Bab 7 - Jejak yang Mengendap

Bab 7 - Jejak yang Mengendap

Bab 7 - Jejak yang Mengendap

Surya tidak segera keluar dari reruntuhan. Ia berdiam diri sejenak di dekat altar, membiarkan napasnya kembali teratur. Tubuhnya tidak terluka, namun konsumsi Qi dari pertarungan barusan tidak sedikit. Armor tempur perlahan menghilang dari tubuhnya, mengendap kembali ke dalam proyeksi Jiwa Beladiri—planet mini dengan cincin bercahaya yang kini terlihat lebih padat, lebih berotasi lambat namun berwibawa.

Dalam benaknya, ruang kendali terbuka. Laporan-laporan dari pasukan mini otomatis mulai terkumpul, mencatat pergerakan musuh, tekanan spiritual yang terdeteksi, dan bahkan pola aliran energi pada penjaga batu tadi. Ini bukan teknologi yang dikenal dunia luar. Tapi Surya paham, ini kekuatan dari dalam Jiwa Beladiri-nya—AI yang hidup dalam bentuk planet berkesadaran.

> Kemampuan ke-6: Armor Tempur

Kemampuan ke-5: Ruang Kendali Dimensi – Stabil

Status Kultivasi: Alam Pembentukan Gua, tahap ke-3

Ia menghela napas. Tiga tahun lalu, ia hanya seorang pengembara asing yang menyelamatkan desa kecil dari ancaman pemburu misterius. Kini ia berdiri di reruntuhan tua dengan tubuh yang mampu menghancurkan batu besar dengan satu tinjuan, dan Jiwa Beladiri yang mulai melampaui batas wajar.

Namun… mengapa masih ada suara dari luar?

Dia keluar dari celah reruntuhan pelan, mengaktifkan sensor energi dalam radius terbatas lewat Ruang Kendali. Tak ada tanda kehidupan di sekitar, namun suara itu tadi... terdengar seperti komunikasi. Apakah itu semacam transmisi spiritual? Atau... seseorang sedang mengintai dari kejauhan dengan teknik proyeksi?

Tiba di atas bukit kecil yang menghadap reruntuhan, Surya memandang lembah sunyi yang dilalui. Kota Banyu Langit berada sekitar dua hari perjalanan ke barat. Ia telah menyewa rumah di sana selama satu tahun penuh, hidup tenang, berkultivasi tanpa gangguan berarti. Tapi jika reruntuhan ini mengirim sinyal ke seseorang… maka masalah baru bisa saja mengarah ke kota itu.

"Jadi mereka belum selesai," gumamnya. "Dan aku juga belum bisa pergi terlalu jauh."

Ia duduk bersila di bawah pohon, perlahan membuka ruang kendali. Dari dalam proyeksi planet, dia memanggil satu unit pengintai kecil—sebuah perangkat berbentuk seperti burung kecil transparan, tak kasat mata bagi pengamat biasa. Ia mengarahkannya ke langit, menyebar ke arah utara dan barat.

Meski dunia ini tidak mengenal teknologi dalam pengertian modern, Surya telah belajar bagaimana menyamarkan kemampuan Jiwa Beladiri-nya agar tidak mencolok. Bentuk-bentuk "alat" dari ruang kendalinya hanya terlihat sebagai proyeksi Qi atau teknik ilusi oleh orang biasa. Bahkan bagi seniman bela diri tingkat tinggi, keanehan itu hanya akan terlihat sebagai "spesialisasi Jiwa Beladiri unik".

Tiga hari kemudian, pengintai itu kembali. Tak ada aktivitas mencurigakan di sekitar reruntuhan, namun jejak kaki—banyak—terlihat di sebuah perbukitan tak jauh dari Banyu Langit. Mereka tidak menyerang kota, hanya melewati dengan cepat. Tapi pola langkah mereka menunjukkan formasi yang terlatih.

Dan lebih mengkhawatirkan lagi: arah mereka menuju ke selatan… ke Gunung Anyelir.

Gunung itu dianggap terlarang oleh banyak sekte kecil. Konon terdapat Jiwa Tanah yang pernah menggila dan menyapu bersih dua kota kecil tiga puluh tahun silam. Tapi apakah tempat itu hanya legenda? Atau justru tempat berkumpulnya kekuatan yang memburu fragmen?

Surya menimbang. Ia bisa kembali ke kota dan hidup tenang, atau ia bisa menyelidiki lebih dalam.

Tapi satu hal yang ia tahu pasti—musuh yang mengejar fragmen takkan berhenti hanya karena ia bersembunyi. Dan kini, dengan kekuatan yang tumbuh di dalam tubuhnya… ia takkan lari.

