Jebakan Dua Arah

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 4: Jebakan Dua Arah

Langit Kota Mentari masih muram, seakan ikut menyembunyikan rahasia yang terus menumpuk. Di Pelita Raya, suasana tegang makin terasa. Bukan karena Dirgantara, tapi karena… mereka sendiri.

Odo duduk di atap gedung belakang sekolah. Pandangannya kosong menatap awan gelap. Tangannya mengepal—bukan karena marah, tapi karena kecewa. Ia masih mengingat kata-kata Bhima di reruntuhan itu.

"Itu satu-satunya cara."

Satu-satunya cara? Mengorbankan Amara?

Langkah kaki menghentikan lamunannya. Solara muncul, duduk tanpa banyak bicara.

"Lo nunggu Bhima?" tanyanya, menatap lurus ke depan.

"Enggak. Gue nunggu logika gue balik," balas Odo datar.

Solara tertawa kecil, lalu mendadak serius. "Kita bakal dijebak."

Odo menoleh. "Hah?"

Solara mengangguk. "Gue denger dari Alyssa. Raka nawarin negosiasi damai. Tapi anehnya… tempat ketemuan yang dipilih itu… markas bawah tanah yang pernah dipakai SubRosa."

Odo langsung berdiri. "Gila. Itu perangkap."

Solara ikut bangkit. "Parahnya lagi, Bhima udah setuju."

**

Sementara itu, di sisi lain kota, Bhima berjalan sendirian menuju lokasi pertemuan. Tak ada satu pun Pelita Fellows yang ikut. Ia tahu ini gila, tapi ia juga tahu—dirinya bukan lagi Bhima yang dulu.

Dari bayang-bayang, seseorang mengamati langkah Bhima. Matanya tajam, tapi ekspresinya datar. Orang itu mengaktifkan komunikasi.

"Target bergerak. Siapkan rute kedua. Jebakan dua arah dimulai."

**

Di dalam Pelita Raya, Rere menggenggam layar tabletnya kuat-kuat. "Dia pikir dia bisa selesaikan ini sendiri?"

"Siapa?" tanya Armand yang baru masuk ruangan.

"Bhima. Dan gue rasa… Dirgantara bukan satu-satunya masalah kita sekarang."

**

Kembali ke atap, Odo menarik napas panjang.

"Gue gak akan diam. Kalau dia masuk ke perangkap, gue siap nerobos buat nyelametin dia."

Solara mengangkat alis. "Lo masih peduli?"

Odo diam sejenak. "Bukan karena dia temen… tapi karena ini belum saatnya gue ninggalin dia."

**

Di layar hitam sebuah ruangan gelap, seseorang menyeringai melihat dua titik yang bergerak menuju satu titik yang sama.

"Biar mereka pikir ini cuma tentang Dirgantara dan Pelita. Kita sudah mulai… bab baru"