Mentari Konflik – Volume 2
Bab 7: Harga dari Sebuah Kemenangan
Langkah-langkah tergesa terdengar di lorong yang berantakan. Bau asap dan listrik terbakar menguar dari celah-celah tembok. Bhima muncul pertama kali, diikuti Solara dan Amara. Ketiganya terdiam saat menemukan Odo duduk bersandar di dinding, dengan luka di pelipis dan bekas darah di sudut bibirnya.
"Odo!" Amara langsung berlari, tapi Bhima menahannya.
"Pelan," ucap Bhima. "Dia masih sadar."
Odo membuka mata, tersenyum samar. "Kalian datang telat."
"Ya, karena kamu lari duluan, goblok," sahut Solara sambil menghela napas. "Lain kali, tunggu backup."
"Gue gak nunggu siapa-siapa," kata Odo pelan, tapi senyum di wajahnya tidak hilang. "Gue menang."
Bhima mendekat, memeriksa tubuh si bertopeng yang tergeletak di lantai. "Siapa dia?"
"Gak tahu," jawab Odo. "Tapi dia kuat. Dan penuh dendam."
Bhima menatap Odo lama. Ia tak bicara, hanya mengangguk pelan. Tak ada pujian, tapi dari Bhima, diamnya sudah cukup sebagai pengakuan.
"Gue bawa dia keluar dulu," kata Solara sambil mengangkat salah satu tangan Odo ke pundaknya. "Sebelum kamu beneran mati di sini."
"Sol, itu romantis banget loh," celetuk Odo.
Solara nyengir. "Gue lempar ke lubang got juga bisa, kalo mau."
**
Di tempat lain, Aidan sedang berdiri di depan salah satu ruang bawah tanah tersembunyi. Di hadapannya, seseorang berjas putih sedang duduk di kursi—mengenakan kacamata dan mencatat sesuatu di buku catatan.
"Jadi," ujar Aidan pelan, "Odo menang?"
"Iya," kata pria berkacamata itu. "Sendirian."
"Hebat juga bocah itu," gumam Aidan.
"Semakin cepat dia tumbuh… semakin cepat kita bisa memulai fase dua."
Aidan menyipitkan mata. "Sudah waktunya, ya?"
"Sabar. Tinggal tunggu satu potongan lagi."
Lalu pria itu menutup bukunya, dan menatap Aidan tajam.
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan kalau dia mulai terlalu jauh dari kendali."
Aidan tersenyum kecil, dan membalikkan badan.
"Tentu."