Bab 3: Gerakan Bhima
Langit Kota Mentari tampak mendung, tapi suasana di Pelita Raya jauh lebih kelabu dari cuaca.
Sudah tiga hari sejak bentrokan dengan Dirgantara. Bhima dan Solara baru muncul pagi itu, berjalan ke gerbang sekolah dengan langkah santai, seolah tak pernah absen. Tapi tatapan Bhima berbeda—lebih tajam, lebih dalam. Ia tak bicara sepatah kata pun di sepanjang perjalanan.
Di sisi lain, Odo sedang duduk di taman belakang sekolah, mengunyah roti isi dan menonton video kucing bertarung dengan printer.
"Gila... ini lebih brutal dari peperangan kemarin," komentarnya sendiri.
Tiba-tiba, bayangan menutupi layar ponselnya. Bhima berdiri di depannya.
"Lu ngapain?"
Odo mendongak. "Eh? Makan roti, nonton kucing. Emang napa?"
Bhima duduk di sebelahnya tanpa bicara. Tangannya membuka tablet kecil dan mulai mencoret-coret sesuatu. Odo melirik penasaran.
"Lho, itu... denah sekolah?"
"Hmm."
"Kenapa lu ngelukis ulang denah Pelita Raya?"
Bhima tak menjawab. Ia menandai beberapa titik di peta: gudang kosong dekat lapangan basket, ruang arsip lantai tiga, dan lorong bawah ruang OSIS.
Odo mencibir. "lu yakin ini bukan peta harta karun?"
"lu bisa bantu cari tahu soal gudang ini?" Bhima menunjuk satu titik merah.
Odo diam sejenak. Lalu mengangguk pelan. "Serius nih? Ini bukan kayak... investigasi biasa kan?"
Bhima menatapnya. "Bukan."
Sementara itu, di ruang OSIS, Rere berdiri memandangi papan rencana kegiatan sekolah. Tapi matanya tidak benar-benar memperhatikan papan itu—dia sedang memikirkan Bhima.
Solara masuk dan menaruh sebotol minuman di meja. "Kamu kelihatan tegang."
"Bhima... dia mulai bergerak lagi," gumam Rere.
"Mulai?" Solara duduk di sandaran sofa. "Emang dia pernah berhenti?"
Rere menghela napas. "Tapi kali ini... beda. Diamnya aneh. Seperti sedang mencari sesuatu, tapi tidak ingin ketahuan."
Solara menyipitkan mata. "Kamu curiga dia menyelidiki sesuatu?"
"Ya. Dan aku rasa itu bukan hal kecil."
Rere memutar kunci loker OSIS-nya, lalu mengeluarkan satu map dokumen bertanda "CONFIDENTIAL."
"Kalau benar Bhima bergerak... kita harus tahu duluan sebelum dia menemukan yang salah."
Malamnya, Bhima menyelinap ke lorong belakang ruang arsip. Odo mengikutinya dari belakang, dengan langkah pelan dan roti kedua di tangan.
"Bhim, ini kita ngapain sebenernya? Kita bisa dihukum tai."
"Lu bisa berhenti kapan aja," jawab Bhima datar.
"Yaa... Gak lah."
Bhima menempelkan alat kecil ke dinding—alat pendeteksi panas.
"Seseorang pernah pakai lorong ini. Tapi tidak tercatat di sensor utama sekolah."
Odo menelan ludah. "Jadi... lu pikir ini lorong rahasia?"
"Lebih dari itu."
Terdengar suara klik. Dinding bergeser sedikit, membuka celah sempit dengan tangga menurun.
Bhima melirik Odo. "Lu takut?"
Odo tertawa gugup. "Nggak... gw cuma nyesel nggak bawa roti ketiga."
Mereka menuruni tangga perlahan, dan suara di atas mereka perlahan menghilang. Lorong gelap itu menelan mereka berdua—dan mungkin juga awal dari rahasia yang seharusnya tak mereka buka.
Akhir Bab 3