"Aku tak mencarinya. Tapi kalau kau yang datang… maka aku akan melihat sampai sejauh mana akar dari semua ini."

Langkah pertama Surya menuju Gunung Anyelir pun dimulai. Tak dengan gegabah, melainkan seperti bayangan—tenang, ringan, tapi tak bisa dihentikan. Di balik jubah kelabu yang ia kenakan, planet kecil di dalam dirinya terus berputar, mencatat dunia yang tak pernah mengenal makhluk seperti dirinya sebelumnya.

---

Langit mendung saat Surya melangkah menjauh dari kota Banyu Langit. Ia meninggalkan rumah sewanya tanpa jejak, hanya menitipkan satu pesan sederhana kepada pemilik penginapan: "Jika aku kembali, aku akan menyewa dua tahun lagi."

Perjalanan menuju Gunung Anyelir bukan sekadar lintasan geografis—ia adalah gerbang menuju lapisan rahasia dunia. Makin jauh ia berjalan, makin tipis batas antara wilayah manusia dan alam tak terjamah. Kabut abadi menyelimuti jalur masuk menuju kaki gunung, menggugah naluri bahaya yang telah diasah bertahun-tahun.

Surya menurunkan napas dan menyalakan sensor dalam ruang kendali. Dari proyeksi planet yang kini berukuran besar dengan cincin bercahaya samar, muncul lapisan data semi-transparan. Beberapa titik energi asing berkedip-kedip di utara, sekitar dua li dari lokasi saat ini.

> Deteksi Awal: Fluktuasi Jiwa Beladiri

Jumlah: 5 entitas

Dua di antaranya menunjukkan aktivitas sinkronisasi jiwa tingkat menengah

"Formasi kecil," gumamnya. "Mereka menjaga sesuatu."

Tak ingin mengundang perhatian, Surya bersembunyi di balik lereng dan mengaktifkan kemampuan pasif dari Ruang Kendali. Sekelompok pasukan mini dalam bentuk prajurit berukuran telapak tangan menyusup melalui jalur bebatuan, mendekati lokasi musuh. Sementara itu, Surya menunggu dengan sabar, mempersiapkan armor tempur sebagai lapisan pelindung terakhir.

Tak lama, laporan visual masuk. Lima orang berjubah hitam, dengan simbol mata tertutup di dada mereka, sedang menjaga sebuah pilar batu yang setengah tenggelam dalam tanah. Pilar itu tampaknya menjadi pusat dari fragmen spiritual yang menyerupai yang pernah ditemukannya—namun jauh lebih kuat dan lebih stabil.

"Jadi mereka sedang mencoba menghubungkan sesuatu…" pikir Surya. "Mungkin semacam ritual pemanggilan. Atau... segel yang belum sepenuhnya dibuka."

Tanpa menunggu lebih lama, ia meluncur turun dari lereng, tubuhnya dilapisi lapisan transparan armor tempur—mengilap dan senyap. Tanah bergetar ketika dia mendarat, mengejutkan para penjaga.

Salah satu musuh mengangkat tangannya. Jiwa Beladiri-nya muncul: seekor kuda bersayap dengan sisik perunggu dan mata merah darah. Qi-nya menyebar cepat, mengguncang pepohonan sekitar. Tapi sebelum ia sempat memberi perintah, Surya telah mengaktifkan kekuatan prajurit mini dan memblokir pergerakan lawan dari samping.

Musuh lainnya juga memanggil Jiwa Beladiri mereka: ada yang berupa gumpalan bayangan bertaring, yang lain berupa jaring emas tipis, seperti laba-laba yang tak kasat mata.

Namun semua terhenti saat Surya memunculkan proyeksi Jiwa Beladiri-nya. Di langit, sebuah planet mini muncul perlahan. Cahayanya tenang namun penuh tekanan mental. Cincin planet itu berputar lambat, dan permukaannya tampak seperti daratan asing dengan titik-titik lampu kecil.

Para musuh menegang. Salah satu dari mereka melangkah mundur, suaranya gemetar. "Itu… bukan elemen, bukan binatang, bukan senjata… Itu… apa?"

"Jiwa Beladiri unik," kata yang tertua di antara mereka. "Planet hidup… energi jiwa seperti... pusat komando. Aku hanya pernah mendengar legenda tentang jenis ini—dan itu pun dari teks-teks kuno yang dikutuk."

Saat Surya maju, energi dari planet turun membentuk perisai pelindung, sekaligus memunculkan formasi tembakan ringan dari pesawat tempur mini dalam orbitnya.

Tak butuh waktu lama. Dalam lima belas napas, semua penjaga tumbang—tidak mati, namun tak sadarkan diri.

