Bayangan di balik lorong

Bab 5: Bayangan di Balik Lorong

Lorong rahasia itu lebih panjang dari yang mereka kira. Bhima dan Odo sudah berjalan hampir lima menit, tapi belum menemukan ujungnya. Dindingnya lembap, dan hanya diterangi senter kecil dari alat Bhima.

"Ada bau aneh...," gumam Odo sambil menutup hidung.

Bhima berhenti. Di hadapannya, sebuah pintu besi tua berdiri diam, seperti menjaga sesuatu di balik sana. Ia menyentuh permukaan pintu, lalu mengeluarkan kunci magnetik kecil.

Klik.

Pintu terbuka perlahan, berderit pelan. Di baliknya, ruangan kosong... atau setidaknya, terlihat kosong.

Bhima masuk duluan, mengarahkan senter ke sudut-sudut ruangan. Rak besi berdebu, papan lama berisi catatan rapat yang sebagian besar sobek, dan sebuah loker besar berdiri di pojok ruangan. Tapi justru loker itulah yang menarik perhatiannya.

"Bhim... ini tempat apa sih?" tanya Odo pelan.

"Tempat yang seharusnya nggak ada."

Bhima membuka loker. Isinya: tumpukan berkas dengan stempel Dirgantara.

Odo mengernyit. "Wait... ini kan Pelita Raya? Kok bisa...?"

Bhima menarik satu map, membukanya cepat. Raut wajahnya berubah.

"Ini bukan cuma soal kita... ini udah lama terjadi."

Di sisi lain, Rere dan Solara mengadakan pertemuan rahasia di ruang OSIS, pintu dikunci rapat. Di meja mereka, beberapa dokumen pelatihan khusus OSIS yang jarang disentuh.

"Kita terlalu lama diem," kata Rere sambil menunjuk satu laporan lama. "Kalau Bhima sampai nemu ini duluan, dia bakal ambil tindakan sendiri."

Solara mengangguk. "Kita juga harus cari tahu... kenapa banyak file Pelita yang dikirim ke Dirgantara tahun lalu."

"Dan... siapa yang ngirim."

Malamnya, Bhima kembali ke kamarnya. Ia menyalakan komputer pribadinya, lalu mulai mencocokkan isi berkas dari loker rahasia dengan data internal yang ia simpan sendiri—data yang ia curi diam-diam dari server sekolah beberapa bulan lalu.

"Ada yang main dua kaki... dan ini lebih tinggi dari sekadar siswa biasa," gumamnya.

Odo tiba-tiba masuk tanpa ketuk.

"Bhim, besok kita masukin gudang belakang kantin ya. Gue dengar dari Armand, dia pernah liat orang keluar dari sana malam-malam."

Bhima menoleh cepat. "Siapa?"

"Dia nggak yakin... tapi katanya ada yang pakai jaket Dirgantara."

Bhima diam sejenak. Kemudian berdiri. "Besok pagi. Jangan telat."

Keesokan paginya, langit Mentari kembali cerah. Tapi di balik sinar matahari itu, rencana-rencana tersembunyi terus bergerak.

Odo berjalan cepat ke kantin sambil membawa dua roti isi. Ia melihat Bhima sudah berdiri di depan gudang belakang, memeriksa engsel dan kunci gembok yang setengah karatan.

"Nih, satu buat lu," kata Odo, menyodorkan roti.

Bhima mengambilnya tanpa bicara, lalu langsung mengeluarkan kunci magnetik kecilnya lagi.

Klik.

Gudang itu terbuka perlahan. Di dalamnya, tumpukan alat olahraga lama, lemari besi yang dikunci rapat, dan satu karpet besar menggulung di tengah ruangan. Tapi yang mencurigakan bukan isi gudangnya, melainkan bekas goresan di lantai, mengarah ke balik lemari.

Bhima dan Odo saling pandang.

"Mau coba geser?" tanya Odo.

Bhima mengangguk.

Mereka mendorong lemari besi itu perlahan. Di baliknya, sebuah lubang kecil tersembunyi di tembok, cukup untuk dilewati orang satu per satu. Udara dari balik lubang itu dingin, seperti tak pernah tersentuh siapa pun.

"Ini... lorong lain?" bisik Odo.

Bhima memeriksa sekeliling, memastikan tak ada yang melihat. Lalu ia berjongkok dan mengintip. "Menuju ke ruang medis lama."

"Serius? Kan udah ditutup sejak dua tahun lalu."

"Justru itu."

Mereka sepakat tidak masuk dulu hari itu. Bhima mengambil foto dan mencatat detailnya, lalu mereka kembali seperti biasa—seolah tak ada yang terjadi.

Di tempat lain, Rere duduk sendirian di balkon OSIS. Pandangannya kosong, tapi di tangannya ada satu foto lama: dokumentasi pelatihan gabungan Pelita dan Dirgantara tiga tahun silam.

Foto itu memperlihatkan seseorang berdiri di antara dua kepala sekolah lama.

Tapi orang itu bukan guru. Bukan siswa.

Dan bukan siapa-siapa yang dikenal publik.

Solara masuk membawa dua gelas teh. "Kamu masih mikirin Bhima?"

"Lebih dari itu," jawab Rere. Ia menunjuk foto itu. "Kamu lihat orang ini?"

Solara menatap sejenak. "...nggak familiar."

"Aku rasa dia... kunci dari semuanya."

Malam hari, Bhima berdiri di atap gedung Pelita Raya, memandangi gemerlap kota. Ia bicara lewat headset kecil ke Odo yang sedang menyusup ke ruang guru.

"Lu udah nemu file 'E.M. Project'?"

"Belum... sabar... sabar... Eh! Ini dia!" Suara Odo terdengar heboh. "Tapi... Bhim... ini disegel pakai kode."

Bhima menghela napas. "Kirim screenshotnya dulu."

Beberapa detik kemudian, layar tablet Bhima menyala. File itu memang terkunci. Tapi nama pengunggahnya terlihat: Y.

Bhima mengepalkan tangan.

"Pak Yoo..."