Bab 10 - Jejak Bayangan dan Langkah Baru

Bab 10 - Jejak Bayangan dan Langkah Baru

Setelah kembali ke kota Banyu Langit, Surya tidak membuang waktu. Dalam satu malam, ia menyusun peta wilayah dan informasi dari semua jaringan pengumpul berita yang tersebar di pasar, rumah teh, hingga tempat judi bawah tanah. Semua titik, semua pergerakan, semuanya diarsipkan dalam sistem Ruang Kendali Dimensi.

Tak butuh waktu lama sebelum ia menemukan jejak samar salah satu dari Tujuh Pilar Bayangan—makhluk yang disebut-sebut berada di balik Sekte Bayangan Dalam. Mereka bukan sekadar kultivator biasa. Masing-masing dipercaya memiliki kekuatan setingkat alam Penyatuan, bahkan mungkin lebih tinggi.

Namun yang membuat Surya tertarik bukan hanya kekuatan mereka, melainkan fakta bahwa... mereka semua mencari fragmen yang sama.

Di saat yang sama, Core Creation-nya memancarkan notifikasi tenang di kesadarannya.

> Progres Energi: Stabil

Alam Saat Ini: Pembentukan Gua - Tingkat 4 → 5

Stabilitas Dantián: Optimal

Rekomendasi: Lanjutkan kultivasi hingga pembentukan Gua Tingkat 6 untuk membuka akses baru sistem dukungan jiwa beladiri.

Surya menarik napas dalam. Meskipun peningkatan alamnya lebih cepat dari kebanyakan, tekanan di sekitar juga makin menumpuk. Jika ia tidak memanfaatkan keunggulan Core Creation, maka hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia dihancurkan oleh eksistensi yang lebih tua dan kuat.

Di dalam planet mininya, pengumpulan sumber daya terus berjalan. Drone energi dari inti jiwa bela diri menyisir wilayah sejauh 500 li, mengumpulkan mineral langka, tanaman spiritual, bahkan memetakan reruntuhan baru.

Saat satu dari drone itu mendeteksi denyut spiritual di timur—arah perbatasan antara Banyu Langit dan hutan kabut merah—Surya langsung memindai ulang lokasi dan mendapatkan hasil yang mengejutkan:

> Deteksi Alam Tinggi: Pengguna Qi Alam Pembentukan Gua Tingkat 9 - kemungkinan dalam fase penekanan menuju Gua Langit

Deteksi Struktur Energi: Jiwa Beladiri Tipe Elemen - Api Abyssal Hitam

Status: Agresif - Belum menyadari kehadiran Surya

Surya tidak langsung menyerang. Ia tahu dari pengalamannya bahwa setiap kultivator tingkat tinggi memiliki kebiasaan berbeda. Beberapa suka mengamati. Beberapa memancing lawan untuk keluar.

Namun satu hal yang pasti: jika lawan sudah mulai bergerak di dekat kota, maka waktunya dia bertindak.

Malam itu, tubuh fisik Surya menghilang dalam sekejap, meninggalkan rumah sewanya.

Sementara di dalam Ruang Kendali, seluruh pasukan mini telah disiapkan dalam formasi semi-otomatis. Armor tempur juga sudah terhubung dengan proyeksi energi, siap untuk dipanggil kapan pun dibutuhkan.

Ia tidak akan menghadapi perang besar. Tapi setiap langkah di dunia ini—harus dipastikan tak pernah salah.

Satu benturan kecil dengan musuh yang salah, bisa berarti kehancuran mutlak.

Dan Surya… tak pernah berniat untuk kalah.

Surya tiba di tepi hutan Kabut Merah sebelum fajar. Tempat itu sunyi, namun udara terasa tebal—seolah-olah kabutnya tidak hanya mengaburkan pandangan, tapi juga menahan suara dan Qi. Dengan satu gerakan halus, ia memanggil proyeksi jiwa beladiri. Di atas langit miniatur planet mengambang, cincin-cincinnya berputar lambat, dan medan energi perlahan mengelilingi tubuh Surya.