Ia menghampiri pilar batu. Tangannya menyentuhnya perlahan, dan dari dalam batu, suara samar terdengar… bukan dari dunia ini.

> "Fragmen keempat telah bangkit. Sambungan akan segera stabil. Penjaga diminta kembali ke pusat."

Suara itu tak manusiawi, namun ia memahaminya. Bukan karena bahasa, tapi karena jiwa beladiri-nya menerjemahkannya langsung ke dalam kesadarannya.

"Jadi ini bukan sekadar benda berbahaya. Tapi bagian dari… sesuatu yang lebih besar." Surya mundur beberapa langkah. Ia tak menghancurkan pilar itu. Belum. Ia tahu, menghancurkan sesuatu tanpa memahami keseluruhan hanya akan memicu kehancuran lebih besar.

Ia mengaktifkan satu unit penyegel spiritual dari ruang kendali dan menanamkannya di bawah tanah, membungkus pilar itu dalam lapisan isolasi tidak kasat mata.

Saat ia berbalik, matanya tajam menatap arah puncak Gunung Anyelir.

"Jika ini fragmen keempat, di mana tiga lainnya?" gumamnya. "Dan siapa yang mencoba menyatukannya kembali?"

Langkahnya kembali ringan. Namun untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa seperti pion yang diposisikan lebih awal—dalam permainan yang jauh lebih besar. Dan permainan itu… akhirnya akan dimulai.

Langkah-langkah Surya membelah hutan sunyi di kaki Gunung Anyelir. Setiap akar dan dedaunan seakan menyimpan napas sendiri, dan di udara terasa tekanan yang tak bisa dijelaskan. Sejak fragmen keempat itu memberikan suara aneh dari dalam pilar batu, ia tahu, semua yang ia pikir sekadar konspirasi pemburu harta atau kultivator sesat… adalah bagian dari skema yang lebih luas.

Ia memilih jalur sempit di balik tebing, tidak mencolok, hanya dilalui binatang liar dan angin. Tapi jalur ini menyimpan sesuatu yang bahkan binatang pun enggan menyentuh: reruntuhan kuno yang tersembunyi oleh ilusi tanah dan batu. Reruntuhan ini tidak dikenal oleh para pencari harta, karena tidak muncul di peta manapun—kecuali satu, milik Surya, hasil perhitungan dan pemindaian dari ruang kendalinya.

Ketika ia menembus batas ilusi itu, hawa dingin menyambut seperti kabut yang menyembunyikan bisikan masa lalu. Pilar-pilar patah menjulang seperti tulang belulang raksasa yang telah lama mati, dan di pusatnya ada sebuah altar—ditutupi ukiran simbol yang tidak dikenal.

Namun saat Surya mendekat, altar itu bergetar.

> Deteksi Residu Energi Fragmen

Kompatibilitas: 87%

Aktivasi Otomatis Dalam: 15 detik

Ia bersiap, formasi pertahanan diaktifkan di sekeliling tubuh. Armor tempurnya muncul dalam gemuruh halus, mengikuti lengkungan tubuhnya, lapis demi lapis. Di dalam ruang kendali, pasukan mini telah dalam posisi siaga. Tapi yang muncul bukan serangan, melainkan…

Bayangan.

Bayangan seorang pria tua duduk bersila di altar. Rambutnya putih perak, matanya tertutup kain merah. Tapi dari tubuh proyeksinya menyebar aura tak terhingga, seperti langit yang menekan jiwa.

"Jika kau mendengar ini," suara itu menggema tanpa bibir bergerak, "maka salah satu pewaris telah menyatu dengan fragmen. Waktu tidak banyak. Dunia ini telah rusak sejak awal, dan apa yang tersegel di dasar bumi mulai bergeliat."

Surya tak bisa bicara. Proyeksi itu bukan jiwa, bukan kesadaran, tapi rekaman spiritual dari masa silam—namun intensitasnya seolah masih hidup.

"Ada sembilan fragmen. Masing-masing adalah kunci. Saat semuanya menyatu, akan terbuka kembali jalan ke tempat asal kekuatan ini—bukan surga, bukan neraka, tapi takdir sebelum takdir."

Lalu suara itu menghilang. Dan altar memudar menjadi batu biasa kembali.

Surya menghela napas. Jadi itu sebabnya mereka mengejar fragmen. Bukan untuk kekuatan semata, tapi untuk membuka sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang mungkin… bukan untuk manusia.

Ia memanggil kembali armor tempurnya dan menutup ruang kendali. "Kalau begitu," bisiknya, "aku harus temukan fragmen lain dulu. Dan lebih penting lagi… cari tahu siapa yang juga sedang mencarinya."

