Bab 8 - Jejak yang Terkunci di Hutan Emas
Tiga hari setelah menerima misi, Surya berdiri di depan gerbang masuk kawasan Hutan Emas—sebuah tempat suci yang dulu hanya dikenal lewat legenda. Kabut tipis menyelimuti tanah yang tampak hangus sebagian, bekas dari pertempuran lama yang menyentuh batas dunia spiritual. Akar-akar besar bergulung seperti ular tidur, dan cahaya matahari hanya mampu menembus sebagian kanopi raksasa.
Di sisi kanannya berdiri tiga kultivator lain—anggota Lembaga Pengetahuan Rahasia. Mereka mengenakan jubah biru tua dengan simbol lingkaran cahaya di punggung. Salah satu dari mereka, seorang wanita bernama Lin Ya, mengangguk pada Surya.
"Pusat reruntuhan terletak di tengah hutan. Kami telah memasang penghalang formasi penguncian jiwa. Tapi sesuatu di dalam... tak bisa dipadamkan."
Surya tak menjawab. Ia hanya menatap hutan, kemudian membuka tangannya sedikit. Sebuah cahaya biru tipis bergetar dari tubuhnya—gelombang dari inti Core Creation-nya, yang selama ini terus menyerap dan memurnikan energi dunia secara otomatis, menciptakan cadangan inti spiritual yang tak terlihat.
**Status Terkini:
Alam: Pembentukan Gua - Tahap 3
Jiwa Bela Diri: Planet Pangkalan (Evolusi Level 3)
Kemampuan:
1. Skena Tempur
2. Gravitasi Terarah
3. Prajurit Mini Otomatis
4. Armada Serbu Udara
5. Ruang Kendali Dimensi
6. Armor Tempur
Surya menyentuh udara dan seketika, sebuah pusaran kecil terbuka—jalur keluar-masuk ke dimensi kendalinya. Ia menyentuh gelang tipis di tangannya, dan segera tubuhnya terlapisi armor tempur teknologi, ramping tapi kokoh, bersinar biru redup.
"Sensor mendeteksi fluktuasi energi lama, sekitar dua puluh meter di bawah permukaan reruntuhan," ucapnya. "Tapi ada interferensi. Mungkin karena pecahan formasi zaman kuno."
Mereka mulai melangkah masuk. Tidak butuh waktu lama sebelum reruntuhan pertama terlihat—tugu besar menjulang setengah roboh, dengan prasasti dalam aksara kuno. Lin Ya membacanya pelan.
"'Yang menyentuh kegelapan, bersatu dengan jiwa yang dikorbankan'... Apa ini semacam peringatan?"
Surya mengangguk ringan. Tapi belum sempat ia menjawab, tanah di depan mereka meledak—sebuah proyektil melesat dari dalam tanah dan menghantam salah satu kultivator di belakang. Armor spiritualnya pecah seketika, tubuhnya terpental beberapa meter sebelum tak bergerak.
Dari dalam lubang, makhluk mirip patung batu, berukuran dua kali tinggi manusia, merangkak naik. Matanya menyala merah—jiwa bela diri yang terbentuk dari relik kuno, tanpa pengendali, namun mengandung kehendak tersisa dari masa lampau.
"Ini bukan penjaga," ucap Surya. "Ini... korban. Jiwa bela diri yang dijadikan media pengikat oleh pecahan relik."
Tanpa banyak bicara, ia memanggil prajurit mini, yang melesat keluar dari dimensi dan langsung membentuk formasi perisai. Beberapa memancarkan medan gravitasi untuk memperlambat makhluk batu itu, sementara Surya sendiri meluncur di udara—didorong oleh armada udara yang kini berfungsi sebagai sayap teknologis.
Dengan satu hentakan, ia mendarat di atas kepala makhluk batu itu, meletakkan telapak tangan, dan mengaktifkan sensor jiwa. Ledakan cahaya biru menyebar, menguraikan energi spiritual makhluk tersebut dan mengurai formasi pemaksaan yang melekat di dalamnya.