Armor tempur menyatu, membentuk lapisan ringan di tubuhnya. Tidak mencolok, tapi setiap bagiannya menyimpan kekuatan pemusnah.

Detik berikutnya, ia menghilang, melesat lurus menembus kabut.

Tak butuh waktu lama hingga ia menemukan target. Di tengah celah lembah berbatu, seorang lelaki duduk bersila dikelilingi api hitam pekat. Qi-nya stabil, namun aura yang terpancar seperti bara yang ditahan paksa untuk tidak menyala penuh.

Surya berhenti di udara, tepat di atasnya. Tidak menyembunyikan kehadiran.

Pria itu membuka mata perlahan. Sepasang mata gelap menatap ke atas—dan sesaat kemudian, cahaya merah menyala dari bola matanya. Jiwa beladiri tipe elemen muncul: seekor naga api hitam membentuk pusaran panas membakar udara sekitarnya.

"Aku sudah mendeteksimu sejak semalam," katanya pelan. "Kau dari kota. Dan aku mencium aroma fragmen padamu."

Surya tidak menjawab. Tapi tekanan spiritualnya meningkat tajam. Planet mininya memancarkan cahaya lembut, dan suara gema seperti dentang logam berdentum di udara.

"Naga hitam, ya?" Surya akhirnya bicara. "Kalau begitu, kau pasti salah satu dari kelompok penjaga luar Sekte Bayangan Dalam."

Pria itu mendengus. "Terlalu banyak yang ingin tahu. Sayangnya… tak banyak yang bisa menceritakan ulang pertemuan ini."

Detik itu juga, api hitam meledak. Gelombang energi menyapu lembah, membakar batu, mencairkan tanah. Namun Surya tidak mundur. Ia justru menukik ke bawah, dan dari balik proyeksi jiwa beladirinya, lusinan pesawat tempur mini meluncur keluar seperti kilat—menyerang dari berbagai arah, mengganggu fokus musuh.

Pukulan pertama mereka bentrok di udara. Api dan medan gravitasi saling menggerus, menciptakan ledakan Qi pekat. Surya bergerak cepat. Ia tahu, meski alamnya baru mencapai Pembentukan Gua tingkat 5, tapi lawan ini tidak sedang dalam kondisi puncak. Dan jika bisa mendesaknya sekarang—itu kesempatan terbaik untuk mengorek informasi.

Setelah serangkaian serangan bertukar, Surya akhirnya menggunakan kemampuan keenamnya: Ruang Kendali Dimensi. Ia menyerap seluruh proyeksi senjata ke dalam planet mini, kemudian masuk sendiri, mengatur formasi secara langsung.

"Uji skenario: Pertempuran Fokus Tunggal. Target: Kelemahan struktur Qi naga. Eksekusi semi otomatis."

Di dunia luar, Surya muncul kembali hanya dalam tiga detik. Tapi dalam ruang kendali, ia sudah menjalankan tiga simulasi dan mengatur ulang pasukan mini ke titik vital tubuh naga.

Dalam tabrakan terakhir, gelombang kejut menghancurkan lembah. Tubuh pria itu terpental, darah menetes dari sudut bibirnya. Dia tidak mati—tapi terluka parah.

Dengan Qi tertahan, pria itu tertawa miris. "Kau bukan kultivator biasa. Jiwa beladiri seperti milikmu… tidak seharusnya ada di dunia ini."

Surya melangkah mendekat. "Tapi aku ada. Dan aku akan terus naik… sampai tak ada lagi yang bisa menghalangi."

Sebelum pria itu bisa merespons, Surya menyalurkan energi ke jantung pria itu—menonaktifkan saluran Qi-nya, menjadikannya lumpuh tanpa membunuh. Ia ingin jawaban, dan ini bukan waktunya menyelesaikan semuanya dengan pedang.