Tak lama setelah ia keluar dari reruntuhan, langit mulai berubah. Petir halus melintas di antara awan tipis, tanpa suara.

Seseorang di kejauhan, sangat jauh, juga sedang menatap langit—seorang pria dengan jubah putih bersulam lambang naga perak. Di sisinya, seorang wanita berambut ungu menatap peta yang membara dengan titik merah.

"Mereka mulai bergerak," kata pria itu pelan.

Wanita itu tersenyum tipis. "Dan satu dari sembilan telah bereaksi."

Petualangan Surya tak lagi milik Surya semata.

Itu kini menjadi cerita dunia.

Surya kembali berdiri di tepi hutan, menatap langit yang mulai menguning ditelan senja. Meski pikirannya masih diselimuti bayang-bayang pesan misterius dari proyeksi tua tadi, ia sadar: satu langkah gegabah bisa membuatnya menjadi bidak dalam permainan yang tak ia mengerti.

Ia memilih kembali ke kota Banyu Langit. Tiga hari perjalanan terasa berbeda kali ini—lebih hening, seolah alam pun tengah menanti. Di punggungnya, ransel ringan berisi batu spiritual, beberapa gulungan jimat, dan satu fragmen yang kini ia simpan dalam lapisan pelindung di ruang kendalinya. Planet mini itu kini telah membesar, bahkan memiliki cincin energi halus yang mengelilinginya. Dengan evolusi terbaru, ia bisa menyembunyikan benda penting di dalam dimensi retakan, dan bahkan masuk ke dalamnya untuk mengatur pasukan atau mengkaji ulang data-data yang terkumpul.

Setiba di kota, ia tidak langsung kembali ke rumah sewanya. Sebaliknya, ia berjalan pelan menyusuri lorong pasar senja, mengamati wajah-wajah biasa, kehidupan sederhana, suara pedagang yang berteriak menawarkan mi hangat atau kain tenun tipis. Kehidupan yang ia rindukan. Kehidupan yang hampir ia tinggalkan.

Beberapa anak kecil mengenalinya. Mereka menyapa dengan hormat. Ia balas dengan senyum tenang. Tak ada yang tahu bahwa lelaki berpakaian sederhana itu pernah menahan badai demi desa kecil, atau sedang memegang salah satu kunci paling berbahaya di dunia.

Malam itu, di dalam rumah sewanya yang sederhana namun bersih, Surya duduk bersila. Di depannya, peta kertas terbentang. Titik-titik yang ia tandai selama ini mulai menunjukkan pola. Reruntuhan yang ia datangi sebelumnya... tidak berdiri sendiri. Ada tiga titik lain, membentuk formasi segitiga jika digabung. Satu di barat jauh, dekat wilayah hutan hujan abadi. Satu di utara, di balik Pegunungan Salju Abadi. Dan satu lagi... di bawah laut.

"Yang di bawah laut akan jadi yang paling sulit," gumamnya. "Tapi kalau urutan energi sesuai—yang di barat harusnya aktif dulu."

Ia mengetuk peta. Dan di saat itu, suara pelan masuk lewat jendela—surat pesanan dari pengantar bayangan. Sebuah misi dibuka oleh Lembaga Pengetahuan Rahasia, sebuah kelompok netral yang kadang bekerja sama dengan sekte-sekte besar, namun tak pernah tunduk pada satu pun.

> Isi Misi: Penelitian dan penjagaan reruntuhan di Hutan Emas

Status: Butuh kultivator tingkat tinggi dengan pengalaman formasi dan pengamatan spiritual

Bayaran: 300 batu roh tingkat menengah + akses sementara ke perpustakaan artefak

Surya menatapnya lama. Ia tidak suka mencampuri urusan sekte atau kelompok mana pun, tapi... jika lokasi reruntuhan sesuai titiknya, maka ini bisa jadi cara terbaik untuk mendekat tanpa mencurigakan.

"Kelihatannya ini bukan hanya petualangan lagi," ucapnya pelan. "Tapi perburuan diam-diam antar waktu."

Ia bangkit, mengenakan jubah lamanya, dan membuka kembali ruang kendali dimensi—mengatur ulang pasukan mini untuk pengintaian jarak jauh. Jiwa bela dirinya kini benar-benar hidup. Bukan hanya sebagai kekuatan tempur, tapi sebagai sistem pendukung penuh dalam dunia yang belum siap menerima apa yang ia bawa.

Dalam bayang kabut yang menggulung pelan, Surya melangkah keluar dari rumah. Di langit, bintang pertama mulai menyala, dan bersamanya... takdir yang perlahan membuka jalan berikutnya.

Siap