Bab 11 - Gema di Balik Segel
Langkah kaki Surya menyusup di antara reruntuhan sunyi, hanya suara angin yang mengalun membawa aroma batu tua dan tanah hangus. Mata tajamnya memindai setiap celah dan struktur yang ditinggalkan waktu, sementara sistem pemindai dari dalam ruang kesadarannya terus mengirimkan data baru.
Fragmen hitam dalam dantiannya mulai memanas—bukan panas fisik, melainkan seperti getaran kesadaran yang bergolak. Setiap langkah mendekati pusat reruntuhan membuat denyutnya semakin kuat, seolah mencoba berkomunikasi, atau memperingatkan.
Surya tidak menanggapi langsung. Ia justru memperlambat langkahnya, bersembunyi di balik reruntuhan gerbang batu yang sudah runtuh. Di hadapannya, ritual aneh tengah berlangsung. Di tengah lingkaran raksasa dengan pola rumit seperti labirin, berdiri sosok berjubah ungu tua, tubuhnya kurus namun penuh tekanan spiritual. Bukan sembarang prajurit. Dan bukan pula orang yang bisa diremehkan.
Dari atas kepala sosok itu, muncul proyeksi Jiwa Beladiri—raksasa berjubah besi dengan wajah kosong, membawa pedang besar dua sisi. Aura itu membungkus sekitarnya dengan kekuatan seperti medan perang, membuat udara di sekeliling bergetar tipis.
Surya menyipitkan mata.
"Jiwa Beladiri Kelas Komandan? Ini bukan sekadar penjaga reruntuhan… ini bait."
Tiba-tiba, dari sisi kiri formasi, retakan cahaya muncul. Tanpa peringatan, segel yang mengelilingi altar utama mengeluarkan suara nyaring—seperti teriakan besi yang diremukkan dari dalam. Pria berjubah ungu mengangkat tangannya, lalu melemparkan manik kristal merah ke tengah segel.
Seketika, pancaran energi hitam merah melonjak dari dalam tanah. Aura kelam itu menyeruak ke langit, menciptakan pusaran angin spiritual yang menarik perhatian siapa pun yang peka akan energi.
Surya menggertakkan gigi.
"Mereka membuka kunci… dan aku bawa salah satu fragmennya."
Tanpa ragu, ia mengaktifkan Jiwa Beladiri-nya.
Langit di atas reruntuhan langsung meredup, dan sebuah proyeksi mulai terbentuk dari balik awan tipis—sebuah planet mini, membara dengan lapisan orbit, dan cincin bercahaya yang berputar perlahan. Di permukaannya, markas kecil bersinar, dan ribuan unit energi berkumpul dalam formasi militer. Sekilas, tampak seperti dunia asing mengintip ke dimensi fana.
Mereka yang berada di bawah lingkaran segel langsung menyadari kehadirannya. Sosok berjubah ungu menoleh, mata berkedip tajam.
"Itu bukan… Jiwa Beladiri dari dunia ini…"
Beberapa prajurit segera mengangkat senjata, namun Surya tidak menyerang. Ia hanya turun perlahan, melayang dengan tenang dalam balutan armor tempur—cahaya biru mengalir dari celah-celah tubuhnya.
"Aku tidak peduli siapa kalian," suara Surya datar, namun menggema kuat. "Tapi kalian menyentuh sesuatu yang seharusnya tetap terkunci."
Pemimpin musuh tersenyum samar. "Kau pembawa fragmen, bukan?"
Surya tidak menjawab. Tapi denyut dalam tubuhnya menjadi jawaban yang lebih dari cukup.
Dalam sekejap, Jiwa Beladiri raksasa milik musuh menyerbu, dan bentrokan spiritual pun dimulai. Surya memanggil unit pertahanan dari orbit planet mininya. Bentuk formasi mulai terbentuk, dan peluru energi menyebar, mengganggu ritme serangan lawan.
Pertarungan tak berlangsung lama. Begitu musuh menyadari bahwa Surya berada satu tingkat lebih tinggi dalam kontrol medan spiritual, mereka mulai mundur. Pemimpin berjubah ungu menahan luka berat, lalu melemparkan simbol bulat ke udara. Sebuah portal kabur terbuka, menarik para pengikutnya kabur ke dalam bayangan.
Surya tidak mengejar.
Ia justru turun dan memandangi altar yang kini hancur sebagian. Dari dalamnya, energi hitam masih menguar—tapi lebih lemah. Fragmen dalam tubuhnya berhenti bergetar. Ia melangkah mendekat dan membaca ukiran batu tua yang kini terlihat jelas.