Fragmen memang penting, tapi kini jelas, ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak dalam bayang-bayang dunia ini. Dan Surya tahu—ia butuh kekuatan yang lebih tinggi lagi.

Langkah berikutnya sudah jelas. Cari markas cabang sekte itu. Pelajari hierarki mereka. Hancurkan dari dalam jika perlu.

Dunia ini belum tahu siapa Surya Jagat sebenarnya. Tapi mereka akan tahu. Dan waktu itu... tidak lama lagi.

Beberapa hari setelah pertempuran di lembah, Surya menyamar sebagai pedagang pengembara. Ia masuk ke wilayah perbatasan kota Gunung Panjang—daerah yang konon menjadi titik lintas bawah tanah dari kelompok misterius yang disebut sebagai Bayangan Dalam.

Pakaian lusuh dan ransel penuh barang dagangan palsu menyembunyikan auranya sepenuhnya. Bahkan proyeksi jiwa beladirinya disegel rapat di dalam ruang dimensi, cukup dalam untuk menghindari penginderaan kultivator tingkat tinggi.

Namun, bahkan dalam penyamaran, Surya tetap waspada. Dalam pikirannya, simulasi dan analisis dari pangkalan kecil terus berjalan—mengumpulkan pola dari setiap pengunjung kota, alur pergerakan logistik, hingga kemungkinan jalur masuk rahasia ke markas tersembunyi musuh.

Hari keempat, ia melihatnya.

Seorang pria tua berkulit sawo matang, mengenakan jubah biasa, duduk di pojok warung teh sambil membaca gulungan tua. Tapi aura tubuhnya... terlalu tenang, terlalu terkendali. Bukan aura rakyat biasa.

Surya tak langsung bertindak. Ia menunggu, memperhatikan, dan akhirnya mengikuti pria itu diam-diam saat malam turun. Langkah pria itu membawanya ke hutan utara kota, lalu menghilang di balik susunan batu besar yang tampak seperti reruntuhan kuil kecil.

Namun sebelum ia bisa mendekat, bahunya menegang. Ada suara dari belakang.

"Berhenti di situ. Kau terlalu penasaran untuk seorang pedagang."

Surya berbalik perlahan. Seorang gadis muda berdiri beberapa langkah darinya, berpakaian seperti pelayan penginapan, tapi mata dan sikapnya tajam. Jiwa beladiri berupa kelopak bunga merah darah muncul samar di belakangnya—tanda bahwa ia sudah setidaknya berada di alam Pembentukan Gua tahap 4.

Surya tidak bereaksi kasar. Ia hanya mengangkat tangannya pelan, tersenyum samar. "Aku bukan ancaman. Hanya mencari seseorang."

"Dan siapa yang kau cari di tempat seperti ini?" gadis itu bertanya dengan nada curiga.

"Orang yang membawa fragmen. Atau... orang yang mengincarnya."

Gadis itu sempat diam. Lalu, tanpa aba-aba, ia menyerang.

Kelopak bunga melesat ke arah Surya seperti bilah tajam. Namun dalam satu gerakan, Surya melompat mundur dan memanggil proyeksi jiwa beladirinya. Planet mini dengan cincin bercahaya muncul, disertai perisai energi yang menyerap serangan awal gadis itu.

Serangan berikutnya lebih dahsyat—tapi Surya tetap tidak menyerang balik. Ia hanya menahan.

Akhirnya, setelah lima puluh gerakan, gadis itu berhenti. Napasnya sedikit terengah, namun matanya bersinar dengan pengakuan.

"Kau bukan musuh," ucapnya singkat. "Tapi kalau begitu… ikut aku. Kau harus menjelaskan kenapa energi fragmen itu melekat padamu."

Surya mengangguk. Tanpa perlawanan, ia mengikutinya ke balik batu besar. Sebuah lorong terbuka—pintu masuk ke dalam reruntuhan bawah tanah yang sepertinya tak diketahui orang luar.

