Luka yang Tak Terlihat

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 8: Luka yang Tak Terlihat

Suasana ruang kesehatan Pelita Raya hening. Odo duduk di ranjang sambil memainkan sendok plastik di tangannya. Luka di pelipisnya sudah ditambal, tapi rasa ngilu di badannya belum sepenuhnya hilang.

"Gak bisa diem, ya?" suara Bhima memecah keheningan saat ia masuk dengan membawa dua botol minuman isotonik.

Odo nyengir. "Biasanya dikasih bunga, bukan elektrolit."

Bhima duduk di kursi sebelah ranjang. "Bunga buat yang pingsan. Lo menang."

"Menang, tapi hampir tewas juga." Odo meneguk minumannya. "Orang itu… kayak tau cara gue bertarung. Seolah dia udah siap dari awal."

"Makanya, mulai sekarang, kita siapin strategi. Jangan ngandelin refleks dan gaya lucu lo doang," ujar Bhima, menatap lurus ke depan. "Kita gak bisa terus-terusan reaktif."

"Lo bilang gitu seakan lo bukan manusia reaktif," sindir Odo.

Bhima tak membalas, tapi ekspresi wajahnya menegang.

**

Sementara itu, di luar ruangan, Solara sedang duduk di bangku bersama Amara, Armand, dan Ryan. Ketiganya mendengarkan Rere berbicara lewat tablet—rapat darurat OSIS SubRosa.

"Serangan tadi bukan sembarang gangguan. Ini ancaman langsung ke Pelita Fellows," kata Rere. "Kita gak bisa anggap enteng lagi. Apapun yang dimulai di Dirgantara, sekarang udah sampai ke akar kita."

"Kita harus cari siapa dalangnya," ucap Solara. "Dan kita butuh Elara."

"Dia masih belum balas pesan," gumam Rere. "Kalau dia tetap diem, kita akan cari info lewat cara lain."

"Gue bisa bantu," kata Amara pelan.

"Lu? Mau cosplay jadi detektif?" canda Ryan.

"Tentu," sahut Amara dengan mata berbinar. "Detektif Amara siap beraksi!"

Armand mendesah. "Ini bukan waktunya bercanda, Ryan."

Ryan terdiam sejenak, lalu mengangkat tangan seperti sedang bersumpah. "Maaf. Saya akan serius. Demi Amara."

Solara hampir tersedak tawa. "Lo gombal mulu, nanti digoreng sama Bhima."

**

Sementara itu, di tempat berbeda, Kevin dan Alina berdiri menghadap papan catur raksasa digital di markas DopaTopa.

"Pelita mulai bergerak," kata Alina.

Kevin mengangguk pelan. "Kita juga harus siap. Ada sesuatu yang dikunci Pak Yoo selama ini, dan gue rasa waktunya udah deket."

"Lo percaya sama ramalan Raka?" tanya Alina.

"Bukan soal percaya atau nggak," jawab Kevin, lalu menatap layar hologram yang menampilkan wajah-wajah Pelita Fellows. "Tapi kita nggak akan menang kalau cuma duduk diam. Kali ini… Dirgantara juga bakal bergerak lebih dulu."