"Lepaskan. Jiwa ini bukan milikmu," bisiknya pelan.
Makhluk itu mengerang... dan pecah menjadi batu tak bernyawa.
Keheningan kembali menyelimuti reruntuhan. Namun di dalam sensor kendali dimensi, sinyal baru mulai menyala—sebuah aliran energi lemah, mengarah pada satu titik lebih dalam dari reruntuhan.
Surya menatapnya, lalu berkata pada Lin Ya, "Aku akan turun sendiri. Reruntuhan ini bukan hanya tempat pengujian. Ini kunci."
Lin Ya mengerutkan kening. "Kunci... untuk apa?"
Surya menatap langit. "Untuk pintu-pintu lama. Dan sesuatu yang ingin mereka bangkitkan kembali."
Ia melangkah ke bawah reruntuhan, melewati retakan batu, menembus lapisan tanah tua. Suhu mulai menurun. Awan gelap berkumpul di langit atas. Dan jauh di kedalaman, denyut itu kembali terasa—sama seperti kristal hitam di desa tiga tahun lalu.
Bukan hanya fragmen biasa. Tapi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Lebih tua. Dan jauh lebih mengerikan.
Namun kini, Surya sudah berbeda. Ia bukan hanya pelindung. Ia sudah menjadi penjaga jalan… yang tak bisa dibelokkan oleh siapa pun.
—
Surya melangkah keluar dari reruntuhan dengan langkah ringan. Armor tempurnya menghilang dalam sekejap ke dalam ruang kendali dimensi, menyisakan dirinya yang tampak seperti kultivator biasa—jubah abu-abu gelap dengan pola biru samar yang sesekali berdenyut pelan, mengikuti ritme energinya.
Di balik senyap reruntuhan itu, jauh di dalam tanah, sesuatu sempat bergolak ketika Surya menyentuh simbol-simbol kuno di ruang bawah tanah. Ia tak menyadarinya sepenuhnya, tapi sebuah sinyal—halus namun kuat—telah terpancar ke kejauhan. Di tempat lain, entah di puncak gunung atau dasar lautan, mata-mata tersembunyi mulai menoleh. Dunia perlahan menyadari, ada sesuatu yang terbangun dari tidurnya.
Namun Surya tak mempermasalahkan itu sekarang. Setahun tinggal di Kota Banyu Langit membuatnya paham: kekuatan saja tidak cukup. Di dunia ini, informasi lebih berbahaya daripada pedang, dan terkadang, lebih menentukan nasib daripada teknik pamungkas.
Dia kembali ke rumah sewanya. Sebuah bangunan kayu dua lantai di pinggir kota, dekat dengan sungai kecil dan warung makanan. Tempat itu tenang, jauh dari keramaian, cocok untuk berkultivasi dan menghindari perhatian.
Di dalam ruang kendali dimensi, planet kecilnya berputar perlahan. Cincin energi yang mengelilinginya berpendar tenang. Di permukaannya, beberapa unit mini sedang melakukan pemrosesan sumber daya—menguraikan batu spiritual dari reruntuhan menjadi energi murni. Core Creation juga aktif, menyerap setetes demi setetes energi kosmik dari lingkungan.
> Status: Alam: Pembentukan Gua - Tahap 3 Jiwa Beladiri: Planet Pangkalan Teknologi (Evolution Lv.2) Kemampuan:
1. S.C.E.N.
2. Gravitasi Terkendali
3. Prajurit Mini
4. Pesawat Tempur
5. Ruang Kendali Dimensi
6. Armor Tempur
Unit-unit prajurit dan drone kecilnya telah diperbaiki dan diperkuat. Kini mereka mampu bertahan lebih lama, bahkan bisa beroperasi hingga setengah hari penuh tanpa perlu suplai energi ulang dari Surya. Itu cukup untuk menjelajahi reruntuhan besar di sekitar perbatasan kerajaan kecil ini.