Di sana, cahaya obor spiritual menyoroti dinding ukiran kuno. Banyak wajah terpahat, simbol langit dan bumi, serta makhluk-makhluk yang bahkan Surya belum pernah lihat.

Fragmen yang ia simpan… mungkin memang bagian dari sesuatu yang jauh lebih tua dari sekadar kekuatan sekte hitam.

Mereka berjalan melewati lorong batu hingga tiba di ruangan luas. Di tengah ruangan itu, mengambang di atas altar batu hitam, ada sebuah fragmen kristal serupa dengan milik Surya—tapi retakannya berbeda, bentuknya sedikit lebih besar.

Dan saat ia mendekat, kedua fragmen itu—yang ia bawa dan yang ada di altar—mulai bergetar lemah, seperti saling memanggil.

Gadis itu melirik Surya. "Kau tak tahu apa yang sedang kau pegang, ya?"

Surya menatap kilau fragmen itu, lalu menjawab lirih.

"Kalau begitu, tunjukkan padaku. Mulai dari awal."

Karena ia tahu... perjalanan ini belum selesai. Ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar—dan jauh lebih berbahaya.

Di kejauhan, pegunungan hijau menyembul di balik kabut tipis pagi. Udara masih dingin, namun Surya melangkah mantap, meninggalkan kota Banyu Langit dengan langkah ringan dan kesadaran penuh. Setelah satu tahun menetap dan berkultivasi dalam keheningan, kini kekuatannya telah mencapai Alam Pembentukan Gua tingkat 4. Pangkalan dalam dantian terus berputar, memompa energi murni ke seluruh tubuhnya. Energinya kini kental, dalam, dan memiliki kekuatan untuk mengguncang batu karang jika dilepaskan dalam satu pukulan penuh.

Meski hidupnya sederhana di kota, Surya tidak pernah berhenti mengembangkan kemampuan. Core Creation terus bekerja, menumbuhkan satu demi satu unit tambahan, memperkuat sistemnya. Bahkan beberapa bulan terakhir, ia mulai membentuk tim pengintai mandiri yang bisa ia aktifkan dari dalam Ruang Kendali Dimensi—kemampuan ke-5 dari Jiwa Beladiri uniknya yang telah berevolusi dua kali. Kini, bentuknya menyerupai planet kecil seukuran pulau pribadi, lengkap dengan kabin pusat yang bisa ia masuki, sembunyikan dalam retakan dimensi, atau jadikan pusat komando.

Namun, rencana damai itu kembali terganggu.

Salah satu unit pengintai lebah—yang telah dikirim ke jalur utara—kembali dengan data abnormal: getaran spiritual sangat besar, dan pengumpulan energi Yin yang tidak alami, seperti pusat kultivasi paksa… atau segel kuno yang sedang dibuka.

Surya menghela napas, berdiri di tepi tebing menghadap arah utara. Tak jauh dari situ, ada reruntuhan tua yang pernah disebut oleh penjaga kota sebagai "Tanah Terlarang Kerajaan Timur". Kabarnya, tempat itu pernah menjadi markas keluarga bangsawan yang melakukan ritual gelap—dihancurkan oleh sekte besar, namun tidak pernah dibersihkan sepenuhnya.

"Kalau mereka benar-benar mengincar fragmen itu lagi… berarti semuanya belum selesai," gumamnya.

Ia melangkah pelan, tapi dalam pikirannya sudah terbentuk taktik. Ia takkan menyerbu sembarangan. Pertama, ia aktifkan armor tempur—kemampuan ke-6 dari Jiwa Beladiri-nya. Aura logam pekat mengelilingi tubuhnya, membentuk pelindung tipis namun kuat yang tersambung langsung dengan sistem kendali di pangkalan mini. Armor itu bukan hanya pelindung, tapi juga penyambung instruksi dan penguat serangan.

Dari Ruang Kendali, lima unit mini tempur berkamuflase mulai bergerak menyusuri jalur-jalur tersembunyi menuju reruntuhan. Surya sendiri melangkah di belakang, menyatu dengan angin, menyerap setiap fluktuasi energi.

