Mentari Konflik – Volume 2
Bab 6: Sekali Lagi, Sendirian
Langkah kaki bergema pelan di lorong bawah tanah yang lembap. Odo berdiri tenang, kedua tangannya terangkat dalam posisi siap tempur. Di depannya, pria bertopeng itu melangkah perlahan, aura tekanan dari tubuhnya menebar seperti kabut dingin.
"Nama lo siapa?" tanya Odo tanpa melepaskan fokus.
"Enggak penting," jawab sosok itu. "Lo gak butuh tahu nama orang yang bakal bikin lo nyungsep."
Odo menyeringai tipis. "Oke. Jadi lo tipe yang suka bikin opening keren dulu baru kalah."
Tanpa aba-aba, sosok bertopeng itu melesat. Gerakannya cepat, hampir seperti bayangan. Tinju pertamanya meluncur ke arah kepala Odo—yang nyaris terlambat menghindar.
DUG!
Satu pukulan menghantam perut Odo. Ia mundur dua langkah, kaget. Itu… sakit.
"Lo bukan orang sembarangan…" gumamnya.
"Udah dibilang," kata si bertopeng. "Ini bukan panggung buat becanda, Odo."
Odo menarik napas. Wajahnya perlahan berubah. Candaan lenyap. Digantikan ekspresi dingin dan fokus. Ia membuang jaket luarnya, kini hanya mengenakan seragam dalam Pelita yang sudah robek di beberapa bagian.
"Kalau gitu, gue juga gak bakal becanda."
Mereka bertabrakan lagi. Tinju bertemu tinju, tendangan dibalas elakan, lalu tebasan cepat dari sosok bertopeng yang ternyata juga ahli dalam bela diri bersenjata pendek. Odo nyaris tertusuk—berhasil menepis dengan lututnya.
ZRAK!
Bahunya tergores.
"Tch…" Odo mundur.
"Kenapa gak kabur aja? Gak ada yang bakal nyalahin lo," ejek si bertopeng.
Odo mengusap luka di bahunya, lalu menatap lurus. "Karena ini… momen buat gue buktiin. Gue gak cuma tukang becanda yang selalu dilindungi temen-temen gue."
**
Di tempat lain, Bhima masih terjebak dalam markas bawah tanah. Tapi kini, ia duduk bersila. Bukannya panik, ia justru memejamkan mata—merenungi kata-kata musuh tadi.
"Bayangan dari masa lalu…"
Bhima membuka mata. "Kau salah satu dari kami, ya?"
**
Kembali ke pertarungan.
Odo mulai berubah. Ia tidak banyak bergerak, hanya menunggu. Mengamati. Setiap pukulan musuh kini tak secepat tadi, karena Odo mulai membaca pola. Dan saat lawannya sedikit saja lengah—
DUARR!
Satu tendangan lutut menghantam dagu si bertopeng.
Dia terlempar mundur, menghantam dinding. Tapi masih berdiri.
"Gila… lo emang gak cuma tukang lawak."
Odo menghela napas, peluh menetes. Tapi ia tersenyum. "Gue belajar banyak dari pertarungan pertama kita."
"Sayang, ini bukan yang terakhir."
**
Sosok bertopeng itu berdiri sambil mengusap darah di sudut bibirnya. "Lo tahu, Odo… dari semua anak Pelita, lo yang paling gue pengen hajar."
"Kenapa?" tanya Odo tenang, meski napasnya mulai berat.
"Karena lo ngingetin gue… sama seseorang yang pernah ninggalin gue sendirian. Sama-sama lucu, sok perhatian, tapi waktu krusial—ilang. Pengecut."
Odo terdiam. Ia melihat lebih dalam ke mata di balik topeng itu. Ada dendam. Ada luka. Tapi bukan untuk Odo… lebih seperti ditujukan pada bayang-bayang seseorang di masa lalu.
"Aku bukan dia," ujar Odo pelan. "Tapi kalau lo butuh seseorang buat lo kalahin demi ngelepasin itu semua, silakan."
"Jangan sok heroik."
"Gak sok. Tapi gue gak akan kalah."
Keduanya kembali bergerak. Pertarungan makin sengit. Tidak ada hentakan besar, tidak ada jurus spesial megah. Hanya dua petarung, mengandalkan teknik dan insting. Setiap gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Odo sempat terpeleset—dan satu tendangan menghantam rusuknya. Ia terbanting ke lantai, terbatuk darah.
"Huff…" Ia bangkit perlahan. "Ini menyakitkan ya… ternyata."
"Kalah itu menyakitkan," kata sosok bertopeng. "Makanya jangan gampang percaya orang. Jangan bertarung buat orang lain."
Odo terdiam. Lalu tersenyum lemah.
"Gue gak bertarung buat orang lain. Gue bertarung… buat diri gue sendiri. Buat semua yang gue yakini."
Dan saat si bertopeng melompat, mengayunkan serangan terakhir—
BRAK!
Odo berputar dan mendaratkan pukulan uppercut ke perut lawan.
DUARR!
Sosok bertopeng terangkat ke udara, lalu jatuh telentang. Ia tak bangun lagi. Napasnya terengah. Tapi tidak ada luka fatal. Odo menahan diri.
Dengan tubuh lelah, Odo berjalan mendekat. Ia jongkok di sisi musuhnya.
"Gue gak tahu siapa yang lo benci. Tapi lo bisa cerita, kalau lo mau."
Senyap. Lalu si bertopeng tertawa pelan.
"Gue rasa… lo bukan orang yang salah."
"Memang bukan."
Setelah itu, sosok bertopeng itu tak sadarkan diri. Odo duduk di lantai, menatap langit-langit yang mulai retak karena ledakan di area lain. Ia menyandarkan punggung ke dinding, menutup matanya sebentar.
"Sendirian… tapi gue bisa," gumamnya.