Retakan yang tak terlihat

Bab 16: Retakan yang Tak Terlihat

Cahaya pagi masuk dari jendela ruang OSIS, tapi suasana di dalamnya tetap suram. Peta, catatan, dan coretan rencana memenuhi dinding. Bhima berdiri di depan semuanya, seperti komandan di ruang perang.

"Fase dua akan kita mulai malam minggu ini," katanya pelan, namun tegas. "Target: Gedung penyimpanan arsip Dirgantara."

Solara bersandar di meja. "Bukan berarti kita perang terbuka kan?"

"Belum," jawab Bhima. "Tapi kita butuh data. Bukti konkret soal eksperimen itu. Dan lokasi itu satu-satunya akses yang bisa kita jangkau."

Odo masuk terlambat. Hoodie masih menutupi kepalanya, mata merah karena begadang. "Lu mau serang Dirgantara? Malam minggu ini?"

"Ini cuma pengambilan data," potong Bhima cepat. "Bukan perang. Dan lu nggak harus ikut kalau nggak mau."

Odo mengernyit. "Lu tahu tempat itu dijaga ketat, kan? Kalau ketahuan—"

"Makanya lu ikut," Bhima menatapnya lurus. "Lu paling jago masuk tanpa ketahuan."

Odo tertawa sinis. "Jadi gua dipanggil cuma karena keahlian gua, bukan karena kita satu tim?"

Semua terdiam.

Solara mencoba mencairkan suasana, "Odo, kita semua penting di sini. Tapi Bhima cuma... terlalu fokus. Lu tahu dia emang begitu."

"Fokus?" Odo melirik Bhima. "Atau terlalu nekat?"

Bhima balas menatap. "Kalau kita cuma nunggu, mereka akan nyerang duluan. Kita nggak bisa terus main aman."

"Dan kita nggak bisa terus ngorbanin orang juga, Bhim."

Bhima tidak menjawab. Tapi tangannya mengepal.

Sementara itu, di Dirgantara...

Azura duduk di lantai ruang latihan, keringat menetes. Tubuhnya gemetar, bukan karena lelah—tapi karena efek yang terus tumbuh dari serum "Elevate."

Altair masuk pelan, membawa minuman. "Lu harus istirahat."

Azura menatapnya. "Mereka bilang... kekuatan ini buat ngelindungi sekolah. Tapi makin hari... gua ngerasa kayak monster."

Altair duduk di sampingnya. "Lu nggak sendiri."

Tapi Azura menunduk. "Bentar lagi kita semua kehilangan kendali. Dan lu tahu siapa yang pertama kali bakal gua serang kalau itu kejadian?"

Altair menatap diam. Tak berani menjawab.

Malamnya, di SubRosa...

Rere mengetuk meja. Joker, Queen, Ace, King—semuanya hadir.

"Gedung arsip Dirgantara. Kita harus yakin semua aman."

Solara membuka gulungan kecil. "Ada celah di sisi timur. Penjagaan minim tiap malam minggu karena... acara OSIS mereka."

Bhima mengangguk. "Itu kesempatan kita."

Odo bersandar, malas. "Dan kalau ternyata jebakan?"

Bhima menatapnya dalam. "Kalau lu takut, gua bisa suruh orang lain."

Dan di situlah retakan itu makin terasa.

Odo menahan diri untuk nggak berkata kasar. Tapi hatinya tahu—suatu saat, ini bakal meledak.

Dan malam minggu itu… bisa jadi awalnya.