Bahasa kuno. Tapi sebagian dapat ia pahami.
"…Penyegel Jiwa Asal… Tujuh Fragmen… Satu Gerbang…"
Surya diam.
Ini bukan tentang sekte biasa. Bukan juga konflik kecil di satu reruntuhan. Ini bagian dari teka-teki besar. Mungkin bahkan berkaitan dengan keberadaannya di dunia ini.
Ia menghela napas panjang, lalu menyimpan data ukiran ke dalam pangkalan. Saat malam mulai turun, Surya berdiri di atas altar, menatap langit yang mulai gelap.
"Jika mereka ingin membuka sesuatu yang lama tersegel… maka aku harus lebih cepat menjadi kuat."
Karena jika gerbang itu benar-benar terbuka suatu hari nanti—ia tak hanya harus bertahan.
Ia harus siap menutupnya kembali. Dengan kekuatannya sendiri.
Angin malam membawa hawa lembab dari arah barat, mengalun pelan di antara reruntuhan yang mulai tenang. Surya duduk bersila di atas puing batu altar, membiarkan energi spiritual mengalir perlahan ke dalam tubuhnya. Sisa-sisa pertempuran masih terasa di sekeliling, tapi pikirannya kini dipenuhi satu hal—fragmen.
Ia menyentuh dada, tepat di mana fragmen itu tertanam. Benda kecil itu tidak hanya menguatkan dantiannya, tapi juga seolah menjadi kunci takdir. Dan kini, Surya tahu, dirinya bukan satu-satunya yang menyimpan bagian dari sesuatu yang lebih besar.
"Jika ada tujuh fragmen, dan aku hanya satu…" gumamnya.
Mata Surya memejam. Dalam kesadarannya, planet mini di dalam Jiwa Beladiri mulai berputar lebih lambat, menyesuaikan diri. Orbitnya kini dipenuhi jejak-jejak energi dari dimensi yang tadi ia lawan. Bahkan tanpa ia sadari, proses sinkronisasi sedang terjadi. Dalam diam, kemampuannya terus berkembang.
Core Creation, kemampuannya yang tampak pasif, kini memberinya laju pertumbuhan yang konstan. Tidak mencolok, tapi stabil. Bahkan setelah pertarungan besar pun, aliran energi murni masih terus mengalir dalam jumlah kecil, menyempurnakan peredaran qi dan memperkuat inti di dalam tubuhnya.
Tak perlu mencari sumber daya dengan memaksa seperti seniman bela diri lain—Surya hanya perlu waktu, ketekunan, dan sesekali risiko.
Tiga hari kemudian, Surya meninggalkan reruntuhan.
Ia berjalan pelan, tanpa tujuan yang pasti, namun hatinya mantap. Sekarang, ia tidak lagi mencari tempat aman untuk tinggal. Ia mencari jawaban. Siapa yang mencoba membuka segel itu? Dan untuk apa?
Perjalanannya membawanya melewati lembah, desa-desa kecil, dan akhirnya tiba di kaki Gunung Keramat Tiga Matahari—tempat yang disebut-sebut dalam catatan kuno sebagai tempat para peramal menyembunyikan 'jantung dunia'.
Di sanalah ia menemukan sesuatu yang menarik.
Sebuah kuil tua, hampir tersembunyi oleh kabut dan lumut, berdiri sunyi di antara dua tebing. Tapi bukan bangunannya yang membuat Surya berhenti.
Melainkan karena di depan kuil, duduk seorang lelaki tua yang mengenakan jubah dari anyaman akar pohon. Lelaki itu membuka mata, dan untuk sepersekian detik, Surya bisa melihat auranya—tak bisa dijabarkan. Seperti menyaksikan langit berbicara.
"Aku sudah menunggumu, Surya Jagat," ucapnya tenang.
"Siapa kau?"
"Penjaga ingatan," jawabnya pendek. "Kau membawa fragmen, dan itu berarti kau membawa separuh dari ingatan dunia yang terhapus."
Surya terdiam. Tak menyangka jawaban itu.
"Fragmen itu bukan hanya kunci. Tapi juga memori yang tersegel sejak zaman sebelum dunia ini diatur ulang. Dan mereka—yang kau lawan di reruntuhan—mencoba memulihkan semuanya. Termasuk kekuatan yang bahkan para tetua pun tak berani sebut."
Surya mengerutkan kening. "Kalau mereka ingin membangkitkan sesuatu yang lama, dan aku juga punya bagian dari itu, maka…"
"Cepat atau lambat, semua fragmen akan saling mencari," lanjut si tua. "Dan kau harus cukup kuat sebelum waktunya tiba. Karena jika tidak, mereka akan mengambilnya darimu. Dengan paksa."
