Bab 11: Nafas yang Tertahan
"Kita nggak bisa lama di sini," gumam Bhima. "Kalau lorong ini tertutup kayak tangga tadi, kita bisa beneran terkubur."
Amara menahan air mata. "Kenapa Andi? Dia bukan siapa-siapa. Dia bukan Pelita atau Dirgantara…"
"Justru karena itu," potong Bhima, dingin. "Dia terlalu mudah dikorbankan."
Mereka berlari menyusuri lorong lain, berharap menemukan celah atau pintu tersembunyi. Amara menatap ke belakang terus-menerus, takut ada yang mengikuti.
Saat mereka menemukan lorong sempit bercabang tiga, Bhima menghentikan langkahnya. "Kiri, kanan, atau tengah?"
Sebelum ada yang menjawab, Andi mengerang pelan. Matanya setengah terbuka. Lirih, ia berbisik, "Tengah... jangan ke kiri…"
Bhima mengangguk cepat. "Dengar dia. Kita ambil tengah."
Langkah mereka menyusuri lorong sempit itu semakin cepat, napas memburu, jantung berlomba. Lorong itu berakhir pada sebuah pintu besi tua. Bhima mencoba membukanya, tapi terkunci.
"Gak mungkin," keluhnya. "Kita buntu."
Odo mendekat dan tanpa sadar menempelkan tangannya pada panel tua di samping pintu. Bunyi klik pelan terdengar.
Pintu terbuka sedikit… cukup untuk dilalui satu orang.
Mereka bertiga mendorong Andi keluar lebih dulu. Cahaya dari luar menyilaukan mata mereka—matahari senja menyambut. Mereka… selamat. Untuk sekarang.
Bhima menatap lorong yang mulai berguncang pelan di belakang. "Tempat ini nyaris jadi kuburan kita."
Odo menutup pintu perlahan. "Tapi sekarang kita tahu satu hal pasti…"
Amara mengangguk, lelah. "Pak Yoo… bukan cuma guru."
Bhima menyipitkan mata. "Dia bagian dari semua ini. Dan kita… baru mulai menyentuh permukaannya
Angin sore menyapu wajah mereka begitu kaki terakhir keluar dari celah pintu besi. Di belakang, pintu itu menutup otomatis dengan suara dentang berat, menandai akhir dari satu perjalanan… dan awal dari kekacauan yang lebih dalam.
Mereka berdiri di tengah area yang tak terduga—sebuah taman tua, terkubur di belakang gedung tua yang sudah tak digunakan sejak beberapa tahun lalu. Rerumputan tinggi dan bangku berlumut mengelilingi mereka. Tempat ini seperti dunia lain, terselip di tengah sekolah yang tampak normal dari luar.
Bhima menarik napas panjang. "Kita butuh tempat aman buat istirahat… dan tanya Andi."
Mereka akhirnya membawa Andi ke ruang bawah perpustakaan Pelita Raya, tempat yang jarang dikunjungi. Lampunya redup, tapi cukup aman.
Setelah diberi air dan beberapa roti kering dari tas Odo, Andi perlahan mulai membaik. Matanya terbuka setengah, tubuhnya gemetar. Tapi kata-kata pertamanya mengejutkan mereka semua:
"Dia tahu..."
Bhima mendekat. "Siapa? Pak Yoo?"
Andi mengangguk lemah. "Aku dengar... percakapan mereka. Ada… eksperimen. Mereka gagal dulu. Tapi sekarang… mereka coba lagi."
Amara berbisik, "Apa hubungannya sama Dirgantara?"
Andi terdiam beberapa detik, sebelum berkata pelan, "Dirgantara… tempat percobaan berikutnya."
Bhima menegang. "Percobaan apa, Andi?"
"Peningkatan siswa. Mereka… nyuntik sesuatu. Proyek 'Elevate'. Tapi ada efek samping…"
Odo menggeleng pelan. "Gila…"
Bhima berdiri, menatap dinding perpustakaan. "Ini bukan cuma soal Pelita dan Dirgantara. Ini soal eksperimen yang disamarkan sebagai sekolah. Dan kita semua—tanpa sadar—adalah bagian dari itu."
Andi menatap Bhima dengan sisa kekuatannya. "Berhentiin mereka. Sebelum… yang lain ikut menghilang."
Bhima mengepalkan tangan. Di luar, langit mulai gelap. Tapi di dalam dirinya, tekad mulai menyala terang.