Dua Wajah Aidan

Bab 7: Dua Wajah Aidan.

Pagi itu, Pelita Raya terasa lebih tenang dari biasanya. Tapi ketenangan itu seperti permukaan air yang tenang menyembunyikan arus deras di bawahnya.

Bhima tidak masuk kelas. Ia menyendiri di ruang OSIS pertahanan. Tangannya masih memegang cetakan dari file yang ia buka malam itu. Kali ini, ia memindai ulang satu nama: Aidan.

"Berhasil diintegrasikan tanpa prosedur penuh."

Apa maksudnya?

Siapa yang mengintegrasikannya?

Dan kenapa Aidan?

Pintu diketuk.

Bhima menyembunyikan file, refleksnya seperti selalu siaga sejak kejadian itu. Tapi yang masuk hanyalah Solara.

"Pagi juga," gumam Bhima.

Solara berjalan masuk tanpa permisi, seperti biasa. "Aku nemu ini di dekat ruang guru. Mungkin milikmu?" Ia menyerahkan satu USB putih polos.

Bhima mengenalinya. Itu flashdisk tempat file itu pertama kali ditemukan.

Solara memperhatikan Bhima yang mulai gelisah. "Lu nyari sesuatu yang lebih dari sekadar file kan?"

Bhima diam. Sorot matanya tajam. Tapi tidak menyangkal.

Solara menarik kursi dan duduk di seberang Bhima. "Gue tahu Aidan aneh. Gue tahu lu gak suka dia dari awal. Tapi lu harus tahu satu hal, Bhim—dia pernah nyelametin gue."

Bhima menatapnya, agak terkejut. "Kapan?"

"Waktu Odo hampir ketahuan ngehack lab Dirgantara. Gue diem di luar, jagain. Tiba-tiba ada dua siswa Dirgantara dateng. Gue gak bisa lawan mereka berdua. Terus Aidan dateng, hajar mereka sampai pingsan. Tapi... anehnya, dia gak panik. Dia kayak... nikmatin."

Bhima menghela napas pelan. Potongan-potongan teka-teki itu semakin jelas.

Di sisi lain sekolah, Odo, Rere, dan Amara sedang berdiskusi tentang rencana latihan sore nanti.

"Dirgantara belum bergerak, tapi bukan berarti kita santai," kata Rere. "Mulai sekarang, semua anggota Pelita Fellows latihan tiap hari."

"Eh, kita kayak anime ya," celetuk Amara. "Latihan keras, lalu musuh muncul tiba-tiba."

Odo terkekeh. "Jangan-jangan kamu penulis ceritanya."

Namun Rere hanya tersenyum tipis, lalu menatap jauh ke arah taman belakang sekolah. Tempat terakhir kali ia melihat Aidan berdiri sendirian, menatap sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.

"Aidan juga ikut latihan?" tanya Amara polos.

"Gak usah," jawab Odo cepat.

Rere melirik Odo. "Kenapa?"

"Gapapa," jawabnya sambil menatap Rere. Tapi sorot matanya mengatakan lain.

Sementara itu, di sudut tersembunyi sekolah, Aidan sedang bicara lewat earphone dengan suara yang terdistorsi.

"Mereka mulai mencurigai."

Suara di seberang menjawab, dingin dan tenang. "Biarkan mereka. Itu bagian dari rencana."

Aidan tersenyum tipis. Matanya kosong. Tapi senyumnya... tidak.

"Mereka akan tahu siapa gw. Tapi saat itu terjadi—semuanya sudah terlambat."

Setelah panggilan misterius itu, Aidan memasukkan earphone ke saku jaketnya. Langkahnya pelan, tapi mantap, menyusuri lorong sekolah menuju ruang komputer. Tak ada yang curiga, tak ada yang menoleh. Semua melihatnya sebagai murid pintar, baik, dan aktif. Tapi Aidan tahu... semua itu hanya topeng.

Di ruang komputer, ia langsung menyalakan salah satu unit, mengakses sistem dengan cepat. Jari-jarinya lincah memanipulasi file dan program yang bukan untuk siswa biasa. Ia membuka satu folder bernama "Peta Zona Netral".

"Bhima hampir membuka ini," gumamnya. "Kalau dia tahu isi lengkapnya, semuanya bisa kacau."

Ia menghapus cache sementara, lalu memasukkan sandi baru untuk mengunci folder tersebut. Sandi itu—sebuah nama: Altair.

Di ruang OSIS utama, Bhima menatap monitor laptop-nya dengan pandangan kosong. Data yang ia buka kemarin tidak bisa diakses ulang. File-nya hilang. Folder-nya terkunci ulang. Seseorang tahu ia mengaksesnya.

"Dia tahu gue udah baca," gumamnya.

Solara baru saja kembali dari kantin, menyerahkan sebungkus roti sobek.

"Lu kelihatan kayak orang gak tidur seminggu," katanya.

Bhima hanya mengangguk. "Sol... bisa jadi Aidan bukan cuma siswa pindahan biasa."

Solara duduk di pinggiran meja. "Lu curiga dia mata-mata Dirgantara?"

"Lebih dari itu."

Bhima membuka beberapa dokumen baru—daftar siswa Pelita Raya selama lima tahun terakhir. Di antara semua nama, hanya satu yang tidak punya catatan asal sekolah sebelumnya.

"Aidan muncul tiba-tiba. Gak ada riwayat. Gak ada file medis. Bahkan guru-guru pun jarang menyebut asalnya."

Solara mengerutkan kening. "Terus kenapa Rere ngizinin dia ikut Pelita Fellows?"

Bhima menatapnya serius. "Itu yang gue mau cari tahu."

Sementara itu di halaman belakang, Rere memanggil Odo dan Amara.

"Gue mau kita latihan simulasi hari ini. Gue, Odo, Solara, Bhima, dan... Aidan."

Odo langsung protes, "Kenapa harus dia?"

Rere menatap Odo dalam. "Karena kita gak bisa ngebuang potensi cuma karena rasa gak suka pribadi."

Amara menunduk, merasa tidak enak berada di tengah ketegangan ini.

Rere melanjutkan, "Tapi kita bakal bikin simulasi ini spesial. Kita lihat, siapa yang sebenarnya pantas berdiri di barisan depan Pelita Raya."

Bhima muncul dari arah lorong, mendengar percakapan itu. Ia mendekat dan berkata dengan nada datar, "Kalau simulasi ini jadi... gue yang pilih bentuknya."

Rere mengangguk, sedikit penasaran dengan nada bicara Bhima yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Sore harinya, mereka berkumpul di lapangan belakang yang tidak terpakai—area yang dulunya sempat digunakan untuk pelatihan militer ringan siswa-siswa angkatan lama. Bhima sudah menyiapkan semuanya.

"Simulasi ini akan terbagi dua tim. Odo, Amara, dan Solara lawan gue, Rere, dan Aidan."

Odo menatap Bhima kaget, "Serius?"

Bhima tidak menjawab. Tapi tatapannya pada Aidan sangat jelas—ia ingin melihat bagaimana orang ini bertarung... ketika tidak ada topeng yang menutupi wajahnya.

Aidan hanya tersenyum, lalu memutar-mutar tongkat kayu latihan di tangannya. "Kalau ini mau jadi ujian... pastikan kamu siap, Bhima."

Simulasi dimulai. Tapi tak satu pun dari mereka menyadari, bahwa di balik pepohonan, dua pasang mata dari Dirgantara tengah mengamati—Azura dan Maven.

Dan mereka sedang tersenyum.