Angin kembali berhembus. Langit di atas Gunung Keramat mulai berubah warna, seolah waktu sendiri bergetar.
Surya mengepalkan tangan. Tatapannya mengarah ke langit jauh di balik awan.
"Kalau begitu... aku akan menjadi lebih kuat. Lebih cepat dari mereka semua."
Karena untuk menjaga dunia ini tetap utuh, ia harus lebih dari sekadar kuat.
Ia harus jadi porosnya.
Surya menuruni Gunung Keramat dengan langkah mantap. Tak ada lagi keraguan dalam hatinya. Ia tahu—peta besar dunia ini perlahan mulai terbuka, dan dirinya kini bukan sekadar bidak, tapi salah satu titik poros yang menentukan arah sejarah.
Jiwa Bela Diri-nya bergetar lembut. Planet mini dalam kesadarannya kini memiliki dua cincin energi yang berputar konstan, menandai evolusi lanjutan setelah pertarungan dan sinkronisasi fragmen. Di sekelilingnya, ribuan partikel spiritual berkedip seperti bintang kecil. Di pusat planet itu, tampak hanggar kecil yang baru saja terbentuk—tempat penyimpanan Armor Tempur, kemampuan keenamnya.
Surya memanggil panel kendali dalam kesadarannya.
> Status: Surya Jagat
Alam: Pembentukan Gua – Tahap 5
Jiwa Beladiri: Planet Pangkalan Mini – Evolusi Lv.3
Kemampuan:
1. Skena
2. Gravitasi Terarah
3. Prajurit Mini
4. Pesawat Tempur
5. Ruang Kendali Dimensi
6. Armor Tempur AI
> Core Creation: Aktif – Pertumbuhan Stabil
Fragment Dunia: 1 dari 7 – Tersinkronisasi sebagian
---
Di kejauhan, cahaya kota kecil lain mulai terlihat. Kota Cemara Langit, berada di dataran tinggi yang dikelilingi hutan pinus dan dikenal sebagai pusat informasi para pelancong, pedagang, dan sesekali… pemburu fragmen.
Surya memilih kota itu bukan tanpa alasan. Ia butuh informasi. Setelah tahu bahwa fragmen yang ia simpan adalah bagian dari "ingatan dunia", ia tahu bahwa semua yang ia alami baru permukaan. Ia butuh tahu di mana fragmen lain berada. Dan siapa saja yang mencarinya.
Saat memasuki kota, suasananya ramai. Pasar malam sedang berlangsung. Pedagang keliling, pemusik jalanan, hingga pendekar pemula yang memamerkan jurus untuk menghibur penonton.
Namun mata Surya tertarik pada satu hal: sebuah kios kecil yang menjual gulungan catatan tua. Di atas meja, tampak sebuah simbol aneh—tiga garis melingkar yang mengingatkannya pada pola energi dari fragmen.
Ia mendekat. Penjualnya seorang pemuda berambut putih dengan mata sipit dan suara lembut.
"Kau tertarik dengan ini?" tanyanya. "Ini berasal dari reruntuhan di Timur Laut. Seorang pengelana meninggalkannya. Katanya, ini adalah 'peta angin lama'—hanya bisa dibaca jika seseorang memiliki penglihatan jiwa."
Surya mengerutkan alis. Ia mengaktifkan aliran qi ke matanya.
Sekejap, simbol itu bersinar redup. Peta itu berubah, menunjukkan tujuh titik samar yang menyebar ke berbagai arah dunia.
Satu di barat—dekat tempatnya berada sekarang.
Satu lagi… di kedalaman Lautan Selatan.
Sisanya? Masih buram, tertutup kabut energi.
Ia membeli peta itu, dan malam itu juga masuk ke dalam Ruang Kendali Dimensi. Di dalam, ia mengumpulkan semua informasi, menyusun strategi, dan menyiapkan prajurit mini untuk mengawasi lokasi-lokasi kunci.
Surya tahu, pergerakan akan semakin berat. Musuh pasti juga menyadari pertemuan energi fragmen.
Dan jika benar… dunia ini akan kembali bergetar.
Namun, kini dia tidak lagi sekadar bertahan.
Ia bergerak maju. Mencari. Menyusun.
Karena petualangannya… baru saja dimulai.
Fajar menyelimuti kota Cemara Langit dengan kabut tipis yang perlahan tersapu angin pegunungan. Surya sudah terjaga lebih awal, duduk bersila di ruang meditasinya. Tubuhnya memancarkan getaran energi halus yang melingkar stabil, tanda bahwa kultivasinya telah mencapai titik matang untuk tahap kelima alam Pembentukan Gua.