Malam harinya, saat langit ditaburi bintang dan bulan menggantung redup di atas kota, Surya duduk bersila, memejamkan mata, merasakan napas dunia. Udara kota mengandung aroma kayu bakar dan embun. Tapi di kejauhan, sangat halus, ada aroma yang berbeda—seperti darah kering dan logam.
Ruang kendali dimensi langsung bereaksi. Beberapa titik merah menyala di peta miniatur yang tergantung di hadapan kesadaran Surya.
"Ada yang mengawasi," gumamnya pelan.
Ia memanggil satu drone tipe lebah, lalu melepaskannya keluar dari tubuh. Drone itu melesat tanpa suara, menelusuri atap rumah, gang-gang sempit, hingga akhirnya berhenti di sebuah bangunan tua. Di sanalah, bayangan berjubah duduk dengan tenang, seolah menunggu.
Namun berbeda dari musuh-musuh sebelumnya, sosok ini tidak menyembunyikan Qi-nya. Bahkan sebaliknya, ia sengaja memperlihatkannya: kuat, dalam, dan... kuno.
Jiwa beladiri Surya bergetar. Proyeksi planet mini di dalam dantian mengelilingi cincin energi yang kini lebih padat. Seolah menyadari ancaman itu sebagai sesuatu yang setara atau bahkan lebih tinggi.
Tapi Surya tak langsung bertindak. Ia hanya mengamati, lalu memanggil kembali drone-nya.
"Belum waktunya," bisiknya. "Aku masih harus tumbuh. Jika dia mencariku... aku akan siap. Tapi kalau dia menunggu, biarkan dia menunggu. Aku takkan bermain di papan orang lain."
Dengan satu tarikan napas, ia kembali tenggelam dalam meditasi. Di luar, malam terus berputar. Di dalam, api kekuatan terus menyala—perlahan, pasti, dan tak akan padam.
Pagi hari menyapa kota Banyu Langit dengan kabut tipis yang menyelimuti jalanan batu dan atap-atap rumah pedagang. Surya membuka matanya perlahan. Suara riuh pasar mulai terdengar dari kejauhan. Aroma kue beras, daging panggang, dan rempah-rempah mengambang di udara. Tapi pikirannya tak berada di sana. Ia duduk diam di beranda rumah sewanya, menatap langit yang mulai berwarna jingga.
Titik-titik merah di peta kesadarannya telah menghilang sejak tengah malam. Entah si pengintai itu pergi dengan sukarela, atau karena menyadari dirinya diawasi juga. Yang jelas, Surya tahu ia tak bisa lagi tinggal diam terlalu lama. Ada kekuatan yang mencari fragmen itu. Dan mereka bukan orang biasa.
Namun, untuk saat ini, ia memilih tetap tenang.
Hari-hari berikutnya ia habiskan dengan pola hidup yang sederhana: membantu seorang penjual rempah di pasar, memperbaiki beberapa alat pertanian warga yang rusak, dan kadang menjual hasil batu spiritual yang telah ia bersihkan dari reruntuhan. Ia cukup dikenal oleh warga sebagai pria pendiam, murah senyum, dan sedikit aneh karena kadang menghilang berhari-hari. Tak ada yang tahu bahwa rumah kecil itu menyimpan sebuah planet mini di dalamnya.
Sementara itu, planet tersebut terus berkembang. Sumber daya dari reruntuhan telah memperkaya intinya. Kini, bukan hanya pasukan kecil yang bisa ia kontrol, tapi juga alat-alat pengumpul energi otomatis yang bisa beroperasi di area yang lebih luas. Energi hasil Core Creation setiap harinya bertambah lebih banyak, dan kemampuan untuk menampung serta mendistribusikannya telah meningkat pesat.
Suatu sore, saat ia tengah mengolah batu spiritual kecil, sebuah nama terdengar dari pembicaraan dua pedagang tua di dekat pasar.
"...katanya reruntuhan tua di barat kota itu mulai ramai. Banyak kelompok pemburu artefak masuk, tapi tak banyak yang kembali."
