Pemulihan

Bab 2: Pemulihan

Hari itu, langit Kota Mentari terasa terlalu cerah untuk sekolah yang baru saja porak-poranda.

Pelajaran tetap berjalan seperti biasa, tapi suasana di Pelita Raya dan Dirgantara berbeda. Sekolah-sekolah itu seperti dua istana rapuh yang sedang menutup luka, menanti siapa yang jatuh lebih dulu.

Di Pelita Raya, ruang OSIS terlihat sepi. Tak ada Solara yang biasa berisik memarahi Odo karena main game di jam rapat. Tak ada Bhima yang duduk kaku di kursinya, mengawasi peta kekuatan sekolah.

Hari itu... mereka absen.

Rere berdiri sendirian di depan papan tulis, memandangi jadwal kegiatan yang berantakan. "Mereka berdua kemana?" gumamnya.

"Gw juga gak tau," jawab Elara datar, duduk sambil membaca berkas laporan kerusakan ruangan.

"Solara ngilang. Bhima ngilang. Odo bolos rapat. Aidan senyum-senyum sendiri," lanjut Rere, nada suaranya mulai panik. "Ini bukan tim... ini puing-puing!"

"Tapi kita masih hidup," Elara menutup berkasnya. "Dan itu cukup untuk memulai lagi."

Di sisi lain, Odo duduk di atap sekolah, kakinya menggantung santai. Pandangannya jauh ke arah matahari pagi. Ryan duduk di sebelahnya, menggigit permen lolipop seolah tidak terjadi apa-apa.

"Mereka panik," kata Odo tiba-tiba.

"Mereka selalu panik kalau Bhima gak ada," sahut Ryan, nada suaranya santai. "Tapi Bhima gak bisa terus jadi pahlawan."

"Gue juga bukan pahlawan," balas Odo. "Cuma... kadang gue pengen ada yang bilang 'kita aman'. Tapi gak ada yang bisa bilang itu sekarang."

Ryan terdiam. Suara burung-burung di kejauhan seperti menjawab: Tidak ada yang aman.

Sementara itu, di Dirgantara...

Suasana lebih tenang, tapi tidak lebih nyaman. Jevan tampak duduk di ruang medis, tangannya dibalut, dan matanya menatap kosong ke langit-langit.

Altair duduk di sebelahnya, memegangi boneka kecil yang entah kenapa ada di pangkuannya.

"Semua ini karena mereka," kata Jevan pelan. "Pelita Raya... terutama Elara."

Altair menoleh. "Tapi bukannya kita mulai duluan?"

Jevan diam. Ia tidak menjawab.

Raka sedang berbicara dengan Kevin dan Alina di ruang DopaTopa. Mereka mencatat ulang nama-nama dari Pelita Raya, mencari pola, mencari celah.

"Kita butuh waktu untuk pulih," ujar Alina. "Dan mereka juga. Ini bukan perang cepat."

"Iya," jawab Raka. "Ini perang panjang. Dan Bhima belum bergerak lagi. Itu yang paling menakutkan."

Malam hari, Pelita Raya.

Amara duduk di lorong asrama, mengenakan hoodie kebesaran milik Odo. Ia menggambar sesuatu di bukunya—karakter anime dengan rambut biru terang dan pedang api.

Ryan muncul, membawa dua cup es krim.

"Kalau dunia lagi chaos, makan es krim," katanya sambil menyerahkan satu ke Amara.

"Ryan, kamu tahu Bhima dan Solara kemana?" tanya Amara.

Ryan menggeleng. "Tapi kalau mereka ngilang, pasti lagi mikirin sesuatu penting. Atau... Males sekolah."

"Males?"

"Yaa... siapa tahu kan?" Ryan terkekeh. "Tapi serius, Amara. Selama Odo masih di sini, aku rasa semuanya bakal baik-baik aja."

Amara tersenyum kecil. Tapi hatinya tidak sejalan.

Di tempat rahasia...

Bhima berdiri di depan layar hologram besar. Solara duduk di belakangnya, serius menatap data yang terus bergulir.

"Mereka belum tahu siapa musuh sebenarnya," ucap Bhima.

"Dan kita belum bisa buka kartu," timpal Solara.

"Kita harus buat rencana. Bukan cuma lawan Dirgantara. Tapi lawan... semuanya."