Bab 1: Konflik Abadi
Hari itu, Sekolah Pelita Raya tidak berakhir seperti biasanya.
Meski bel tanda pulang sudah berbunyi, suasana di dalam markas rahasia Pelita Fellows terasa semakin menegang. Bukan karena ujian atau tugas, tapi karena rencana besar yang sudah lama mereka siapkan—konfrontasi besar dengan Dirgantara.
Di tengah ruangan, Elara berdiri dengan postur tegak dan pandangan tajam. Ia adalah Joker dari SubRosa—dingin, penuh perhitungan, dan selalu dua langkah di depan.
"Rencana kita sederhana," ucapnya tanpa basa-basi. "Odo dan Bhima akan jadi garda terdepan."
Odo langsung tertawa lebar, suaranya menggema di ruangan. "Hahahaha! Akhirnya!"
Bhima, berdiri di sampingnya, hanya menatapnya dingin. "Jangan gegabah, Do. Kita nggak tahu apa yang mereka siapkan kali ini. Ini bukan permainan."
"Alyssa dan Ryan, kalian atur pergerakan dari jauh. Aidan, cari tahu lebih banyak soal siswa Dirgantara. Solara dan Armand, kalian siapkan jalur penyergapan kalau terjadi sesuatu. Rere, pastikan tak ada yang mencurigakan di Pelita Raya," lanjut Elara.
Alyssa tampak ragu. Ia menunduk sedikit, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku… aku nggak yakin kita bisa."
Ryan, yang berdiri di belakangnya, mencoba menenangkan. "Jangan takut, Alyssa. Kita tim yang hebat. Kita bisa."
Aidan menimpali dengan nada tenang namun serius, "Percaya diri itu penting, tapi jangan lengah. Lawan kita bukan orang biasa."
Elara memotong dengan suara dingin, "Kekhawatiran kalian hanya akan menjadi celah. Tutup rapat semua itu."
Alyssa akhirnya mengangguk pelan. "Baik, Ra…"
Begitu semua instruksi selesai, tim Pelita Manju berpencar. Langkah-langkah mereka menuju medan pertempuran pertama telah dimulai.
Sementara itu, di Dirgantara...
Bel sekolah juga telah berbunyi. Namun, Raka tidak langsung beranjak dari kursinya. Ia mengumpulkan teman-temannya ke dalam satu ruangan kecil di lantai tiga. Wajah-wajah yang berkumpul di sana adalah nama-nama kuat—Kevin, Altair, Niko, Jevan, Kalista.
"Kita nggak bisa diam aja. Pelita Raya sudah bergerak," ujar Raka tegas. "Mereka mungkin sudah menyusun sesuatu."
Altair terlihat ragu. "Tapi kita nggak tahu pasti kekuatan mereka. Kalau kita salah langkah..."
"Kita harus tahu siapa yang bisa kita hadapi. Kita gak punya pilihan," potong Raka cepat. Ia menatap mereka satu-satu. "Kalau kita telat, mereka akan menyerang lebih dulu."
Di saat yang sama, Kevin mengintip ke luar jendela. Ia terdiam beberapa detik, lalu menegang.
"Eh, itu Odo sama Bhima?! Mereka di sini?!" serunya.
Wajah semua orang berubah seketika.
Di Lapangan Dirgantara
Odo dan Bhima sudah berdiri di tengah lapangan, berhadapan langsung dengan siswa-siswa Dirgantara yang baru keluar kelas.
"Kita mulai," kata Odo dengan senyum lebar. Tanpa aba-aba, ia meluncur ke depan, menyerang Raka secara tiba-tiba.
Raka terpental beberapa meter ke belakang, tapi dengan cepat bangkit dan membalas. "Bajingan!"
Bhima tak punya waktu berpikir. Ia ikut menerjang ke arah Niko dan Jevan, membuat pertarungan pecah di beberapa titik.
"Kau terlalu gegabah, Do!" teriak Bhima di sela serangan. "Kita harus lihat situasi dulu!"
"Gw cuma ngasih salam pembuka!" balas Odo sambil tertawa lepas.
Bhima terjebak dalam 2v1 melawan Niko dan Jevan. Ia mengandalkan kecepatan dan strategi, membuat mereka kewalahan. Sementara itu, Odo berduel brutal dengan anak-anak Dirgantara.
Di tempat lain, Azura yang mendapat telepon dari Niko langsung menuju lokasi. Tapi saat ia muncul, Solara dan Armand sudah menunggu.
"Dua lawan satu? Gw jabanin!" teriak Azura penuh percaya diri.
Mereka bertarung sengit. Namun, karena stamina terkuras, Solara akhirnya terjatuh. Armand segera menariknya mundur.
Di sisi lain…
Aidan berjalan santai di lorong belakang Dirgantara. Di tangannya, Altair sudah terikat dan tak sadarkan diri.
"Hahaha... kau terlalu naif," gumam Aidan. "Tenang aja, Altair. Gw nggak akan bunuh lu—kecuali kalau Gw bosan."
Pertarungan Memuncak
Bhima akhirnya kelelahan dan mundur dari pertempuran.
"Staminaku habis. Do! Aku harus mundur dulu!"
Odo masih berdiri, tapi napasnya terengah. Banyak dari siswa Dirgantara sudah tumbang, tapi jumlah mereka tetap tidak sedikit. Ryan dan Alyssa terus memantau dari jauh.
"Elara," kata Alyssa lewat komunikasi, "Bhima mundur. Odo sudah terdesak."
Elara mengangguk perlahan. "Baik."
Ia pun bergerak.
Begitu Elara muncul di lapangan, semua langsung terdiam. Aura yang ia bawa seakan membekukan udara. Jevan, yang kini memimpin sisa pasukan Dirgantara, langsung maju menyerang.
Namun, Elara hanya mengeluarkan sebuah buku. Dalam sekejap, tubuh Jevan terhempas dan tak bisa bergerak.
"Amatir…" bisik Elara.
Sisa siswa Dirgantara tak lagi punya keberanian untuk melawan.
Elara melangkah pelan, matanya menyapu seluruh area.
"Pertarungan ini… berakhir."