Saksi yang terlupakan

Bab 10: Saksi yang Terlupakan

Lorong rahasia itu kini bukan tempat yang asing lagi bagi Odo, Bhima, dan Amara. Mereka bertiga melangkah pelan, menyusuri jejak-jejak misteri yang belum selesai. Dinding batu yang lembap, suara tetesan air dari langit-langit, dan bau lembap khas bawah tanah menambah ketegangan.

Bhima berjalan paling depan. Kali ini, ia membawa sesuatu yang berbeda—bukan sekadar tablet atau alat pendeteksi. Di tangannya, ada foto usang yang diambil dari ruang guru. Seorang pria berdiri bersama sekelompok siswa berseragam Dirgantara lama. Di balik foto itu tertulis: "Percobaan ke-3, 2009. Mentor: Y."

Amara menggigil. "Jadi ini semua udah dari dulu?"

Bhima mengangguk. "Dan mereka nggak mau kita tahu soal itu."

Odo mendekat, menunjuk salah satu siswa di foto. "Eh, ini... bukan Kevin?"

Bhima memicingkan mata. "Bukan. Tapi mirip. Mungkin keluarga."

Langkah mereka terhenti saat tiba di sebuah ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Dindingnya bersih. Lampu menyala otomatis saat pintu terbuka. Ruangan itu kosong... kecuali satu layar monitor besar di tengah, menyala dengan satu kalimat:

"Selamat datang kembali, Pak Yoo."

Amara menelan ludah. "Kita harus pergi."

Namun sebelum Bhima bisa memutuskan, suara berat terdengar dari speaker:

"Kalian masuk terlalu dalam. Sudah cukup."

Monitor mati. Lampu padam.

Bhima menggertakkan gigi. "Kita ke sini bukan buat main-main."

Mereka buru-buru keluar dari ruangan, tapi saat kembali ke lorong awal, jalanan itu sudah berubah. Tangga tempat mereka turun kini tertutup dinding besi.

"Kita terkunci?" tanya Odo panik.

Bhima menyalakan lampu darurat. "Tenang. Kita cari jalan lain."

Mereka menyusuri lorong gelap itu, kali ini tanpa arah pasti. Di tengah ketegangan, mereka menemukan satu pintu terbuka. Di dalamnya, ada sesuatu yang lebih mengejutkan dari file atau foto:

Seorang siswa. Terikat, lemah, dan tak sadarkan diri.

Odo berlari mendekat. "Ini... Andi?!"

Bhima memeriksa denyut nadi. "Masih hidup. Tapi... kenapa dia di sini?"

Amara mulai menangis pelan. "Kita masuk ke tempat yang bukan cuma rahasia... tapi berbahaya."

Bhima berdiri, menatap pintu di belakang mereka yang perlahan tertutup otomatis.

"Sudah terlambat untuk mundur."

Odo mengguncang tubuh Andi pelan. "Andi! Bangun! Ini gue, Odo!"

Kelopak mata Andi bergerak. Tubuhnya berkeringat dingin, dan napasnya tidak teratur. Perlahan, ia membuka matanya.

"A...pa?" gumamnya, lemah.

Bhima berlutut di samping Odo, mengeluarkan botol air dari tasnya. "Minum dulu. Santai, lu aman sekarang."

Andi menatap mereka dengan mata yang masih setengah sadar. Tapi begitu ia mengenali Bhima, tubuhnya menegang, panik.

"Jangan... Jangan balik ke atas..." katanya terbata-bata. "Mereka... Mereka tahu kalian udah sampai sini..."

Amara menggenggam tangan Andi. "Siapa yang tahu, Andi? Siapa yang naruh lu di sini?"

Andi menggeleng. "Aku gak tahu namanya... Tapi dia pakai topeng. Dia nyebut dirinya... 'Y'."

Bhima langsung menegang.

Odo mengumpat pelan. "Y lagi? Di mana-mana namanya muncul..."

Andi melanjutkan. "Aku dulu ikut dalam program awal SubRosa. Tapi waktu salah satu eksperimen gagal, aku dikorbankan. Dibuang ke sini, dikurung... Biar gak buka suara."

Bhima menatapnya tajam. "Eksperimen apa?"

Andi menelan ludah. "Bikin siswa melampaui batas... lewat rekayasa emosi dan tekanan ekstrem. Tapi... beberapa dari kami kehilangan kendali. Dua siswa hampir mati."

Amara menggeleng tak percaya. "Itu gila..."

Bhima berdiri, wajahnya gelap. "Dan Y ada di balik semua itu... Bahkan mungkin Pak Yoo juga..."

Andi menatap Bhima dengan rasa bersalah. "Gue gak bisa buktiin. Tapi... waktu itu, ada file yang disimpan dengan kode Y2009... dan nama Yoo ada di metadata."

Ruangan itu hening beberapa saat.

Odo menepuk bahu Bhima. "Kita gak bisa tinggal di sini. Kalau mereka tahu kita nemuin Andi, mereka pasti akan—"

Tiba-tiba, terdengar suara mekanis dari kejauhan. Suara pintu terbuka otomatis.

Amara menegang. "Mereka datang..."

Bhima meraih senter dan memberi isyarat. "Kita cari jalan keluar. Andi, kuatkan diri lu. Kita gak akan ninggalin lu lagi."

Mereka bertiga mengangkat tubuh Andi bersama-sama dan melangkah ke lorong lain yang remang.

Dan untuk pertama kalinya, mereka sadar—perang ini bukan lagi antara dua sekolah.

Tapi antara mereka... dan bayangan di balik semuanya.