Mentari Konflik – Volume 2
Bab 10: Konvergensi
Keringat mengucur dari pelipis Ryan. Mereka sudah berlari jauh menyusuri gang belakang gedung tua. Amara masih di depan, membawa senter kecil yang remang. Lorong semakin sempit, lalu terbuka ke ruang kosong bawah tanah.
"Ini… markas rahasia?" Ryan berbisik.
"Markas bayangan," jawab Amara. "Mereka udah nyiapin ini lama."
Senter menyorot dinding—ada simbol yang tercoret kasar: ∆K.
Ryan menelan ludah. "Apa itu?"
Amara diam sejenak. "Kayaknya kita udah terlalu dalam, Ry."
**
Di Pelita Raya, Odo baru kembali dari patroli malam. Ia duduk sendiri di balkon kamar, menatap langit yang kosong. Angin malam menerpa wajahnya—tapi pikirannya jauh lebih dingin.
"Kau kehilangan kendali saat itu," suara Elara terdengar dari balik pintu. Ia berdiri bersandar di kusen, seperti bayangan.
Odo tidak menoleh. "Aku tahu."
"Kau nyaris membunuhnya."
"Aku tahu."
Hening. Elara melangkah masuk, duduk di sandaran jendela.
"Konvergensi," katanya tiba-tiba.
Odo menoleh. "Kau juga dengar?"
"Aku mendengar dari banyak sumber. Seseorang sedang menyatukan kekuatan lama yang terlupakan. Dirgantara bukan satu-satunya yang bergerak."
Odo memejamkan mata. "Kalau itu benar…"
"Kau akan mati kalau sendirian," potong Elara.
"…Aku tetap akan hadapi."
Elara berdiri, memandang langit. "Kalau kau jatuh, semua runtuh. Termasuk aku."
**
Di sisi lain kota, Bhima, Solara, dan Armand berada di ruang briefing SubRosa. Data berserakan, dan layar memperlihatkan foto-foto kabur dari kamera jalanan: sosok bertopeng muncul di beberapa tempat berbeda—di waktu yang sama.
"Dia kloning?" tanya Solara.
"Bisa jadi hologram," gumam Bhima. "Atau—"
"—bukan satu orang," potong Armand. "Ada beberapa yang menyamar jadi dia."
Bhima menatap layar. "Konvergensi."
"Apa itu?" Solara menoleh.
"Kode. Dulu pernah dipakai oleh kelompok eksperimen yang dilarang pemerintah. Mereka mencoba menggabungkan kekuatan dari berbagai sumber ke satu tubuh."
Armand mencibir. "Kayak main Tuhan."
Bhima menatap rekaman. "Mereka gagal. Tapi kalau sekarang mereka mencoba lagi… berarti kita bukan hanya hadapi musuh kuat."
"Kita hadapi sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya," kata Solara.
**
Sementara itu, di lorong bawah tanah, Ryan dan Amara membuka pintu berkarat. Di dalam, mereka menemukan puluhan kapsul kaca berjajar rapi—masing-masing berisi… manusia.
Beberapa masih hidup, sebagian tak bergerak.
"Eksperimen…" bisik Amara.
Tiba-tiba pintu di belakang menutup sendiri. Lampu menyala. Suara tawa bergema dari speaker.
"Selamat datang, pion kecil," suara berat dan serak terdengar. "Kalian saksi pertama dari apa yang disebut… Konvergensi."
**
Ryan menelan ludah. Suaranya tercekat, sementara Amara dengan cepat menariknya mundur, menempel ke dinding kapsul paling pinggir. Matanya liar memindai setiap sudut ruangan.
"Siapa kamu?!" bentak Amara.
Suara berat itu tertawa pelan. "Aku hanya bayangan dari mereka yang sudah dilupakan. Tapi kalian, dua siswa kecil dengan rasa ingin tahu berlebihan, baru saja melangkah ke wilayah yang bahkan guru kalian tak berani sentuh."
Salah satu kapsul di tengah mulai menyala. Cairan di dalamnya bergelembung hebat, dan tubuh manusia di dalamnya mulai menggeliat.
"A-Amara… dia gerak…"
"Aku lihat, diam dulu, Ry."
Layar di dinding menyala, memperlihatkan wajah kabur dari seseorang bertopeng. Tapi suaranya tak asing. Ryan menegang, seperti mengenali potongannya—meski samar.
"Eksperimen ini belum sempurna. Tapi semakin banyak bahan mentah seperti kalian… semakin dekat kami dengan keberhasilan."
Amara menggertakkan giginya. "Kau pakai orang-orang ini buat mainan?!"
"Manusia itu lemah. Tapi kekuatan? Kekuatan bisa dibentuk. Disatukan. Dikendalikan."
Tiba-tiba salah satu kapsul meledak.
Air menyembur. Tubuh yang tadinya diam jatuh ke lantai dengan dentuman keras—kemudian berdiri. Matanya kosong. Tapi tubuhnya… terlalu familiar.
Ryan terengah. "Itu… bukan… Aidan?!"
Amara menatap lebih dalam. Sosok itu memang mirip Aidan, tapi lebih pucat, lebih gelap, dan mata kirinya menyala merah.
"Bukan. Itu tiruan."
Sosok itu melangkah maju. Robotik. Tak manusiawi.
Lalu suara dari speaker terdengar lagi, lebih dekat.
"Selamat datang di awal konvergensi. Dan kalian berdua… adalah bahan uji berikutnya."
Amara langsung menarik Ryan dan kabur ke pintu. Tapi sebelum sempat menekan tombol pembuka, pintu tertutup sepenuhnya. Terkunci.
"T-Terjebak!" Ryan panik.
Sosok mirip Aidan melompat ke arah mereka.
Amara melompat ke kiri, Ryan jatuh ke kanan. Senter terguling. Gelap.
Suara langkah dan napas berat memenuhi ruang.
Dalam kegelapan itu, Amara berbisik, "Ry, dengar aku. Pegang apa pun yang bisa kau lempar. Kita lawan ini bareng. Nggak bakal mati konyol."
"…Oke."
Sosok itu berlari lagi.
Dan perlawanan dimulai.