Mentari Konflik Season 2
Bab 3: Bayangan di Balik Tirai
Langit kota Mentari mendung sejak pagi. Tapi bukan hanya cuaca yang berubah—suasananya juga. Seolah seluruh kota tahu ada sesuatu yang rusak… dan belum selesai diperbaiki.
Di ruang OSIS Pelita Raya yang kini sunyi, Rere menatap layar dengan raut serius. Video pengawasan dari malam kehancuran SubRosa diputar ulang untuk kesekian kalinya. Ledakan. Jeritan. Siluet drone. Dan sosok bertopeng putih.
"Berapa kali pun dilihat, tetap nggak ada wajah yang bisa diidentifikasi," gumamnya pelan.
Solara duduk di dekat jendela, menatap hujan. "Tapi semua yang dia katakan... seolah dia tahu kita dari awal."
"Elara bilang dia cuma 'pengawas'... tapi pengawas dari siapa?" Bhima masuk, menggenggam file di tangannya. Matanya merah, wajah lelah. Tapi tak ada tanda-tanda dia akan menyerah.
"Ada temuan baru?" tanya Rere.
Bhima mengangguk. "Dua minggu sebelum SubRosa meledak, ada beberapa alat pelacak yang disabotase dari dalam. Dan satu-satunya yang punya akses… ya, kita."
Mereka saling pandang. Sunyi menegang.
"Jangan-jangan…" Solara tak melanjutkan kalimatnya.
**
Sementara itu, di bangunan terbengkalai di luar kota, Odo duduk sendirian. Amara masih belum sadar sejak kejadian itu. Dia membawanya ke tempat paling aman yang dia tahu—jauh dari radar siapa pun.
Tangan Odo menggenggam erat kunci liontin milik Amara. Napasnya berat.
"Kalau Bhima gak maksa kita masuk SubRosa hari itu… lo gak bakal kayak gini." Suaranya nyaris tak terdengar. Marah. Hancur. Tak berdaya.
Tiba-tiba, Amara menggeliat. Matanya membuka sedikit, tubuhnya gemetar.
Odo langsung menghampiri. "Amara! Hei, denger gue? Lo aman sekarang, gue jagain lo."
Amara menatap Odo lemah, lalu berkata pelan, "Mereka… masih… cari kita…"
Dan seketika, alarm di gelang Odo berbunyi. Lokasi mereka terdeteksi. Seseorang sedang menuju ke arah mereka. Cepat.
Odo menggertakkan gigi. "Lo belum pulih. Tapi kita gak bisa tinggal di sini."
Dia menggendong Amara dan bersiap lari, sementara dari kejauhan, bayangan seseorang muncul. Satu mata bersinar merah dari balik kegelapan.
**
Di tempat lain, Elara berdiri di rooftop sekolah, rambutnya basah terkena hujan. Di tangannya, ada pesan anonim yang baru saja masuk.
"Satu langkah lagi. Dan semua topeng akan jatuh. Solara adalah kunci. Waspadalah, Joker."
Elara mengepalkan tangan.
"Mereka mulai bergerak."
Langkah kaki menghantam genangan air. Suara sepatu beradu dengan tanah basah menggema di lorong-lorong beton terbengkalai.
Odo menahan napas, menuruni tangga darurat dengan Amara di gendongannya. Nafasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena panik.
Sensor di gelangnya terus berkedip merah. Musuh sudah dekat. Terlalu dekat.
"Gue benci ngejar waktu…" gumamnya, berusaha menenangkan diri.
Tiba-tiba, sebuah pisau terlempar dan menancap di dinding di samping kepalanya. Odo langsung menoleh.
Sosok berhoodie gelap muncul dari bayang-bayang. Langkahnya pelan, tenang, tapi tekanan auranya jelas—berbahaya.
"Lo... pelindungnya ya?" suara itu berat dan datar. "Lucu. Harusnya dia udah mati."
Odo mendesis. "Gue gak tahu lo siapa, tapi lo gak bakal bawa dia."
Sosok itu tertawa kecil. "Gue gak butuh bawa dia. Gue cuma perlu ngeliat… siapa yang bakal mati duluan."
Dalam sekejap, dia menghilang dari pandangan. Muncul tepat di depan Odo, pukulan terayun.
Odo menangkis sambil membalik badan, menutupi Amara dengan tubuhnya.
Benturan membuatnya mundur beberapa langkah. Lawannya cepat. Terlalu cepat.
"Amara… lo harus bangun sekarang," bisik Odo, terengah.
Tapi Amara masih lemah.
Sosok itu kembali menyerang. Odo bertarung sambil terus menjaga posisi Amara. Dia tak bisa balas dengan penuh. Dan satu hantaman keras berhasil membuatnya terlempar ke tumpukan besi tua.
Amara terjatuh dari pelukannya. Tubuhnya berguling pelan.
"Odo…" gumamnya lirih.
Musuh itu mendekat pada Amara. "Sudah kuduga. Dia belum sepenuhnya aktif."
Odo berusaha bangkit, darah menetes dari pelipisnya. Tapi saat itu juga…
BOOM!
Sebuah ledakan kecil di samping musuh itu membuatnya mundur.
Siluet seseorang muncul dari asap—Bhima.
"Lo berani sentuh anggota Pelita lagi, gue bakar lo hidup-hidup," kata Bhima datar, aura panas mengelilinginya.
Odo tersenyum lemah. "Lo selalu datang pas detik terakhir ya…"
Bhima mengangguk pelan. "Kayak film action. Tapi versi murah."
**
Beberapa menit kemudian, musuh itu mundur setelah merasa misinya gagal. Amara dibawa ke tempat aman. Dan untuk pertama kalinya sejak SubRosa runtuh, Bhima dan Odo duduk di tempat yang sama—tanpa bertengkar.
"Kita gak bisa terus diburu kayak gini," kata Bhima.
Odo menatap Amara. "Iya. Kita harus cari tahu siapa yang mulai semua ini. Dan siapa yang selanjutnya bakal jatuh."
**
Dan di kejauhan, dari atas sebuah gedung pencakar langit…
Sosok bertopeng putih kembali menonton mereka dari layar hologram. Di sampingnya berdiri seseorang dengan wajah familiar—Altair.
"Fase dua akan segera dimulai," kata sang bertopeng.
Altair hanya diam, tapi matanya… tak lagi sepolos dulu.