Mentari Konflik Volume 2
Bab 11: Musuh yang Tak Terlihat
Hutan di pinggiran Kota Mentari bukan tempat yang biasa mereka datangi. Tapi di sanalah mereka sekarang—bersembunyi, mengintai, menyusun rencana.
"Sudah kupastikan," kata Elara sambil mengusap tanah yang basah. "Mereka sedang membangun sesuatu di bawah tanah ini. Tapi bukan Dirgantara."
Bhima mengernyit. "Kalau bukan Dirgantara… siapa?"
Tak ada yang menjawab.
Solara duduk di akar pohon besar sambil mengawasi perimeter. "Kita udah habisin semua energi buat ngelawan mereka, tapi ternyata masih ada pihak lain yang main di belakang layar. Gila…"
Odo berdiri agak jauh, matanya tak berkedip menatap sebuah gua kecil yang nyaris tertutup akar dan semak-semak. Ia bisa merasakan sesuatu. Ada… aura.
"Gue masuk duluan," katanya pendek.
"Jangan gegabah, Odo," tegur Rere. "Kita belum tahu—"
Tapi Odo sudah melangkah.
**
Gua itu gelap. Tapi tidak sunyi.
Ada suara… bisikan. Bukan dari orang. Tapi dari pikirannya sendiri. Atau sesuatu yang mencoba masuk ke sana.
"Kau… akhirnya datang…"
Odo terdiam. Matanya menajam. Ia bisa merasakan tekanan—tidak seperti biasanya. Bukan tekanan fisik. Tapi seperti… dilihat. Disaring. Diuji.
Lalu dari kegelapan, muncul sosok mengenakan jubah hitam. Wajahnya tertutup masker putih. Bukan orang bertopeng yang sama seperti di SubRosa—tapi aura mereka mirip.
"Selamat datang, 'Ace'. Apa kau siap menghadapi dirimu sendiri?"
**
Sementara itu, di luar gua, Bhima merasakan tanah bergetar. "Rere, kau merasakannya?"
"Ya. Getaran ini... bukan dari dalam. Tapi dari sekitar kita."
Lalu mereka melihatnya—bayangan-bayangan tanpa wujud pasti, menyelinap di antara pepohonan. Cepat. Diam. Tapi mereka ada.
"Musuh tak terlihat," gumam Elara. "Dan Odo sendirian di dalam…"
**
Di dalam gua, sosok bertopeng berdiri di depan Odo. "Kau kuat. Tapi kekuatan bukan penentu segalanya."
Lalu... dari bayangannya sendiri, muncul sosok lain—Odo versi gelap. Mata merah. Senyum bengis.
"Kalau kau tak bisa kalahkan dirimu sendiri… bagaimana bisa kau kalahkan kami?"
Odo mengepalkan tangan. Nafasnya berat.
"Aku… gak perlu jadi sempurna. Aku cuma perlu bertahan."
Dua Odo bertarung di antara bisikan dan bayangan. Sementara dari luar, suara-suara mulai merasuk ke kepala yang lain.
Pertarungan ini… bukan soal fisik. Tapi soal kendali.