"Hm. Katanya ada yang menemukan simbol mirip... itu, semacam mata terbuka? Simbol dari zaman kultus tua, barangkali?"
Surya berhenti mengasah batunya. Simbol mata terbuka. Ia tak asing dengan itu. Salah satu ruang di reruntuhan yang ia kunjungi dulu sempat menampakkannya sekilas, terukir di langit-langit. Simbol itu berdenyut, seolah melihat.
"Apakah mereka... mencari fragmen lain?" pikirnya.
Tak lama setelah itu, ia kembali masuk ke ruang kendali dimensi. Peta proyeksi diperluas, memetakan wilayah barat kota. Dari informasi penduduk dan drone pengintai yang ia sebar, ada tiga reruntuhan besar yang belum dipetakan sepenuhnya di sana. Satu di antaranya mengandung denyut energi mirip dengan fragmen hitam.
Dan itulah yang membuat Surya mantap. Ini bukan lagi tentang dirinya saja. Jika mereka mencari fragmen, dan lebih dari satu telah tersebar, maka bencana bisa terjadi kapan saja.
Namun Surya tak serta-merta langsung berangkat. Ia tahu—sebelum memasuki reruntuhan, ia harus memperkuat dirinya lebih jauh. Langkahnya ke alam Pembentukan Gua tingkat 4 sudah dekat. Ia hanya butuh waktu beberapa hari lagi untuk menstabilkan energinya dan menyalurkan kekuatan dari planet mininya dengan lebih efisien.
Malam itu, ia berdiri di tengah ruang kendali. Cincin planet mengembang, berputar lebih cepat. Energi ditarik masuk ke tubuhnya melalui simpul-simpul khusus yang ia bangun selama tahun-tahun pelatihan. Jiwa bela diri muncul di belakangnya, besar dan megah: planet yang kini dipenuhi jalur energi bercahaya, seperti saraf dari makhluk hidup.
Detik berikutnya, armornya muncul—seolah dicetak langsung dari udara. Tubuhnya dilapisi logam ringan berwarna hitam pekat dengan pola biru elektrik. Tapi yang menarik bukanlah bentuk fisik itu, melainkan bagaimana Surya kini bisa langsung terhubung dengan seluruh bagian dari planet mininya. Ia menjadi pusat kendali—sebuah kesatuan antara tubuh, kehendak, dan teknologi jiwa bela diri.
> Status diperbarui: Alam: Pembentukan Gua - Tahap 4 Energi Stabil Koneksi Jiwa: Sinkronisasi 89%
Satu minggu kemudian, ia bersiap. Tujuannya adalah reruntuhan di barat, satu hari perjalanan dari kota. Ia membawa satu kapsul darurat dari ruang kendali, tiga drone pengintai, dan satu unit prajurit mini untuk penjagaan luar.
Sebelum berangkat, ia menatap kota Banyu Langit dari kejauhan. Senyap dan damai, seolah tak menyadari ancaman besar yang mendekat.
Surya tersenyum tipis. "Jika aku bisa mencegahnya sebelum semuanya terlambat... maka aku akan lakukan. Tapi jika tidak..."
Ia menoleh ke langit, lalu melangkah ke dalam kabut pagi.
"...maka aku akan membuat dunia ini siap menghadapi apapun yang datang."
Perjalanan menuju reruntuhan barat tak begitu sulit secara fisik—jalan setapak telah dibuka oleh para pedagang dan pemburu harta yang mencoba peruntungan di sana. Namun atmosfer di sekitar tempat itu berubah drastis. Langit terasa lebih gelap meski hari masih pagi, dan angin berhembus membawa aroma besi dan jamur tua. Reruntuhan itu seperti menyembunyikan napasnya, menunggu sesuatu untuk membangunkannya.
Surya berdiri di pinggir sebuah tebing curam, memandang ke bawah. Di sanalah reruntuhan itu—seperempat dari kota tua yang terkubur sebagian, dengan menara patah dan patung-patung setengah hancur berdiri dalam diam. Salah satu patung menunjukkan sosok berkepala tiga dan bermata satu—mengerikan namun terasa akrab, seperti mimpi buruk yang terlupakan.
