Percikan dalam Kegelapan

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 16: Percikan dalam Kegelapan

Pagi datang tanpa matahari. Langit Mentari diselimuti awan kelabu. Hujan tipis turun sejak subuh, menambah beban suasana yang sudah berat sejak malam sebelumnya.

Odo duduk di atap asrama Pelita Raya, jas hujan tipis menempel di punggungnya. Tatapannya kosong, menelusuri gedung-gedung sekolah, mencari sesuatu yang tak bisa ia definisikan.

Bukan rasa bangga setelah menang. Bukan juga rasa takut akan ujian selanjutnya. Tapi ada sesuatu yang mengendap—keraguan.

"Baru juga semalam menang, kok langsung merenung?" suara Solara datang dari belakang.

Odo menoleh. "Gak semua pertarungan selesai waktu lo menang."

Solara mendekat, duduk di sampingnya. Ia tak banyak bicara. Angin membawa suara rintik hujan dan bau tanah yang tergenang.

"Aku tahu kamu kuat, Odo. Tapi kuat itu bukan cuma soal fisik," katanya pelan. "Apa kamu yakin bisa terus sendirian kayak tadi malam?"

Odo tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menatap telapak yang kemarin digunakan untuk menghancurkan wajah musuhnya.

"Aku nggak sendirian. Kalian semua di belakangku. Tapi... untuk bagian ini, aku harus jalan duluan."

Solara menunduk. "Kamu gak perlu pura-pura kuat, tau."

Sebelum Odo menjawab, ponselnya bergetar. Pesan dari Bhima:

"Segera ke ruang SubRosa. Masalah baru muncul."

Tanpa berkata, Odo berdiri. Solara ikut bangkit.

Di ruang SubRosa, semua anggota yang hadir menatap layar proyektor. Bhima menunjukkan gambar hasil rekaman CCTV bawah tanah. Gambar orang bertopeng itu terlihat jelas—dan detik berikutnya, muncul satu orang bertopeng lain. Ukuran tubuh berbeda. Gaya bertarung pun berbeda. Tapi aura… sama mencekamnya.

"Jadi ada lebih dari satu," kata Elara, dingin. "Kita menghadapi kelompok."

Bhima mengangguk. "Mereka sebut diri mereka Ravenshade. Dan sepertinya... mereka tahu semua struktur kita."

"Termasuk SubRosa?" tanya Amara, shock.

"Termasuk Pelita Fellows," jawab Bhima. "Kita resmi jadi target."

Ruangan mendadak hening. Hanya terdengar suara proyektor menyala.

Odo melangkah maju. "Kalau mereka pengen main perang di bayangan… kita harus nyalain lampu duluan."

Elara menatapnya. "Dan kalau mereka nggak takut cahaya?"

Odo menoleh, mata menyala seperti bara dalam kabut. "Berarti kita bakar bayangannya sampai habis."