Bentuk-bentuk pecah

Bab 9: Bentuk-Bentuk Pecah

Langit Kota Mentari mendung lagi. Entah kebetulan atau pertanda, tapi suasana Pelita Raya juga tidak jauh berbeda—suram, dan terasa seperti akan hujan, bukan oleh air, tapi oleh pecahan kepercayaan.

Bhima duduk sendiri di ruang OSIS yang kosong, kecuali suara jam dinding yang berdetak pelan. Di depannya, layar tablet menyala, menampilkan file bertanda "Y – INTERNAL." Ia sudah membacanya berkali-kali. Bukan soal isinya yang banyak, tapi karena satu nama itu masih terpampang di metadata: Yoo.

"Pak Yoo, lo sebenarnya siapa…?" gumamnya pelan.

Pintu ruang OSIS terbuka. Rere masuk dengan ekspresi datar, membawa tumpukan berkas.

"Kamu belum pulang?" tanyanya, meletakkan dokumen ke meja tanpa menoleh.

Bhima hanya mendengus. "Harusnya gue yang tanya gitu."

Mereka saling diam selama beberapa detik. Tapi diam itu bukan kosong—ada suara ketegangan yang menggantung di antara mereka.

"Ada yang ingin lo tanya, Rere?" Bhima menatap lurus.

Rere menahan napas, lalu duduk. "Kamu menyelidiki Pak Yoo, ya?"

Bhima tidak menjawab. Ia hanya memutar layar tabletnya ke arah Rere. File itu masih terbuka.

Rere membaca cepat, lalu mengatupkan rahangnya. "Kamu tahu ini bisa bikin kekacauan besar?"

"Justru karena itu gue harus tahu lebih jauh," jawab Bhima. "Kalau ada yang bermain di balik Pelita Raya, kita gak bisa duduk diam."

"Dan kamu pikir kamu bisa sendiri?"

"Gue gak sendiri. Odo ikut. Dan... mungkin Amara."

Rere tertawa kecil, pahit. "Odo? Yang sekarang makin susah diajak serius? Dan Amara... dia bahkan gak ngerti konspirasi."

Bhima berdiri, mendekati papan perencanaan OSIS. Tangannya menunjuk titik merah kecil yang sebelumnya ia tandai—arsip bawah tanah yang sudah mereka telusuri.

"Semua berawal dari sini. Tapi kita belum lihat ke dalamnya sepenuhnya."

Sementara itu, Odo sedang berada di taman sekolah bersama Amara. Ia tampak biasa saja, bercanda, tertawa, menggoda Amara dengan gaya anehnya yang khas. Tapi di balik itu semua, matanya memandang jauh, ke arah bangunan OSIS.

Amara menepuk pundaknya. "Kenapa kamu makin sering bengong, Odo?"

"Banyak yang lagi ribut di kepala gue," jawabnya. "Dan... lo inget gak tempat yang kita temuin waktu itu? Yang bawah tanah itu?"

Amara mengangguk.

"Mungkin kita harus ke sana lagi. Tapi... kali ini kita siapin mental."

Amara menatapnya. "Kamu takut?"

Odo diam sebentar. Lalu tersenyum kecil. "Bukan takut. Tapi gue sadar... sesuatu yang besar lagi bangun di balik sekolah ini. Dan gue gak tahu siapa temen gue yang bakal tetap temen, atau justru musuh."

Satu detik hening. Lalu angin bertiup. Rerumputan bergoyang. Dan entah kenapa, hari itu terasa... terlalu tenang.