Langkah yang Terlambat

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 5: Langkah yang Terlambat

Ruangan itu sunyi. Suara langkah Bhima memantul di dinding-dinding beton markas bawah tanah yang pernah digunakan SubRosa. Cahaya remang dari lampu neon tua membuat suasana makin mencekam.

Ia berhenti di tengah ruangan kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Raka. Tidak ada negosiasi. Hanya…

Kekosongan yang terasa seperti mata yang mengintai dari segala arah.

"Terlalu hening…" gumam Bhima.

Tiba-tiba—klik. Pintu besi di belakangnya tertutup rapat. Suara logam terkunci bergema.

"Selamat datang, Bhima."

Suara itu keluar dari speaker kecil di atasnya. Datar. Tenang. Namun menusuk.

Bhima memutar badannya. Matanya menajam. "Siapa lo?"

"Anggap aja… suara dari balik papan catur."

**

Di permukaan, Odo dan Solara bergerak cepat. Mereka sudah tahu posisi koordinat tempat Bhima pergi. Tapi jalan utama ditutup dengan barikade logam. Ini bukan sabotase kecil-kecilan. Ini… rencana besar.

Solara memukul tembok. "Kita harus cari jalur alternatif!"

Odo menggertakkan gigi, lalu menoleh. "Kita lewat terowongan lama. Jalur darurat buat evakuasi markas SubRosa. Tapi… ada resikonya."

Solara nyengir. "Yang penting sampai."

**

Di dalam markas, Bhima mulai berjalan pelan. Dinding-dinding mulai berubah, layar-layar menyala di sepanjang lorong, menampilkan rekaman: Pelita, Dirgantara, bahkan SubRosa. Semua terekam. Bahkan… wajah Amara saat diculik.

Matanya menyala.

"Kalian ngelakuin semua ini… siapa kalian sebenarnya?"

Layar terakhir menyala—menampilkan siluet seseorang bertopeng, berdiri di atas reruntuhan gedung.

"Kami… hanya bayangan dari masa lalu kalian."

**

Di tengah lorong bawah tanah, Odo dan Solara meluncur cepat. Namun suara aneh mulai terdengar—getaran mekanik.

"Tunggu, lo denger itu?" tanya Solara.

Odo mengangguk. Tapi sebelum mereka bisa bertindak lebih jauh—lantai di depan mereka runtuh. Solara terhenti tepat di tepi, Odo… jatuh ke bawah.

"Odo!!"

**

Odo mendarat keras, tapi cukup stabil. Ia menggeliat, menatap sekeliling—gelap dan sempit. Namun suara berat bergema dari lorong gelap di depannya.

"Datang sendirian lagi, ya?"

Langkah kaki berat menyambutnya. Sosok bertopeng muncul dari bayangan. Kali ini, tidak ada gangguan. Tidak ada bantuan.

Odo berdiri pelan, menepuk debu dari bajunya. Pandangannya tajam.

"Gue juga pengen tahu seberapa kuat gue… kalau semua yang biasa gue andelin gak ada."

**

Siluet bertopeng itu menurunkan kapuconya sedikit, memperlihatkan rambut peraknya. Matanya menajam.

"Gue juga pengen tahu… apakah lo pantas dianggap ancaman."

Tanpa aba-aba, pertarungan dimulai.