Namun hari ini, ia tidak memedulikan peningkatan kekuatan. Fokusnya hanya satu: menelusuri keberadaan fragmen berikutnya yang tampak di peta angin lama.
Fragmen itu berada tidak jauh dari kota, hanya beberapa ratus li ke arah barat laut, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Lembah Bisu. Tempat itu terkenal angker, ditinggalkan sejak puluhan tahun silam karena konon menjadi sarang roh jahat dan binatang buas.
Namun Surya tahu, tempat yang dijauhi manusia adalah tempat yang paling mungkin menyembunyikan rahasia besar.
---
Setelah meninggalkan kota dengan perlengkapan seperlunya, ia menembus hutan dan lembah selama dua hari penuh. Di malam ketiga, ia tiba di perbatasan Lembah Bisu. Suasananya sunyi—begitu sunyi, bahkan suara binatang malam pun seolah enggan bersuara. Tapi Surya tidak gentar. Ia justru merasakan riak energi spiritual yang mengalir tak wajar di bawah tanah.
Saat ia membuka penglihatan spiritualnya, tampak aliran-aliran tipis seperti sungai qi, mengelilingi lembah dalam bentuk formasi alamiah yang sangat rumit. Seolah lembah itu... dijaga.
Ia melangkah masuk perlahan, setiap langkahnya menyesuaikan ritme dengan denyut tanah.
Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah dataran berbatu, dan di tengahnya—sebuah altar kecil yang sudah runtuh sebagian. Di atasnya, sebuah fragmen hitam tergantung melayang, perlahan menyerap kabut tipis di sekeliling.
Namun sebelum ia bisa mendekat, suara berat menggema dari kegelapan.
"Sudah kuduga… kau akan datang."
Sosok berjubah ungu keluar dari balik bayangan batu. Di punggungnya, menggantung tombak besar yang bersinar biru gelap. Qi-nya tidak kuat, hanya setara tahap ketujuh Pembentukan Gua, tapi aura niat membunuhnya sangat jelas.
"Kau… siapa?" tanya Surya, bersiap.
"Aku penjaga. Penjaga fragmen ini. Dan kau… bukan yang dipilih." Sosok itu menjejak tanah, dan dari tubuhnya, proyeksi Jiwa Beladiri muncul—seekor naga bersisik es, panjang dan bergelombang, dengan mata berkilat kebiruan.
Surya menarik napas dalam, lalu mengangkat tangan.
Proyeksi planet miliknya muncul perlahan, kini lebih besar dan lengkap dari sebelumnya. Cincin ganda mengelilingi planet itu, dan dari permukaan planet, pintu-pintu terbuka—memunculkan pesawat tempur mini dan puluhan prajurit kecil yang melayang di udara.
Namun yang menarik perhatian si musuh adalah aura planet itu. Ia mengernyit. "Itu… bukan elemen, bukan binatang, bukan senjata… Ini…"
"Jiwa Beladiriku," jawab Surya dengan tenang. "Dan ini bukan pertarungan antara takdir. Ini adalah perjalanan untuk menyeimbangkan dunia yang mulai rusak."
Seketika, pertarungan meledak.
Tombak es bertabrakan dengan medan gravitasi, naga es berhadapan dengan lapisan atmosfer planet mini Surya. Saat musuh mencoba menyerang langsung, Surya memanggil Armor Tempur, melapisi tubuhnya dengan pelindung perak metalik ringan yang meningkatkan kecepatan reaksi dan kekuatan fisiknya.
Dalam tiga puluh gerakan, musuh mulai tertekan.
Dalam lima puluh gerakan, tombaknya terpental.
Dalam enam puluh… ia roboh, tubuhnya terhimpit medan gravitasi dan serangan serempak pasukan kecil Surya.
Dengan napas berat, ia berkata lirih, "Kalau kau… yang memilikinya… mungkin… takdir dunia bisa berubah."
Lalu tubuhnya menghilang menjadi partikel es.
Surya mendekat, dan fragmen hitam perlahan masuk ke dalam kesadarannya, menyatu dengan yang pertama.
> Fragmen Dunia: 2 dari 7 – Tersinkronisasi sebagian
Langit mendung sejenak. Angin mendesir.
Tapi di dalam hati Surya, satu hal semakin jelas:
Perjalanan ini bukan hanya demi kekuatan.
Tapi untuk sesuatu yang lebih besar—memulihkan apa yang sudah mulai hancur sejak lama.