Odo melawan dunia

Bab 24: Odo Melawan Dunia

Hujan turun deras. Langit Mentari menumpahkan amarahnya.

Di bawah cahaya lampu jalan yang redup, Odo berdiri diam di depan sebuah gedung tua—bangunan yang tak tercatat di peta, tak dikenal oleh warga. Tapi jejak Amara ada di sana. Ia merasakannya.

Tanpa ragu, Odo mendorong pintu besi dan masuk. Di dalam, lorong panjang dan remang menyambut. Setiap langkahnya bergema seperti dentang waktu yang menghitung mundur.

Tiba-tiba, suara terdengar dari pengeras suara yang tak terlihat:

"Ace, akhirnya datang juga."

Odo mengepalkan tangan. "Dimana dia!?"

Tak ada jawaban. Hanya pintu yang terbuka otomatis, satu per satu, seolah memandu Odo ke tempat yang seharusnya.

**

Di sisi lain kota, Bhima, Rere, Solara, dan Elara menyusup lewat terowongan bawah tanah, menuju lokasi yang ditandai peta SubRosa. Mereka tak tahu Odo sudah bergerak lebih dulu. Mereka juga belum tahu… bahwa semuanya adalah bagian dari rencana yang lebih besar.

**

Odo tiba di aula besar yang kosong. Di tengah ruangan, sebuah kursi logam. Di sanalah Amara duduk—lemas, tapi hidup. Matanya terbuka perlahan.

"Amara!"

Odo berlari mendekat, tapi suara senapan menghentikannya. Dari bayangan, dua sosok muncul. Jevan dan Azura.

"Langkah selanjutnya, Ace," ucap Azura dengan dingin. "Biar kutanya: apa yang kamu siap korbankan?"

"Semua," jawab Odo tegas.

Azura tertawa. "Itu yang kami tunggu."

Odo mengangkat tangannya. "Kalian mau perang, kan? Kenapa harus pakai Amara? Dia gak ada hubungannya!"

Jevan melangkah maju. "Salah. Dia justru kunci. Dan lu... lu tikus yang nyaris menggagalkan eksperimen kami. Tapi tenang, semua akan kembali seimbang setelah ini."

Tiba-tiba, pintu di belakang mereka meledak.

Bhima masuk duluan, diikuti Solara dan Rere. Elara tetap di belakang, mengamati dalam diam.

Bhima menatap Odo. "Lu gila! Lu nyusul sendirian?"

Odo menatap balik dengan amarah membara. "Lu yang nyusun rencana ini! Lu yang ngorbanin dia buat nyari 'dalang'!"

Bhima menggertakkan gigi. "Itu satu-satunya cara! Kita butuh satu orang buat ditangkap biar mereka muncul—"

"DAN LU PILIH AMARA!?" suara Odo membelah aula.

Amara menatap mereka berdua. Suara lirihnya hampir tak terdengar. "Berhenti…"

Tapi Odo dan Bhima tak berhenti. Kebenaran sudah telanjur pecah.

"Gue percaya lu, Bhim…" suara Odo bergetar. "Tapi lu bukan temen gue lagi."

Odo mengangkat tangan. Kekuatan mulai menyala dari sarung tangannya. Bhima siaga. Ketegangan memuncak.

Tapi sebelum ledakan pertama, suara dari pengeras kembali muncul:

"Sudah cukup. Fase tiga dimulai."

Dari atas, puluhan drone hitam muncul. Mereka bukan dari Dirgantara… atau Pelita.

Mereka dari sesuatu yang lebih besar.

**

To be continued…