Bab 13 - Season 2: Mentari
Bab 13: Bayangan yang Mengintai
Langit Mentari masih berawan. Suasana sekolah Pelita Raya lebih sepi dari biasanya, tapi bukan karena libur. Semua siswa tahu... setelah kejadian SubRosa, dunia mereka tidak lagi sama.
Odo duduk di balkon lantai tiga, memandangi halaman bawah. Sisa-sisa luka di pipinya belum hilang, tapi itu bukan yang mengganggunya.
"Aku tahu kau di sana," katanya, tanpa menoleh.
Suara langkah mendekat. Bhima muncul dari balik pintu, berdiri diam di sampingnya.
"Kau masih belum bisa tidur juga?"
Odo mengangguk pelan. "Setiap kali merem, aku ngelihat topeng itu lagi."
Bhima bersandar di dinding. "Kita gak bisa tenang sebelum tahu siapa dia sebenarnya."
Odo mendesah. "Dan kenapa mereka milih kita... kayak kita ini eksperimen."
**
Sementara itu, di ruang rapat bawah tanah yang tersembunyi, Elara, Rere, dan Solara duduk mengelilingi layar besar. Data dari sistem SubRosa V.2 masih mereka telusuri.
"Elara," kata Rere, nada suaranya serius. "Ada pola dalam pemilihan kandidat. Semua yang diincar... punya koneksi dengan insiden Mentari lama."
Solara melirik cepat. "Maksudmu, kasus yang ditutup-tutupi itu?"
Elara mengangguk. "Dan aku rasa... orang bertopeng itu bukan satu-satunya."
Mereka semua terdiam. Dunia mereka bukan hanya medan pertempuran, tapi teka-teki penuh rahasia yang semakin menjerat.
**
Di tempat lain, di ruang latihan Dirgantara yang baru direkonstruksi, Raka dan Alina menyusun rencana. Mereka telah kehilangan banyak—anggota, kepercayaan, bahkan kendali.
"Kalau Pelita mulai bergerak lagi, kita gak bisa cuma nunggu," kata Alina.
Raka mengangguk. "Tapi bukan frontal. Kita harus cari tahu siapa yang main di balik layar. Kita bukan musuh mereka. Musuh kita... yang ngatur semua dari belakang."
Alina melemparkan foto hasil pengintaian: seorang pria tua duduk di kursi roda, dikelilingi layar hologram dan rekaman siswa-siswa Pelita dan Dirgantara.
"Dia?" gumam Raka.
"Dia yang nyuruh SubRosa aktif. Tapi yang pegang kendali penuh... tetap si Topeng."
**
Malamnya, Odo terbangun karena mimpi buruk. Tapi kali ini, mimpi itu... terasa nyata.
Di lorong kamarnya, terdengar suara langkah. Pelan. Teratur.
Ia membuka pintu—dan tak ada siapa-siapa.
Tapi di tembok, ada coretan baru dengan darah:
"Babak berikutnya dimulai. Siap atau tidak."
Odo mundur pelan. Lalu matanya melebar.
Seseorang berdiri di ujung lorong. Memakai topeng putih. Kali ini... lebih dekat dari sebelumnya.