Di Antara Bayangan dan Bara

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 17: Di Antara Bayangan dan Bara

Senja merambat pelan di Kota Mentari, membawa aroma lembap hujan yang belum tuntas sejak pagi. Namun langit yang redup bukan satu-satunya tanda bahwa malam ini akan berbeda. Di sebuah lorong sepi di sisi timur Pelita Raya, langkah kaki menghentak tanah basah, mantap dan pasti.

Odo melangkah sendiri.

Bhima telah memperingatkan. Elara sempat menahan. Bahkan Ryan yang biasanya polos, tadi siang sempat bilang, "Odo, jangan jadi protagonis film action, ntar bonyok sendiri loh!" Tapi semua itu hanya jadi gema di pikirannya.

Dia tahu ini bukan soal ego. Ini bukan demi membuktikan dirinya kuat.

Ini tentang menghadapi rasa takut—sendiri.

Lorong itu gelap, jauh dari pengawasan kamera sekolah. Tapi Odo sudah tahu. Orang bertopeng itu ada di sini.

Dan benar saja.

"Datang juga akhirnya, si Ace yang haus darah," suara berat terdengar dari ujung lorong. Sosok bertopeng muncul dari balik bayangan, mengenakan mantel panjang, langkahnya santai tapi penuh ancaman.

Tanpa banyak bicara, Odo membuka jaketnya, melemparnya ke samping. Kaos hitam basah karena sisa gerimis, menempel di tubuhnya yang siap bertarung.

"Aku gak haus darah," kata Odo. "Tapi kamu—kalian, udah terlalu jauh."

Orang bertopeng itu mengangkat tangan kanannya. Api kecil menyala dari ujung jarinya. "Jadi kamu datang tanpa bantuan. Hebat. Atau bodoh."

"Aku datang karena kalian nginjek wilayah yang salah."

Mereka langsung menerjang. Tubuh bertopeng itu melesat lebih cepat dari yang Odo perkirakan, pukulannya keras dan membakar, membuat udara di sekitarnya berdesis.

Odo menangkis, terpental sedikit, tapi langsung balik menyerang. Kakinya menghantam perut lawan, lalu kombinasi pukulan ke arah dada dan rahang. Tapi orang itu lincah—dan berpengalaman.

Pertarungan mereka seperti bayangan dan api. Saling mengejar, saling membakar, tapi tak ada yang bisa benar-benar menang cepat.

Tubuh Odo sudah memar di beberapa bagian. Luka di pelipisnya mengucurkan darah, menetes ke pipi. Tapi matanya—tajam, penuh tekad.

Orang bertopeng itu tertawa kecil. "Kamu kuat, tapi kamu terlalu mengandalkan emosi."

"Emosi justru bikin gue bertahan."

Dan saat lawannya mencoba menyambar dengan ledakan kecil dari tangannya, Odo memanfaatkan momentum. Ia membiarkan serangan itu hampir mengenainya—hampir—lalu menyelinap ke samping, menghantam bagian rusuk dengan siku, lalu lututnya menghajar wajah bertopeng itu dengan brutal.

Topeng itu retak.

Sosok itu terdorong mundur, napasnya berat. Tapi ia masih berdiri.

"Belum selesai," desisnya.

"Aku juga belum mulai serius," jawab Odo.

Tapi tiba-tiba, suara langkah lain datang.

Satu sosok lagi muncul dari kegelapan. Sama-sama bertopeng.

Odo menyipitkan mata. "Dua lawan satu… gitu?"

Orang baru itu tertawa pelan. "Kamu bilang datang sendiri. Kami pun begitu... tapi kami datang berdua."