Bab 19: Api dalam Bayangan
Pelita Raya dilanda keheningan yang mencekam.
Odo berlari menyusuri lorong sekolah, napasnya berat, matanya liar. Beberapa siswa memandang heran saat dia menabrak meja dan hampir terjatuh. Di tangannya, ponsel dengan satu pesan terakhir dari Amara.
"Aku tunggu di halte, ya."
Pesan itu terkirim tujuh jam lalu.
Dan belum dibaca.
Dia berhenti di depan ruang OSIS. Pintu dibuka paksa. Bhima ada di dalam, sedang memeriksa catatan SubRosa di layar.
Odo tak bicara.
Dia hanya melempar ponselnya ke meja. Bhima menoleh… lalu membaca pesannya.
"Dia hilang," kata Odo pelan. Tapi bukan suara yang lemah. Suaranya... mengancam.
Bhima tidak langsung menjawab. Ia menekan tombol, membuka rekaman CCTV dari halte. Tapi layar hanya menampilkan noise.
"Gue udah bilang." Odo menatap Bhima. "Jangan main-main sama temen gue."
"Gue gak nyuruh siapapun nyentuh Amara," balas Bhima. "Tapi ini... ini bagian dari pergerakan mereka. Fase dua udah dimulai, Odo."
"Jangan alihin."
Odo maju. "Lo tahu dia target. Tapi lo diem. Lo biarin ini terjadi."
Solara dan Rere masuk, mendengar percakapan panas itu.
"Odo..." ujar Solara pelan.
"Lu pikir rencana lu keren, ya?" suara Odo naik. "Lu pikir strategi lu bakal nyelametin semuanya?! Sekarang, Amara diculik!"
Bhima berdiri, menatap Odo langsung.
"Gue tahu risikonya. Gue tahu apa yang bakal mereka lakuin. Tapi kalau gue bilang dari awal, kita gak akan sampai di titik ini. Kita gak akan tahu siapa 'Queen' mereka. Kita gak akan tahu siapa pengkhianatnya."
"Dan seberapa banyak lagi yang harus dikorbanin buat lu puas, ha?!" Odo membentak.
Ruangan hening.
Rere mendekat, menengahi. "Kita bisa berantem nanti. Tapi sekarang, kita harus cari Amara. Sebelum mereka bawa dia ke tempat yang..."
"…gak bisa kita jangkau," lanjut Solara.
Bhima menunduk, lalu mengambil satu kartu dari meja SubRosa.
Kartu 'Queen' — milik Solara.
"Ini bukan cuma simbol," ucap Bhima. "Ini izin untuk mengaktifkan zona lapis bawah. SubRosa sepenuhnya."
Solara menyipitkan mata. "Kau yakin?"
Bhima menatap mereka bertiga.
"Kita sudah terlalu jauh. Sekarang, kita rebut balik Amara... dan hancurin pangkalan mereka."
Di sisi lain...
Amara membuka matanya. Dingin. Lembab. Ia berada di sebuah ruangan beton, lampu temaram menggantung di atasnya. Tangan dan kakinya diborgol ringan, cukup agar bisa bergerak tapi tidak kabur.
Seseorang masuk.
Siluet perempuan, mengenakan jas putih dan masker transparan.
"Amara..." katanya lembut.
Amara terdiam. Suara itu... familiar.
"Aku cuma butuh kamu bicara. Tentang Odo. Tentang Bhima. Tentang SubRosa."
Amara memicingkan mata.
"…Elara?"
"SubRosa sepenuhnya aktif. Semua pemain, bersiap di zona bayangan."
Amara menggeleng pelan. "Kenapa... kamu di sini?"
Wanita bertopeng itu—yang suaranya mirip Elara—mendekat, membiarkan suara sepatunya menggema di lantai. "Kenapa semua orang selalu mengira aku di pihak mereka?"
"Karena kamu—" Amara terdiam. Ada sesuatu yang janggal. Suara ini... terlalu halus. Terlalu ramah untuk Elara yang dingin.
Wanita itu melepas maskernya perlahan.
Dan di baliknya...
Kalista.
Mata Amara melebar. "Tunggu—kamu dari Dirgantara!?"
Kalista menunduk, senyum kecil di bibirnya. "Mereka pikir aku lemah, polos, cuma penggembira. Tapi tahu nggak, Amara? Anak-anak seperti kita... selalu dianggap tak berbahaya. Sampai akhirnya—mereka tahu kita yang nyalain api."
Amara mencoba menarik borgolnya, tapi sia-sia. Kalista duduk di bangku besi di depannya.
"Gue gak mau nyakitin kamu. Tapi gue butuh tahu, apa yang udah Bhima aktifin. SubRosa itu... bukan sekadar proyek OSIS, kan?"
Amara terdiam.
Kalista mendesah. "Baiklah. Kalau kamu gak mau jawab, aku kasih kamu sesuatu untuk dipikirin."
Ia menyalakan tablet kecil dan memutar rekaman suara. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara...
"...Amara bakal jadi umpan. Kita biarin mereka datang sendiri."
Itu... suara Bhima.
Mata Amara membelalak. "Enggak..."
Kalista menatapnya penuh iba. "Kadang, musuh paling besar kita... bukan dari luar. Tapi dari dalam."
Sementara itu, Pelita Fellows mulai bergerak.
Bhima, Solara, Rere, dan Odo memasuki ruang bawah tanah sekolah. Di sana, kartu Queen Solara digunakan untuk membuka akses tersembunyi: tangga melingkar turun ke kedalaman yang bahkan mereka belum pernah jelajahi.
"Zona bayangan…" gumam Rere. "Kita gak pernah sampai sejauh ini."
Bhima mengangguk. "Karena ini wilayah asli SubRosa. Yang asli. Yang gak semua orang tahu."
Solara menyalakan senter. "Berarti sekarang, kita main di level yang mereka buat dari awal?"
Odo menggertakkan gigi. "Bagus. Biar sekalian gue hancurin dari dalam."
Langkah mereka menggema. Pintu baja terbuka perlahan.
Dan di baliknya… layar raksasa, dengan puluhan titik merah bergerak.
Satu titik tengah berkedip. Lokasinya: di luar perimeter sekolah. Di sisi barat kota Mentari.
Bhima mengepalkan tangan. "Kita ketemu dia di sana."
"Dan kalau ini jebakan?" tanya Solara.
Bhima menatap ke depan, mata tajam.
"Berarti… waktunya ngebakar semuanya."