Bayangan yang Tak Diam

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 14: Bayangan yang Tak Diam

Odo berdiri di atap Pelita Raya saat malam mulai menyelimuti langit. Angin dingin menusuk tulang, tapi pikirannya jauh lebih membeku. Tatapan kosongnya mengarah pada lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan, namun pikirannya jauh—tersesat dalam kenangan dan kekhawatiran.

Suara langkah pelan mendekat. Bhima.

"Masih mikirin soal pesan itu?" tanyanya tanpa basa-basi.

Odo tak menjawab. Tangannya masih memegang kertas kecil yang ditemukan di meja tidurnya pagi tadi. Tidak ada yang tahu siapa yang menaruhnya. Hanya satu kalimat di situ, ditulis dengan tinta hitam pekat:

"Kau hanya bidak, Ace."

Bhima mendesah. "Kita butuh strategi. Kalau mereka tahu semua pergerakan kita, berarti ada yang bocor. Entah dari Dirgantara... atau dari kita sendiri."

"Aku tahu," jawab Odo lirih. "Tapi kalau mereka bisa masuk ke kamarku... berarti mereka tahu lebih dari yang kita kira."

Diam sesaat. Hanya suara angin yang menjawab mereka.

"Aku pernah kayak lo," kata Bhima tiba-tiba. "Ngerasa kayak gak bisa percaya siapa pun. Kayak semua mata ngeliatin, tapi lo sendirian."

Odo menatap Bhima. "Apa yang lo lakuin?"

Bhima menyeringai tipis. "Gue sikat satu-satu sampe nemu jawabannya."

Mereka tertawa kecil. Tapi tawa itu cepat menghilang saat Bhima mengangkat sesuatu dari sakunya—potongan kecil pelat logam, hitam, dengan ukiran aneh yang tak dikenal. "Gue nemu ini di lorong bawah Pelita. Tempat yang seharusnya udah ditutup. Tapi... kayaknya gak pernah beneran ditutup."

Odo menatapnya dengan tajam. "Kau mau ke sana?"

"Gak. Kita yang harus ke sana."

**

Sementara itu, di sisi lain kota, seseorang sedang memperhatikan mereka dari monitor gelap. Jari-jarinya mengetik sesuatu dengan cepat.

TARGET: ACE

STATUS: TERPANTAU

FASE 2: AKTIF

Sosok bertopeng putih menyeringai. "Sudah waktunya kau tumbuh... atau tenggelam."

**

Di hari berikutnya, suasana Pelita mulai berubah. Para siswa dibayangi kecemasan. Sebagian mulai kehilangan kepercayaan pada lingkungan. Guru-guru menghindari pertanyaan. Seolah mereka tahu, tapi tak bisa bicara.

Solara menatap Elara dengan ragu. "Kau yakin kita nggak salah langkah?"

Elara menatap lurus. "Kita tidak melangkah. Kita dipaksa berjalan."

Dan di tempat yang tak diketahui siapa pun, alarm kecil menyala.

Kandidat Ace: Siap Diuji.