Suara yang Mencakar

Bab 3 – Suara yang Mencakar

Dinginnya lantai logam menusuk telapak kaki Odo. Ia duduk diam, berkeringat meski suhu ruangan seperti lemari pendingin. Borgol pelindung masih mengikat kedua pergelangannya, tapi bukan itu yang membuatnya gelisah—melainkan suara di dalam kepalanya yang kini semakin aktif.

"Kau tak perlu takut… hanya perlu mendengar."

Suara itu terdengar jelas. Seolah ada seseorang berdiri tepat di belakangnya dan berbisik di telinga. Tapi saat Odo menoleh, tak ada siapa-siapa.

"Cukup." gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.

Namun, suara itu tak menghilang. Justru makin berani, makin menusuk, seperti cakaran di permukaan kaca.

"Mereka takut padamu. Bahkan Bhima. Lihat dirimu sekarang… dipasung seperti penjahat. Padahal, kau pahlawan mereka, bukan?"

Odo menggertakkan gigi. Emosi dalam dirinya berkecamuk. Antara amarah, kebingungan, dan rasa pengkhianatan yang samar.

Tiba-tiba, cahaya lampu gantung di atas kepalanya bergetar, lalu redup sejenak.

"Bhima…!" Odo memanggil pelan, suaranya mulai terdengar gemetar. Tapi Bhima tidak datang. Tak ada suara langkah dari lorong. Tak ada alarm. Tak ada penjaga.

Ia sendirian.

Dan dalam kesendirian itu, borgol di tangannya mulai bergetar.

"Jangan…" bisiknya pada dirinya sendiri, tapi tangannya bergetar tak terkendali. Sebuah percikan energi hitam samar muncul di sela-sela jari.

"Biarkan aku membantumu keluar… Kau tak harus sendiri dalam kegelapan ini."

Lalu, borgol itu… retak.

Odo terkejut dan berusaha menahan kekuatan itu. Namun, retakan kecil menjalar, dan tak lama kemudian, satu borgol jatuh ke lantai, denting logamnya menggema panjang di ruang sepi itu.

Ia berdiri. Napasnya berat. Matanya menatap sekeliling—dan untuk sesaat, bayangannya sendiri di dinding terlihat tersenyum… padahal ia tidak.

Langkah kaki terdengar dari luar. Pintu terbuka pelan. Bhima masuk dengan ekspresi siaga.

"Odo?"

Odo menoleh cepat. Mata mereka bertemu—dan Bhima langsung tahu ada yang salah.

"Borgolnya…" Bhima menarik nafas tajam. "Siapa yang—"

"Aku nggak tahu!" seru Odo. "Aku… aku cuma duduk. Terus—"

Suara itu memotong, hanya dalam benaknya:

"Ayo, Odo. Ini waktumu. Tak ada yang bisa menahanmu lagi."

Bhima melangkah pelan, mencoba menjaga jarak. "Denger aku. Kalau kau nggak bisa kendalikan itu, aku harus—"

"AKU UDAH CUKUP DIKURUNG!" teriak Odo, dan seketika energi hitam menyambar dari tubuhnya, memecahkan satu sisi dinding simulasi. Serpihan logam beterbangan.

Bhima langsung mengaktifkan pelindung energi, wajahnya berubah dingin. "Maaf, Do… aku harus hentikan kau."

Odo mengatupkan rahangnya. Tapi di balik amarah dan kekacauan pikirannya, ada satu hal yang masih menahan langkahnya: ketakutan. Bukan pada Bhima, bukan pada kekuatannya… tapi pada dirinya sendiri.

"Ayo, lepaskan semuanya. Biarkan mereka tahu siapa kau sebenarnya."

Mata Odo mulai berpendar biru pekat.

Dan di saat itu…

babak baru dalam dirinya dimulai—saat batas antara dirinya dan 'suara itu' perlahan mulai kabur.