Lidah Api dan Cakar Bayangan

Mentari Konflik – Volume 2

Bab 18: Lidah Api dan Cakar Bayangan

"Dua lawan satu, huh..." Odo memutar lehernya perlahan, mengendurkan otot-otot yang tegang. Luka di pelipisnya masih mengucurkan darah, tapi ekspresi wajahnya datar, hampir seperti senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

Sosok bertopeng kedua melangkah ke samping rekannya yang mulai oleng. Dari posturnya, jelas dia bukan tipe petarung frontal. Tangannya menyatu dalam gerakan cepat seperti menari di udara—bayangan di sekitarnya bergetar.

"Yang satu main api, yang satu main bayangan... kalian duet yang cocok juga," ujar Odo sambil melangkah maju.

"Dan kamu... mau jadi abu di antara kami," suara si Bayangan datar, tanpa emosi.

Pertarungan pun meledak.

Orang bertopeng pertama—si Api—mengayunkan tangannya, menciptakan ledakan kecil yang memaksa Odo mundur. Di saat yang sama, bayangan di sekelilingnya mulai memanjang, merayap seperti ular dan mencoba melilit kaki Odo.

Tapi Odo tahu ritmenya sekarang. Ia melompat ke dinding, memantul ke arah si Api, lalu menendang dadanya dengan kekuatan penuh. Tubuh si Api terhempas ke tiang listrik di ujung lorong, membuat percikan menyala di udara.

Bayangan menyambarnya dari belakang. Odo menghindar sebagian, tapi tangannya berhasil ditarik dan dihantam ke dinding.

Sakit. Tapi belum seberapa.

Ia menggertakkan gigi, lalu menarik bayangan itu dengan kekuatannya sendiri. Tubuh si Bayangan terseret mendekat tanpa sadar—dan disambut pukulan telak dari Odo ke dagunya. Lawan itu terpental, topengnya ikut terlepas separuh, menampakkan dagu dengan luka lama yang belum sembuh.

"Mereka bukan amatiran..." pikir Odo. "Tapi mereka juga bukan tak terkalahkan."

Si Api kembali berdiri. Wajahnya geram. "Kamu harusnya udah tumbang."

Odo menjilat sedikit darah di bibirnya. "Kamu harusnya udah pensiun."

Ledakan kedua datang. Lebih besar. Tapi kali ini, Odo tak menghindar penuh. Ia menembus api itu, tubuhnya terbakar sebagian jaket yang masih tersampir. Ia membiarkannya, demi satu pukulan telak lagi—dan berhasil. Tinju kirinya menghantam perut si Api, lalu tendangan lutut menyusul, membuatnya jatuh tak sadarkan diri.

Satu lawan satu.

Bayangan bergerak lebih agresif sekarang. Tapi Odo telah membaca polanya. Bayangan itu bisa dipotong—asal tahu timing-nya.

Odo berdiri di tengah lorong, napas berat, tapi matanya tetap tajam. "Satu lawan satu... mari kita akhiri ini."

Dan mereka menerjang satu sama lain—untuk terakhir kalinya malam itu.