Di tengah reruntuhan, aura asing mulai terasa.

Musuh sudah memulai sesuatu.

Dan kini, Surya tak lagi hanya sekadar bertahan—ia bersiap untuk menyelam lebih dalam, mencari sumber dari semua kekacauan ini.

Petualangannya belum selesai—justru baru dimulai.

Langkah-langkah Surya semakin sunyi saat ia memasuki batas luar reruntuhan. Ranting-ranting kering patah di bawah telapak kakinya, namun tak ada suara burung atau serangga, seolah tempat ini telah lama ditinggalkan oleh kehidupan. Tapi Surya tahu lebih baik. Energi Yin di sekelilingnya berputar aneh—menggulung ke satu titik, seperti disedot oleh sesuatu di dalam tanah.

Ia duduk sejenak di balik batu besar dan mengaktifkan satu panel di dalam kesadarannya. Lima unit pengintai telah tersebar, masing-masing mengirimkan visual dan data energi secara real-time. Di tengah reruntuhan utama, terlihat lingkaran besar dengan ukiran tua yang menyala samar. Di sana, beberapa sosok berjubah gelap berkumpul, sementara seorang lelaki paruh baya duduk bersila tepat di tengah lingkaran. Wajahnya datar, namun aura di sekelilingnya menunjukkan bahwa dia setidaknya telah berada di tahap akhir Alam Pembentukan Gua—setara dengan Surya, atau bahkan lebih tinggi.

"Dia bukan orang biasa..." Surya bergumam pelan. Jiwa Beladiri musuh masih belum tampak, tapi getaran energinya memberi tekanan halus yang membuat udara terasa berat.

Tanpa membuang waktu, Surya mengaktifkan mode penyusupan. Ia bergerak memutari sisi barat reruntuhan, menghindari perimeter pengawasan yang dijaga makhluk energi buatan. Mereka mirip patung, namun memiliki cukup kesadaran untuk menyerang penyusup.

Di dalam Ruang Kendali Dimensi, Surya memberi perintah kepada unit mini: siapkan penyergapan dan siapkan formasi gangguan.

Namun, sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba, sebuah tekanan spiritual luar biasa meledak dari tengah lingkaran. Pria paruh baya itu membuka matanya, dan di belakangnya, muncul bayangan besar... Jiwa Beladiri-nya.

Seekor ular bersisik perak, bercula dua dan bertaring panjang, melingkar di udara. Seketika, para bawahan di sekelilingnya mundur, membiarkan ruang terbuka.

"Jiwa Beladiri Ular Naga Perak…" bisik Surya dengan alis mengernyit.

Namun, bukan hanya karena kekuatan pria itu.

Di saat yang sama, Surya merasakan detakan samar dari dalam dadanya—resonansi. Fragmen hitam yang disimpannya sejak tiga tahun lalu mulai bergetar pelan, seolah menanggapi kemunculan energi dari bawah reruntuhan.

"Jadi ini alasannya mereka mencarinya… fragmen itu bukan benda mati. Tapi kunci."

Dan lelaki paruh baya itu—ia bukan pencari kekuatan biasa. Dia penjaga segel. Atau mungkin... calon pembukanya.

Waktu Surya tidak banyak. Tapi ia tidak panik.

Dengan satu sentakan, ia menyatu ke dalam armor tempur, tubuhnya menghilang dalam bias udara panas.

"Jika ini awal dari sesuatu yang lebih besar… maka aku tak bisa hanya bersembunyi."

Dalam diam, Surya melangkah maju, menembus batas penglihatan. Tapi bukan untuk menyerang. Ia ingin tahu lebih banyak—tentang segel, tentang fragmen, dan tentang musuh yang lebih besar di balik semua ini.

Karena jika benar dunia ini menyembunyikan monster tua seperti yang ia khawatirkan… maka ia harus bersiap.

Menjadi lebih dari sekadar kuat.

Ia harus menjadi ancaman itu sendiri.