Ujian Pertama Sang Ace

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 15: Ujian Pertama Sang Ace

Langkah kaki mereka bergema di lorong bawah Pelita. Dindingnya lembap, ditumbuhi jamur, dan aroma besi tua bercampur udara dingin menusuk hidung. Di depan, Odo membawa lampu senter kecil, sementara Bhima di belakangnya, berjaga dengan siaga.

"Kenapa tempat ini nggak ada di peta sekolah?" gumam Odo.

"Karena bukan bagian dari sekolah," jawab Bhima datar. "Tempat ini dibangun sebelum Pelita berdiri. Katanya, bekas bunker zaman perang. Tapi kayaknya ada yang pakai lagi."

Setelah menuruni dua tangga spiral, mereka tiba di sebuah ruangan luas. Di tengahnya, ada meja bundar penuh coretan, dan di sekelilingnya—kursi kosong berdebu.

Di dinding, tergantung simbol familiar. Bukan dari SubRosa, bukan pula milik Pelita Raya. Tapi…

"Simbol ini..." Odo menyentuhnya. "Sama kayak yang ada di dokumen underground."

Tiba-tiba, suara mekanik berdengung. Lampu merah menyala dari langit-langit, lalu sebuah suara keluar dari pengeras suara tua:

"Ace terdeteksi. Inisiasi Ujian Pertama."

Pintu masuk mengunci sendiri. Bhima langsung bersiap, tapi tembok di sebelah kanan mereka bergeser perlahan, memperlihatkan… seseorang.

Bukan bayangan. Bukan ilusi. Ini orang sungguhan, berdiri mengenakan topeng setengah hitam, setengah putih. Aura mengerikannya memenuhi ruangan.

"Lo yang kirim pesan itu?" tanya Odo tajam.

Topeng itu mengangguk pelan. "Dan gua yang akan nunjukin... lo gak pantes jadi Ace."

Bhima melangkah maju. "Kalo lo nyentuh Odo, lo urusan sama gua."

Tapi Odo mengangkat tangan. "Biarkan. Ini ujianku."

Bhima terdiam, mengepalkan tangan, tapi akhirnya mundur ke belakang.

Odo melangkah ke depan. Tanpa senjata. Tanpa bantuan.

Dan tanpa aba-aba… si bertopeng menyerang.

Pukulan pertama mengarah ke rahang, tapi Odo menghindar, membalas dengan tendangan ke rusuk—tertahan. Pukulan kedua datang dari belakang, cepat dan nyaris tak terlihat, tapi Odo memutar tubuh dan menghantam balik dengan siku ke leher.

Brak!

Dua-duanya mundur. Sama-sama terengah. Tapi Odo tak tersenyum. Ia serius. Mata yang biasanya ceria kini penuh perhitungan. Penuh… amarah.

"Lo kira gua gak pantes jadi Ace?" gumam Odo. "Gua bukan dipilih karena gua yang terbaik. Tapi karena gua yang paling siap dihancurkan."

Serangan berikutnya bukan duel. Itu perang cepat. Tubuh mereka melesat di ruangan sempit, memecahkan debu dan suara. Bhima bisa merasakan tekanan luar biasa dari setiap benturan.

Tapi perlahan… Odo mulai unggul.

Satu pukulan keras ke dada, diikuti sapuan kaki, dan si bertopeng jatuh. Topengnya retak.

Odo berjalan pelan mendekat, lalu menendang topeng itu hingga pecah.

Wajah di baliknya… tidak dikenal.

"Siapa lo?" tanya Odo pelan.

Tapi si pria hanya tersenyum. "Ujian kedua akan segera datang."

Dan ia menghilang. Seperti bayangan yang tak pernah ada.

Pintu terbuka kembali.

Bhima mendekat. "Gua bilang juga apa. Lo kuat kalau lo serius."

Odo hanya menatap tangan bergetarnya. "Tapi… ini baru permulaan."