Bab 6: Jejak yang Tersisa
Langkah kaki Bhima bergema di tangga menurun dari atap sekolah. Malam sudah larut, tapi pikirannya jauh dari tenang.
"Y," gumamnya pelan. Bukan sekadar huruf. Bukan kebetulan.
Ia berhenti di lorong lantai tiga, menatap kosong ke dinding. Nama pengunggah file itu terlalu mencolok untuk diabaikan. Terlalu dekat dengan seseorang yang ia sudah curigai sejak lama.
Pak Yoo.
Bhima mengepalkan tangan. "Kalau ini benar, dia bukan cuma guru biasa…"
Suara pintu terbuka di ujung lorong mengalihkan perhatiannya. Bhima langsung kembali berjalan, wajahnya kembali datar. Tapi pikirannya terus bekerja, menyusun langkah selanjutnya.
Keesokan paginya, Pelita Raya tampak seperti biasa. Tapi di dalam kepala Bhima, semuanya berubah. Ia berdiri di depan papan informasi OSIS, pura-pura membaca pengumuman, padahal memperhatikan pergerakan orang-orang.
Odo muncul dari arah kantin, mengunyah tahu goreng.
"Bhiiim," panggilnya pelan, "lu abis begadang lagi ya?"
Bhima hanya mengangguk. "Kita perlu bahas isi file itu."
Odo mendekat, menyandarkan diri ke tembok. "Lu beneran yakin sama nama 'Y' itu?"
"Aku nggak suka nebak. Tapi semua petunjuk ngarah ke satu orang."
Odo ikut serius. "Pak Yoo, ya?"
Bhima mengangguk pelan. "Dia punya akses ke ruang guru, dia tahu sistem sekolah, dan... file itu nggak sembarangan. Isinya potongan laporan eksperimen. Tapi bukan eksperimen sekolah."
Odo menelan sisa tahu di mulutnya. "Eksperimen apaan?"
"Modifikasi kemampuan. Ada catatan nama-nama siswa yang terdaftar. Sebagian dari mereka... berasal dari Dirgantara."
Odo terdiam. "Jadi, lu mikir ini lebih gede dari sekadar persaingan sekolah?"
"Jauh lebih gede."
Di tempat lain, Rere membuka pesan rahasia di tablet-nya. Laporan Bhima yang sempat disusupkan ke sistem OSIS kini sudah terbaca olehnya. Matanya menyipit saat membaca nama Pak Yoo di file tersebut.
Solara duduk di depannya, memutar-mutar botol minum. "Masih yakin Bhima main sendiri?"
"Sekarang nggak lagi," jawab Rere pelan. "Dia tahu sesuatu yang bisa mengancam dua pihak."
"Termasuk kita?"
Rere mengangguk. "Termasuk kita."
Solara bersandar di kursinya. "Berarti udah waktunya kita buka jalur komunikasi."
"Belum. Kita tunggu sampai Bhima melangkah lebih dalam. Baru kita tentukan siapa yang akan nyusul dia... atau menjatuhkannya."
Sore hari, Bhima kembali ke lorong belakang ruang arsip, kali ini sendirian. Ia membawa kertas cetakan dari file yang berhasil dibuka. Di balik tumpukan arsip lama, ia menemukan lagi lorong kecil itu—yang pernah ia dan Odo masuki.
Tapi sekarang, ada sesuatu yang berbeda. Bekas jejak sepatu. Baru.
Bhima menarik napas dalam. "Ada yang udah lebih dulu masuk."
Ia melangkah masuk, pelan. Jejak demi jejak menuntunnya ke ruangan kecil di ujung lorong. Lampu mati. Tapi di sudut ruangan, ada satu papan tulis penuh coretan—formula, nama, dan diagram tubuh manusia.
Dan di tengah-tengahnya, lingkaran merah mengitari satu nama:
Aidan.
Bhima menatap papan itu lekat-lekat. "Apa yang sedang kalian lakukan di Dirgantara...?"
Bhima masih terpaku di depan papan tulis itu. Nama Aidan tertulis besar, dilingkari merah, dikelilingi berbagai catatan:
"Potensial tidak stabil."
"Emosi ekstrem memicu peningkatan kekuatan."
"Berhasil diintegrasikan tanpa prosedur penuh."
Wajah Bhima mengeras. Ia merobek kertas cetakan dari file di tangannya, mencocokkan tulisan tangan di papan dengan tulisan pada laporan.
Cocok.
Tulisan tangan yang sama. Orang yang sama. Dan sepertinya—tujuan yang sama.
Sebuah suara pelan di belakang membuat Bhima segera berbalik, tangannya refleks siap menyerang. Tapi yang muncul hanya... Amara.
"Bhima?" Wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Ngapain kamu di sini sendirian?"
Bhima buru-buru menyembunyikan cetakan ke dalam jaket. "Lagi ngecek sesuatu buat OSIS."
Amara melangkah pelan ke dalam ruangan. Matanya tertuju ke papan tulis yang penuh coretan. "Kok ini mirip kayak... eksperimen?"
Bhima menggertakkan gigi. Ia tidak mau melibatkan Amara lebih jauh, tapi semuanya terasa makin sulit untuk disembunyikan. Apalagi kalau nama-nama seperti Aidan sudah mulai muncul.
"Apa kamu tahu sesuatu tentang Aidan?" tanya Bhima, tak bisa menahan diri.
Amara menatapnya, bingung. "Dia baik kok. Agak aneh, tapi baik."
"Kalau ternyata dia bukan seperti yang kamu kira?"
Amara terdiam. Sesaat kemudian, ia menjawab pelan, "Kalau kamu tahu sesuatu, Bhima, kamu harus kasih tahu ke semuanya. Ke Pelita, ke OSIS... atau ke aku."
Bhima menatapnya tajam. Lalu berkata lirih, "Belum saatnya."
Di tempat lain, Odo mengetuk meja ruang promosi dengan pensilnya sambil mengamati kalender di dinding. "Sudah makin dekat."
Solara yang duduk tak jauh dari situ mengangkat alis. "Maksudmu apa?"
"Dirgantara gak bakal diem aja. Kita udah nyentuh ranah yang terlalu dalam. Mereka pasti serang balik."
Solara melipat tangan. "Kalau mereka datang, kita siap."
Odo menggeleng pelan. "Lu gak ngerti. Mereka gak akan datang buat menang. Mereka datang buat ngasih pesan. Dan biasanya... pesan itu berdarah."
Malam harinya, Bhima duduk sendiri di balkon asrama Pelita. Cetakan di tangannya terlipat rapi. Tapi pikirannya tidak rapi sama sekali. Ia menatap ke arah gedung Dirgantara di kejauhan. Matanya seperti menembus bangunan itu.
"Kita semua cuma bidak," gumamnya.
Dari balik bayangan, suara berat terdengar. "Dan kamu mulai sadar siapa yang menggerakkan papan."
Bhima menoleh. Pak Mattius berdiri di sana, wajahnya tenang tapi matanya tajam.
"Kamu sudah terlalu dalam, Bhima," ucapnya, "tapi kamu juga terlalu penting untuk mundur sekarang."
Bhima tidak menjawab. Ia hanya menatap Pak Mattius dan bertanya satu hal.
"Apa kamu tahu siapa Y sebenarnya?"
Pak Mattius tak menjawab. Ia hanya menatap Bhima lama, lalu berbalik dan berjalan pergi.
Tapi sebelum ia menghilang di kegelapan malam, ia meninggalkan satu kalimat:
"Kadang, huruf bukan hanya inisial. Tapi simbol... dari mereka yang tidak ingin dikenali."