Hantu dari Masa Lalu

Bab 19: Hantu dari Masa Lalu

Tubuh Odo ambruk di atas puing bangunan. Darah mengalir deras dari pelipis dan sudut bibirnya, tapi matanya justru semakin tajam. Sosok bertopeng itu masih berdiri tegak, napasnya datar seolah belum merasakan perlawanan berarti.

Namun kali ini berbeda.

Odo perlahan bangkit. Ia melepas jaketnya yang sobek, lalu mengencangkan sarung tangan hitam di tangan kirinya. Wajahnya serius—lebih serius dari sebelumnya.

"Jangan salah sangka," katanya pelan. "Baru sekarang gue mulai serius."

Angin mendadak berhenti. Suasana jadi hening.

Dalam hitungan detik, tubuh Odo sudah melesat ke depan. Tinju pertamanya menghantam udara, tapi sang lawan nyaris tak sempat menghindar. Serangan demi serangan diluncurkan—presisi, tanpa ragu. Tidak lagi bergaya main-main.

Sosok bertopeng itu terkejut, langkahnya mulai kacau. Beberapa pukulan mengenai perut dan dagunya. Odo tak memberi jeda.

"Lo… bukan tandingan gue," ucap Odo, lirih, sembari menghantam dada lawannya keras sekali hingga terdengar suara retak.

Sosok bertopeng terjatuh, gemetar.

Namun sebelum Odo menyelesaikan serangannya, memori mendadak muncul dalam kepalanya—seorang pria berambut abu-abu. Tatapan tajamnya, kalimat dingin yang pernah menusuk:

"Kau harus bisa mengalahkannya dengan satu tangan."

Odo mengatupkan mata. Sekali lagi, ia mengepalkan tangan—dan meninju helm lawannya sekuat tenaga. Retakan menyebar di permukaan topeng itu sebelum akhirnya pecah, memperlihatkan wajah samar seseorang yang pernah… dia bunuh?

"Apa… ini permainan kalian lagi?" bisik Odo, terengah.

Dia tersenyum—senyum tipis yang lelah—lalu jatuh pingsan.

Sementara itu, di tengah reruntuhan lain…

Ryan menjerit ketika tiruan Aidan menjatuhkan Amara ke tanah. Namun sebelum tiruan itu mengayunkan pukulan terakhir, tubuhnya tiba-tiba menegang. Matanya melebar, lalu perlahan redup.

"Tunggu… kenapa dia berhenti?" Ryan menatap panik.

Amara terbatuk, mencoba bangkit.

Ryan mendekat, dan secara tak sengaja menyentuh bagian belakang leher tiruan Aidan—ada semacam simbol. "Eh, ini tombol…?"

Klik.

Tubuh tiruan Aidan langsung mencair, meleleh seperti lilin yang terkena panas. Mereka berdua terdiam.

"A-Amara! Lo gak papa?!"

"Sedikit pusing... tapi kayaknya... kita menang?" gumam Amara lemas.

Ryan langsung menggendong Amara dengan gaya pahlawan yang salah kaprah. "Kita harus ke ruang medis sekarang juga!"

Sore harinya, Bhima berdiri di depan makam tua tak bernama.

Di tangannya tergenggam liontin berdebu yang seharusnya sudah hilang bertahun-tahun lalu. Angin bertiup pelan, membawa kenangan kelam dari masa lalu.

"Kenapa lu ngelakuin ini ke gue, Bhim?"

Bhima menggertakkan gigi. Ia menatap batu nisan itu—dan menyadari, sesuatu dari masa lalu belum selesai.

Di ruang bawah tanah SubRosa, Elara berbicara dengan Aidan dan Armand.

"Bhima bukan eksperimen pertama," ucap Elara tanpa ekspresi. "SubRosa bukan OSIS biasa. Kita... cuma pewaris generasi awal."

Sebuah layar menampilkan arsip lama. Ada nama-nama yang tak dikenal—termasuk satu yang membuat Aidan diam membeku.

"Siapa… N-01...?" bisik Armand.

Malam itu, Odo membuka matanya.

Ia terbaring di ranjang ruang medis, ruangan sepi. Di luar, langit malam terhampar penuh bintang. Sesuatu berdesir di dalam dadanya.

Rere masuk, wajahnya tenang tapi tegas.

"Rere… semua udah beres?"

"Belum," jawab Rere. "Tapi lo udah cukup kuat buat tau semuanya. Tentang kita. Tentang mereka. Dan tentang malam itu… enam tahun lalu."