombak energi. Gravitasi di sekitar altar diperberat—cukup untuk memperlambat gerakan musuh besar yang kini melangkah maju dengan suara dentuman berat.

"Jiwa Beladiri... jenis unik," gumam makhluk itu. "Tapi tetap saja... penghancur ketidakseimbangan harus dihapus."

Makhluk itu menerjang. Surya menyilangkan kedua tangannya, menerima pukulan pertama sambil mendorong dirinya mundur. Armor-nya bergetar, tapi tetap utuh. Ia memberi aba-aba cepat melalui ruang kendali mental—dua dari prajurit mini menyerang sisi kiri, satu lainnya menarik perhatian dari atas.

Pertarungan sengit berlangsung cepat, saling serang dan menghindar di ruang sempit reruntuhan. Tapi dengan kombinasi proyeksi armor dan kecepatan kendali otomatis dari pasukan mini, Surya berhasil menembus pertahanan musuh—menanamkan formasi penyegel ringan di bagian dada yang memuat kristal hitam.

Dalam satu dorongan Qi kuat, segel itu aktif, dan makhluk itu bergetar keras sebelum tubuhnya membatu kembali—menjadi patung tak bernyawa.

Namun, di saat makhluk itu runtuh, suara baru terdengar... bukan dari reruntuhan, tapi dari luar, samar namun jelas.

> "...Penjaga telah jatuh. Kirim laporan. Target memiliki Jiwa Beladiri anomali."

Surya menoleh cepat, tapi hanya angin dan sunyi yang menyambutnya.

Dia tak sendirian. Dan lawan-lawan selanjutnya… mungkin jauh lebih siap.

---