Ia melompat turun tanpa ragu. Dengan kekuatan tubuhnya di alam Pembentukan Gua tahap empat, meluncur dari ketinggian seperti itu bukan masalah. Ia mendarat lembut di tumpukan puing, lalu segera menyebar sinyal ke drone pengintai yang telah menunggu di titik koordinat.
Tak lama, laporan mulai masuk. Beberapa lorong sudah dijelajahi. Tanda-tanda penggalian paksa ditemukan—paku spiritual tertanam di dinding, jejak darah kering di lantai, dan satu ruangan besar yang terlihat seperti... altar.
Di sinilah, aura itu terasa paling kuat. Fragmen gelap yang ia temui dahulu memancarkan resonansi samar. Surya mengaktifkan armor tempurnya. Cahaya biru menyala lembut di bawah kulit lapisannya, menyatu sempurna dengan gerak tubuhnya.
Saat ia melangkah mendekat, lantai altar bergetar. Sebuah segel berbentuk lingkaran bercahaya menyala di tanah. Dari tengahnya, suara menggelegar keluar—seperti teriakan dari kedalaman bumi.
"Pengorbanan telah diberikan… Gerbang dibuka kembali…"
Surya mundur cepat. Tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, tanah di hadapannya pecah, dan sosok berjubah hitam muncul dari bawah altar—tubuhnya kurus namun tinggi, mata merah menyala seperti bara.
Jiwa bela diri muncul di belakang pria itu: seekor ular bersayap berkepala dua. Salah satu kepala memuntahkan racun, yang satu lagi menyembur angin hitam. Surya mengenali jenis ini—Jiwa Beladiri Elemen Campuran.
"Jadi ini pemilik fragmen sebelumnya…" gumam Surya pelan.
Pria itu berbicara dengan suara parau. "Kau menghalangi jalan kami, manusia aneh. Tapi kali ini, aku tidak sendiri."
Bayangan lain muncul di sisi-sisinya. Tiga orang. Dua wanita, satu lelaki. Semuanya memiliki jiwa beladiri unik—tidak sepenuhnya seperti Surya, tapi juga bukan binatang, elemen, atau senjata biasa. Salah satunya bahkan menunjukkan bentuk bayangan jaring kristal, menjebak udara itu sendiri dalam percikan tajam seperti kaca.
Surya menelan napas dalam. Empat lawan. Satu reruntuhan. Dan sepotong kebenaran yang masih terkubur.
Ia menatap proyeksi planet mininya. Jalur-jalur energi aktif. "Ruang kendali," bisiknya.
> Mode: Semi-Otomatis Formasi Pertahanan: Aktif Pasukan Siaga: Tersummon
Empat prajurit mini menyala dari titik-titik cahaya di sekeliling altar. Mereka tak terlihat mengancam, namun posisi mereka strategis.
"Fragmen itu," kata Surya, "Apa hubungannya dengan kalian?"
Pria berjubah itu tertawa pelan. "Fragmen itu… adalah bagian dari inti Dunia Lama. Dunia sebelum tatanan ini terbentuk. Dan kami adalah pecahan kesadarannya. Kau pikir dunia ini lahir begitu saja?"
Suara itu menusuk. Mata Surya menyipit. Dunia Lama?
Sebelum bisa bertanya lebih lanjut, pertarungan dimulai. Ular berkepala dua menyambar, racun menyembur seperti kabut hidup. Surya melompat ke samping, armornya menahan sebagian serangan. Ia membalas dengan sinyal tembakan dari prajurit mini, mengalihkan perhatian mereka.
Sementara itu, Surya berusaha mendekati altar. Ia tahu, apapun yang membuka segel ini—bisa jadi mengundang sesuatu yang lebih besar dari mereka semua.
Dan satu hal yang ia yakin kini…
Fragmen itu bukan hanya kunci. Tapi juga… mata. Mata yang melihat segalanya.